Gelombang Gagal Bayar Korporasi

Last Updated: 20 Juli 2020By

Aliansi Pengusaha Muslim – Risiko gagal bayar saat ini menghantui banyak perusahaan tanah air. Kondisi ini disebabkan oleh krisis akibat pandemi Covid-19 yang membuat banyak perusahaan mengalami kesulitan mengatur arus kas karena pendapatan yang menurun tajam akibat pandemi.

Sehingga, kemampuan dalam membayar utang perusahaan menurun. Risiko gagal bayar meningkat.

Bahkan sebenarnya fenomena gagal bayar sudah melanda sejak tahun lalu. Seperti dalam laporan bertajuk Risks from Leveraged Corporates Grow as Macroeconomic Conditions Worsen tahun 2019 lalu, Lembaga Moody’s Investor Service mengungkapkan Indonesia dan India merupakan dua dari 13 negara di Asia Pasifik yang memiliki risiko gagal bayar tertinggi.

Walhasil, dengan diperparah pandemi Covid-19 maka risiko gagal bayar bisa benar-benar menjamur.

Lembaga pemeringkat Fitch Ratings menyebutkan risiko gagal bayar terjadi di industri keuangan non-bank (IKNB). Menurut Fitch Kegagalan terkait tata kelola telah menghasilkan kerugian hingga US$ 3,5 miliar bagi investor sejak 2018. Fitch menuliskan serangkaian kasus gagal bayar baru-baru ini akibat kegagalan tata kelola perusahaan di industri keuangan di Indonesia.

Beberapa kasus yang mencuat dan jadi sorotan publik antara lain, kasus dugaan korupsi perusahaan asuransi milik negara PT Asuransi Jiwasraya (Persero), kasus PT Sunprima Nusantara Pembiayaan, dan kasus Koperasi Simpan Pinjam Indosurya Cipta (Koperasi Indosurya). Kasus yang terjadi di industri keuangan non-bank (IKNB) ini lebih disebabkan fraud. Fraud adalah tindakan curang yang dilakukan sedemikian rupa, sehingga menguntungkan diri sendiri, kelompok, atau pihak lain (perorangan, perusahaan atau institusi).

Selain gagal bayar dalam bentuk investasi pada industri kuangan non-bank di atas, gagal bayar utang juga mulai dialami berbagai korporasi di Indonesia. Emiten peritel ponsel dan voucher PT Tiphone Mobile Indonesia bk (TELE) bersama dengan empat anak usahanya resmi berada dalam keadaan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara (PKPUS) setelah perusahaan mengalami gagal bayar atas utang mereka. Selain Tiphone, PT Modernland Realty Tbk (MDLN) juga menyampaikan penundaan pembayaran obligasi.

Selain korporasi swasta beberapa BUMN juga mengalami gagal bayar. Ada Perum Perumnas yang sempat mengalami gagal bayar terhadap utang jatuh temponya meskipun setelah pergantian direksi Perum Perumnas melakukan pembayaran utangnya. Ada juga PLN, Garuda Indonesia, dan Krakatau Steel yang sempat melakukan restrukrisasi utang.

Demikianlah hantu gagal bayar yang melanda. Memang benar pandemi Covid-19 tidak saja menghadirkan problem kesehatan, tetapi juga ekonomi (makroekonomi) dan dunia bisnis. Namun demikian, gagal bayar yang terjadi tidak selalu disebabkan pandemi Covid-19 tetapi juga perilaku fraud.

Pada korporasi swasta gagal bayar bisa menyebabkan kebangkrutan dan berujung meningkatnya pengangguran dan kemiskinan. Lebih mengkhawatirkan lagi di BUMN khususnya BUMN strategis. Bisa-bisa lepas ke tangan asing.

Fenomena ini menyingkap fakta bahwa negara dengan corak kapitalisme yang mengandalkan pihak swasta sangatlah rawan. Sekali sektor swasta mengalami kesulitan kuangan bahaya PHK, pengangguran, dan kemiskinan segera menjadi ancaman nyata.

Fenomena gagal bayar juga membuat tingkat kelayakan investasi Indonesia merosot. Inilah problem kedua. Sebagai negara bercorak kapitalisme, kestabilan ekonomi sangat tergantung investasi asing.

Fakta-fakta ini mestinya membuka mata kita bahwa persoalan gagal bayar yang disebabkan utang-piutang yang mayoritas ribawi pada dunia kapitalisme ternyata tidak simple.

Memang terganggunya ekonomi akibat pandemi juga bisa melanda negara dengan sistem Islam. Namun karena dunia usaha tidak dibangun dengan sistem ribawi, investasi asing, dan ketergantungan swasta, sistem Islam lebih tangguh.

Sistem Islam lebih mengandalkan peran negara secara langsung bukan sebatas regulator. Semoga hal ini benar-benar menyadarkan kita. Wallahua’lam bishshowab. [] Pujo Nugroho