Jaminan Islam Terhadap Pelayanan Kesehatan Rakyat

Last Updated: 8 Januari 2024By

Oleh : L. Hakim

Menyoroti UU Kesehatan tahun 2023

مَنْ أَصْبَحَ آمِناً فِي سِرْبِه، مُعَافىِ فِي بَدَنِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيا بِحَذَافِيْرِهَا

Siapa saja yang saat memasuki pagi merasakan aman pada kelompoknya, sehat badannya, dan tersedia bahan makanan di hari itu, dia seolah-olah telah memiliki dunia dan semuanya

(HR Al-Bukhari, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majjah)

Keamanan dan kesehatan adalah dua kebutuhan pokok agar manusa bisa menjalankan ibadah dan aktivitas kehidupan. Sehingga keduanya harus dipastikan tercipta di tengah-tengah masyarakat. Oleh karenanya, perlu adanya mekanisme pengaturan yang dapat memastikan kondisi tersebut terwujud.

Pengelolaan Kesehatan Masyarakat

Setidaknya adalah 3 (Tiga) pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pemeliharaan Kesehatan dalam sebuah negara:

Pertama, Penyelenggara adalah orang atau badan yang menetapkan kebijakan, membuat, dan menjalankan sistem, serta memantau pelaksanaannya. Dalam hal ini, negara sebagai penyelenggara jaminan pemeliharaan kesehatan seluruh rakyatnya.

Kedua, pelaksana adalah orang atau badan yang memiliki kemampuan, keahlian, dan sarana untuk menjalankan kebijakan dan sistem pemeliharaan kesehatan. Dalam hal ini tenaga medis (dokter, dll) dan rumah sakit adalah pelaksana dari program pemeliharaan kesehatan masyarakat.

Ketiga, pengguna, adalah siapa pun yang membutuhkan produk dan layanan kesehatan. Dalam hal ini adalah rakyat yang berada di wilayah penyelenggara atau negara.

Agar ketiga komponen ini dapat berjalan sesuai dengan perannya, maka dibutuhkan kebijakan dan aturan agar ketiganya berfungsi secara optimal tepat sasaran.

Oleh karena itu, pada tanggal 11 Juli 2023, pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan. Sebelum disahkan menjadi Undang-Undang, sebagaimana tabiatnya produk demokrasi, banyak kritikan terhadap rancangan Undang-Undang tersebut, meskipun kritikan tersebut dipandang sebagai sebuah bumbu penyedap saja, sebagai bentuk perwujudan bahwa rakyat memahami penyampaian pendapat adalah bagian dari wujud demokrasi, sehingga akhirnya Undang-Undang tersebut pun tetap disahkan.

Fakta Undang-Undang Kesehatan

Sebagaimana UU Cipta Kerja, UU Kesehatan adalah produk Omnibus Law yang dirancang dan disahkan untuk tujuan tertentu dengan dalih untuk melakukan perubahan atau transformasi pelaksanaan pemeliharaan kesehatan rakyat dengan tetap menyeimbangkan pemenuhan kebutuhan negara.

Beberapa hal krusial yang patut dicermati dalam Undang-Undang Kesehatan tersebut diantaranya:

Pertama, peran negara sebagai penyelenggara program pemeliharaan kesehatan rakyat telah bergeser jauh, bahkan diduga kuat abai dari peran semestinya.

Hal ini terlihat dengan adanya perubahan isi Pasal 171 ayat 1 dan 2 UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyebutkan bahwa adanya kewajiban negara untuk mengeluarkan anggaran minimum sebesar 5% dari total APBN dan 10% dari APBD.

Kebijakan tersebut dirubah sebagaimana terdapat pada Pasal 409 ayat (3) UU Nomor 17 tahun 2023 menjadi menyatakan bahwa pemerintah pusat mengalokasikan anggaran kesehatan dari aggaran pendapatan dan belanja negara sesuai dengan kebutuhan program nasional yang dituangkan dalam rencana induk bidang kesehatan dengan memperhatikan penganggaran berbasis kinerja. Artinya, tidak ada lagi batasan minimum anggaran untuk dialokasikan oleh negara.

