TERJEBAK DIPUSARAN DEMOKRASI, SAMPAI KAPAN ?
Oleh : Yuliansyah
Assalim Pusat
Sudah hampir satu tahun terakhir ini, konsentrasi umat di negeri ini terpolarisasi dan dipaksa terbelah untuk sebuah aktivitas dukung mendukung, pro dan kontra, agitasi dan provokasi dalam sebuah perhelatan politik lima tahunan. Suhu politik praktisnya pun kian hangat dan memanas menjelang batas akhir penyelenggaraan pemilihan umum bulan februari nanti. Dinamika politik yang begitu dinamis dengan janji-janji perubahan yang begitu manis mengalir deras dari para calon pemimpin dari level calon presiden sampai calon wakil rakyat DPRD kabupaten dan kota.
Semua menawarkan janji yang terkesan pro rakyat, peduli, dan empati pada hal-hal yang dibutuhkan rakyat. Padahal sejatinya, seperti yang sudah menjadi rahasia umum bahwa semua ini hanyalah janji-janji yang sengaja dipublikasikan untuk menarik simpati para pemilih sebagai legitimasi untuk berkuasa nantinya.
Tidak hanya janji, politik uang pun semakin massif dan dianggap wajar dilakukan untuk menarik simpati pemilih dalam berbagai bentuk, entah itu dalam bentuk sembako, sumbangan, santunan, gratifikasi, dan banyak lagi model yang upayakan untuk sekedar mendapat suara pemilih di pemilu nanti.
Pada level tertentu bahkan lebih mengkhawatirkan, demi mendapatkan dukungan suara, logistik dan dana mesin politik praktisnya para kontestan pemilu baik itu personal dan maupun partai rela melakukan politik transaksional dengan para mereka yang mau memberikan support suara, logistik dan dana yang nantinya akan dikompensasi dalam bentuk kebijakan yang menguntungkan dengan berbagai bentuk kebijakan, jabatan, perlindungan, bentuk transaksional lainnya.
Intinya, semua dukungan dalam aktivitas politik praktis akan berujung kepada “no free lunch”, tidak ada makan siang gratis yang akhirnya siapapun yang jadi pemenang pada kontestasi pemilu maka mereka akan lebih dominan untuk menjalankan agenda dan kebijakan sesuai dengan kepentingan, tujuan, bahkan ideologi yang diperjuangkannya.
Pada realitas politik yang terus berulang seperti inilah tanpa sadar negeri ini dan rakyatnya terjebak dalam pusaran kerusakan yang makin dalam di segala bidang baik itu politik, ekonomi, hukum, lingkungan, sosial dan budaya yang kesemuanya kalau ditarik benang merah masalahnya berujung kepada diterapkannya aturan hukum buatan manusia yang bercorak sekularisme kapitalistik saat ini.
Dilain sisi, penduduk negeri ini yang mayoritas beragama Islam yang harusnya menjadi kunci arah politik dan kekuasaan untuk menyudahi kerusakan sistem yang terjadi malah terjebak pada pusaran yang semakin rusak ini. Padahal sebagai seorang muslim secara imani pasti meyakini tidak ada aturan sistem yang lebih baik selain aturan yang datang dari pencipta manusia, alam semesta, dan kehidupan yaitu Allah SWT.
Namun sayang, telah hampir tujuh puluh tahun sistem pemilu diadakan, umat islam negeri ini disadari atau tidak telah menjadi objek dan alat legitimasi penguasa untuk berkuasa. Demokrasi hanya bisa mejadikan pemimpinnya beragama Islam tapi tidak akan pernah membuat syariat Allah sebagai inti dari ajaran islam diterapkan dalam semua aspek kehidupan yang bisa mengantarkan kepada kesejahteraan dan keberkahan.
Realitas demokrasi dan Islam yang tidak akan pernah bisa bisa menyatu dan homogen ini sejalan dengan tesis Samuel Huntington dan F. Fukuyama yang menyatakan, bahwa realitas empirik masyarakat Islam tidak kompatibel dengan demokrasi. Karena dalam sistem demokrasi, pemegang kekuasaan dan kedaulatan adalah manusia atau rakyat. Sedangkan dalam sistem tatanegara Islam, pemegang kekuasaan adalah umat tapi kedaulatan ada ditangan syariat sebagai wujud ketundukan dan ketaqwaan manusia sebagai mahluk ciptaan.
Pada titik inilah, sudah saatnya umat Islam tersadarkan untuk segera memiliki agenda yang sahih dan mulia untuk meniti jalan Islam sebagai poros perubahan seperti apa yang pernah dicontohkan oleh Rasullulah dan para sahabat dalam menyelamatkan sistem kehidupan yang rusak dan jahiliyah. Jalan yang akan bisa mengantarkan kepada pemimpin yang bisa menjamin diterapkannya syariat Islam secara sempurna.
Bukan jalan sistem demokrasi dengan larut dalam polarisasi kontestasi yang membuat mayoritas umat Islam berakhir menjadi objek penderita dalam setiap pesta lima tahunan yang alih-alih mengantarkan kepada kesejahteraan, malah semakin lama semakin menyengsarakan, kasar, kotor, transaksional, dan menjadi wasilah para oligarki dan pemilik modal berkuasa yang setelahnya semakin leluasa menggaruk dan mengeruk harta kekayaan negeri ini secara legal karena mandat sistem aturan yang membolehkan mereka buat sendiri sesuai keinginan dan kepentingannya saat berkuasa. []