Pajak Kelompok Kaya Sulit Dipungut, Wujud Nyata Ilusi Kesejahteraan Kapitalisme

Last Updated: 6 Juli 2021By

Oleh : Pujo Nugroho

Assalim.id – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan pihaknya sulit untuk menarik pajak penghasilan (PPh) orang pribadi kelas menengah atas atau orang kaya.

Sri Mulyani menjelaskan, dalam lima tahun terakhir, hanya 1,42% dari total wajib pajak orang pribadi yang melakukan pembayaran dengan tarif tertinggi atau yang sebesar 30%.

“Bila dilihat dari penghasilan kena pajak yang dilaporkan hanya 0,03% dari jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) yang memiliki penghasilan kena pajak lebih dari Rp 5 Miliar setahun,” jelas Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Senin (28/6/2021).

Pengakuan Menkeu ini merupakan wujud nyata pemerataan kesejahteraan didalam kapitalisme-neoliberal adalah ilusi semata. Dan persoalan ini bukanlah persoalan Indonesia semata namun terjadi secara umum.

Dalam neo-liberalisme peran negara diminimalisasi karena dianggap membatasi kebebasan individu pada mekanisme pasar. Kaum neoliberal memandang ketegangan laten antara negara dan pasar merupakan konflik antara penindasan dan kebebasan, kekuasaan dan hak individu, dogma otokratik dan logika rasional.

Pendapat-pendapat ini lahir dari sejarah masa lalu Eropa dalam kungkungan otokrasi kerajaan.

Dalam kapitalisme neoliberal sumber daya ekonomi (semisal sumber-sumber kekayaan alam) tidak dibatasi kepemilikannya bagi individu. Kesejahteraan tercapai melalui mekanismenya sendiri. Kesejahteraan akan menetes dengan sendirinya karena meningkatnya aktivitas ekonomi.

Namun faktanya yang terjadi jurang si kaya dan si miskin semakin lebar karena kelompok bawah kesulitan modal/kapital.

Di sinilah kemudian pajak memiliki peran sangat penting. Pajak yang menjadi penerimaan negara dikembalikan kepada rakyat dalam berbagai bentuk. Baik berupa bantuan sosial, kesehatan, dan lainnya.

Namun faktanya tidak mudah memungut pajak kepada kelompok orang kaya.

Pada tahun 1990 ada sebanyak dua belas negara Eropa memberlakukan pajak kekayaan. Namun saat ini hanya tersisa tiga negara saja yang mempertahankan aturan tersebut, yaitu Norwegia, Spanyol, dan Swiss.

Menurut OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) ada banyak alasan kebijakan ini tidak diberlakukan di antaranya akan mendorong orang kaya melarikan uangnya ke negara berpajak rendah. (ekonomi.bisnis.com, 16/12/2020).

Dalam laporan Risks That Matter, OECD bertanya kepada sekitar 21.000 responden. Setengah dari responden percaya bahwa mereka tidak menerima bagian yang adil dari tunjangan yang diberikan karena jumlah pajak yang dibayarkan. Jika disimpulkan maka mayoritas ingin orang kaya membayar pajak lebih banyak dari sebelumnya. (news.ddtc.co.id, 21/3/2019).

Inilah problem kapitalisme di mana sumber daya yang diberikan kepada manusia secara luas di muka bumi tidak mampu dinikmati secara luas dan merata kepada seluruh manusia. Yang terjadi adalah jurang pemisah antara kelompok yang kaya dengan miskin yang semakin lebar. [PN]