Perubahan kebijakan ini seolah memberikan peluang kepada negara untuk dapat memberikan lebih dari kebijakan sebelumnya. Namun, sebagaimana yang selalu terjadi dalam kebijakan apa pun, dalam sistem demokrasi kapitalis, kontribusi negara semakin menurun bagi rakyatnya.

Hal ini, bisa dicermati bahwa, penghapusan batas minimun anggaran negara untuk kesehatan dikurangi agar dapat dialokasikan untuk hal lain, yaitu untuk membayar bunga hutang negara yang hingga saat ini mencapai 398,3 Miliar Dollar AS, atau sebesar Rp. 7.788 Triliun. Sedangkan untuk membayar bunga utang, pemerintah mengalokasikan 14,4% dari APBN.

Dengan demikian, alokasi untuk membayar bunga utang lebih besar dari pada anggaran untuk kesehatan rakyat.

Kedua, peran pelaksana program pemeliharaan kesehatan rakyat mengalami perubahan.

Ada dua kategori pelaksana, yaitu tenaga medis (dokter, dll) dan rumah sakit.

Tenaga kesehatan atau dokter pun mengalami penataan. Hal yang paling terlihat perubahannya dalam UU Nomor 17 tahun 2023 ini adalah pada Pasal 206 yang menyebutkan bahwa standar kompetensi atau pendidikan kedokteran ada dalam kebijakan Menteri. Sehingga lembaga profesi dan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang sebelumnya bertanggung jawab langsung kepada presiden menjadi bertanggung jawab kepada Menteri. Menteri akan bekerja sama dengan lembaga profesi dalam menentukan standar kompetensi kedokteran.

Oleh karena itu, pengelolaan kesehatan sebagai suatu yang vital justru dilepaskan dari tanggung jawab presiden. Adapun organisasi profesi, akan diminta untuk mandiri dan mengelola keuangannya sendiri.

Pelaksana lainnya adalah Rumah Sakit yang bergeser, bukan lagi sebagai kepanjangan tangan dari pelaksanaan program pemeliharaan kesehatan rakyat menjadi sebuah industri kesehatan yang membuka peluang kepada siapa pun termasuk pihak asing untuk menjalankan usaha di Indonesia berikut dengan tenaga medis asing.

Dengan dalih untuk meningkatkan pelayanan sehingga masyarakat tidak perlu berobat ke luar negeri untuk mendapatkan penanganan medis terbaik, pemerintah membuka kran investasi Rumah Sakit asing masuk ke Indonesia. Sedangkan, pada saat yang sama, anggaran untuk meningkatkan pelayanan kesehatan justru dihilangkan jumlah minimumnya sehingga berpotensi untuk tidak menganggarkan.

Dengan diserahkannya mekanisme standarisasi tenaga medis kepada Menteri, keluarlah Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Kegiatan usaha Rumah Sakit di Kawasan Ekonomi Khusus yang menyebutkan bahwa standarisasi rumah sakit asing dilakukan oleh lembaga akreditasi luar negeri.

Disamping itu, pelaksanaan pendidikan dan pelayanan dokter diserahkan kepada masing-masing lembaga profesi. Artinya, untuk menjalankan operasionalnya, negara berlepas tangan dalam memberikan bantuan terhadap rumah sakit dan klinik-klinik yang selama ini mendapatkan bantuan dari pemerintah termasuk dalam layanan kesehatan kepada rakyat.

Dengan demikian, pelaksana pemeliharaan kesehatan sudah bergeser, yang sebelumnya dijalankan oleh tenaga medis dan rumah sakit yang terstandarisasi oleh negara menjadi dijalankan oleh swasta atau bahkan pihak asing.

Hal itu berhubungan dengan UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan UU Nomor 17 tahun 2023.

Ketiga, pengguna jasa pelayanan kesehatan yaitu masyarakat benar-benar dilepas oleh negara.

Sejak diterapkannya BPJS sebagai sebuah mekanisme pendanaan pemeliharaan kesehatan yang kepesertaannya diwajibkan bagi seluruh penduduk Indonesia, sudah jelas bahwa rakyat diwajibkan untuk bertanggung jawab atas biaya kesehatannya sendiri, sedangkan negara lepas tangan, bahkan menggunakan data tersebut untuk dikembangkan lagi melalui investasi.

Dengan adanya UU Nomor 17 tahun 2023 ini, selain membayar iuran PBJS, masyarakat juga dibebankan dengan biaya rumah sakit yang akan meninggi jika ingin mendapatkan pelayanan yang layak, oleh karena Rumah Sakit akan bersaing dalam peningkatan fasilitas dan standar kompetensi tenaga medis asing.

Hal lain yang cukup krusial adalah tentang data medis pasien yang akan dikumpulkan dan berpotensi terjadinya penyalahgunaan yaitu sebagaimana dinyatakan pada Pasal 347 ayat 7 yang menyebutkan bahwa penyelenggara sistem informasi kesehatan dapat memproses data dan informasi kesehatan di luar wilayah Indonesia.

Pasal ini mengatur bahwa transfer data dan informasi kesehatan tersebut dilakukan untuk tujuan penanggulangan kejadian luar biasa seperti wabah, ibadah haji, perjanjian alih material, dan kerja sama internasional di bidang kesehatan.

Bahkan hal tersebut bertentangan dengan UU Nomor 27 tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Terlebih ini adalah transfer data lintas batas negara yang memiliki persyaratan khusus.

Data ini tentu akan sangat penting bagi para kapitalis global untuk kepentingan politik, bisnis, maupun kaitannya dengan pengendalian kehidupan sosial.

Penyelenggaraan Pemeliharaan Kesehatan Rakyat dalam Islam

Islam memiliki cara khas yang berbeda dengan cara ideologi lain (sosialisme atau pun kapitalisme) dalam pengurusan kebutuhan rakyatnya. Negara memiliki peran sentral dalam penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan rakyat sebagai suatu hal yang sangat vital dan akan dipertanggungjawabkan di akhirat:

فَاْلأَمِيْرُ الَّذِيْ عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Pemimpin yang mengatur urusan manusia (Imam/Khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya. (HR Bukhari dan Muslim).

Dalam Islam, pelayanan kesehatan sebagaimana pelayanan pendidikan adalah kebutuhan primer masyarakat yang merupakan tanggung jawab negara dan diberikan secara gratis. Negara tidak boleh membebani rakyatnya dengan harus membayar kebutuhan layanan kesehatannya.

Hal ini sebagaimana hadis Nabi SAW, sebagaimana dituturkan oleh Jabir RA:

بَعَثَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى أُبَيْ بِنْ كَعَبْ طَبِيْبًا فَقَطَعَ مِنْهُ عِرْقًا ثُمَّ كَوَّاهُ عَلَيْهِ

Rasulullah pernah mengirim seorang dokter kepada Ubay bin Kaab (yang sedang sakit). Dokter itu memotong salah satu urat Ubay bin Kaab lalu melakukan Kay (pengecosan dengan besi panas) pada urat itu. (HR Abu Dawud).

Dalam hadis tersebut, Rasulullah yang bertindak sebagai kepala negara, telah menjadikan kesehatan rakyatnya secara gratis, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa memungut biaya sebagaimana disebutkan dalam kitab Muqaddimah Ad-Dustur, Taqiyuddin An-Nabhani.

Dalil yang lain dapat difahami dengan maksud yang sama, sebagaimana yang terdapat dalam kitab Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihayn karya Imam Hakim. Disebutkan oleh Zaid bin Aslam bahwa kakeknya pernah berkata:

مَرِضْتُ فِي زَمَانِ عُمَرُ بْنُ اْلخَطَّابِ مَرْضًا شَدِيْدًا فَدَعَا لِي عُمَرُ طَبِيْبًا فَحَمَانِي حَتىَّ كُنْتُ أَمْص النُّوَاةَ مِنْ شِدَّةِ اْلحَمِّيَةِ

Aku pernah sakit parah pada masa khalifah Umar bin Khatthab. Lalu khalifah umar memanggil dokter untukku. Kemudian dokter itu menyuruh diet (memantang memakan yang membahayakan) hingga aku harus menghisap biji kurma karena saking kerasnya diet itu. (HR Hakim).

Pengadaan layanan, fasilitas, tenaga medis, serta sarana lainnya merupakan hal vital yang harus dilakukan, karena jika tidak, maka akan menimbulkan dharar atau bahaya. Rasulullah bersabda:

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ فِي اْلإِسْلاَمِ

Tidak boleh menimbulkan madarat (bahaya) bagi diri sendiri dan juga madarat (bahaya) bagi orang lain di dalam Islam. (HR Ibnu Majjah dan Ahmad).

Hadis tersebut di atas adalah dalil syariah yang shahih yang menyatakan bahwa negara diwajibkan untuk menjamin penyelenggaraan dan pelaksanaan pemeliharaan kesehatan bagi seluruh rakyatnya yang diberikan secara gratis (tanpa dipungut biaya sedikitpun).

Negara tidak boleh mengalihkan kewajiban tersebut  baik kepada rakyatnya sendiri terlebih kepada pihak lain atau asing.

Namun, hal ini bukan berarti seorang dokter atau rumah sakit swasta tidak boleh menjalankan praktik usaha kesehatan dan mendapatkan bayaran saat menjual obat atau jasanya. Terhadap hal ini berlaku hukum jual beli produk (obat) dan layanan (jasa kesehatan). Sehingga, masyarakat dapat membeli dan menggunakan jasa mereka.

Pelayanan dan produk kesehatan gratis yang dimaksud adalah untuk pelayanan yang dijalankan oleh negara dan negara wajib mewujudkannya, melalaikannya akan menjadi dosa bagi pemerintah.

Penutup

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa negara memiliki peran sentral dan vital dalam mewujudkan penyelenggaraan dan pelaksanaan pemeliharaan kesehatan bagi seluruh rakyatnya.

Kaitannya dengan UU Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan, sejatinya dalam hal ini, negara ingin melepaskan diri dari tanggung jawabnya sebagai penyelenggara dan pelaksana jaminan dan pemeliharaan kesehatan bagi seluruh rakyatnya.

Dengan dalih agar rakyat mendapatkan produk dan pelayanan kesehatan yang lebih baik, pemerintah menyerahkan urusan ini kepada perusahaan swasta dan asing untuk mengambil alih peran mereka sehingga rakyat menjadi tidak punya “payung” lagi saat sakit dan membutuhkan bantuan. Jika pun bisa membayar sendiri untuk berobat, akan didapatkannya dengan biaya yang sangat tinggi, sedangkan iuran asuransi terus dibayarkannya setiap bulan.

Sesungguhnya, peran negara dalam pemeliharaan kesehatan rakyat ini, tidak dapat dialihkan atau digantikan kepada pihak lain baik terhadap rakyatnya, swasta, apalagi kepada pihak asing.

Melalaikan kewajiban ini akan menjadikan pemerintah dan pemimpin negeri ini berdosa kepada Allah SWT. dan akan mendapatkan siksaan yang sangat pedih. Rasulullah SAW bersabda:

مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللهُ رَعِيَّةً يَمُوْتُ يَوْمَ يَمُوْتُ وَهُوَ غَاشٌ لِرَعِيَّتِهِ إِلاَّ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ

Tidaklah seorang hamba dijadikan Allah sebagai pemimpin yang mengurusi rakyat, lalu dia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan syurga bagi dirinya. (HR Muslim).

Oleh karena itu, kita tidak bisa berharap lagi kepada janji manis sistem selain Islam. Hanya Islamlah yang memiliki sistem pengaturan kehidupan yang sempurna dalam mengatur urusan seluruh umat manusia di bawah naungan Khilafah Rasyidah ’Alaa Minhajin Nubuwwah.

Mewujudkan sistem Khilafah di tengah masyarakat adalah sebuah kewajiban yang penting dan mendesak saat ini.

Hanya dengan sistem Khilafah-lah, kaum muslimin dapat kembali ke dalam kemuliaan hidup di dunia dan akhirat. Wallahu ‘alam Bish Shawaab. (L. Hakim)

References:

  1. An-Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur (2/143)
  2. Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihayn (IV/7.464)
  3. https://mediaumat.id/advokat-kritisi-penghapusan-anggaran-kesehatan-minimal-di-uu-terbaru/
  4. http://helpsharia.com/2016/11/11/jaminan-kesehatan-dalam-islam/
  5. https://bisnis.tempo.co/read/1747292/9-pasal-kontroversial-dalam-uu-kesehatan