Apbn Menurut Syariah Islam, Tahan Banting Di Saat Krisis

Last Updated: 17 Mei 2020By

Aliansi Pengusaha Muslim – Seiring krisis APBN karena kondisi ekonomi di saat pandemi Covid-19 dan solusi yang diambil pemerintah adalah berutang, maka terlihat jelas bahwa dalam kapitalisme, sistem yang diterapkan Indonesia, tidak banyak pilihan yang bisa diambil selain utang itu sendiri. Terlihat negara tak berdaya.

Sumber pemasukan negara yang lain, yaitu pajak jelas pada masa krisis seperti ini tidak bisa diharapkan. Kegiatan ekonomi sedang babak belur, pihak swasta sebagai penyetor pajak sedang mampet.

Mestinya hal ini mendorong kita untuk membuka pandangan bagaimana solusi tuntas mengatasi anggaran yang selalu tekor. Di saat normal saja Indonesia selalu defisit terlebih lagi di saat krisis seperti wabah covid-19 sekarang.

Di samping itu perlu juga bagi kita untuk melihat bagaimana Islam mengatur sistem keuangan negara. Islam sebagai agama paripurna juga mengatur bagaimana negara mengelola keuangannya. Prinsip dasar dan kaidah-kaidah penyusunan anggaran negara dalam Islam tentu sangat berbeda dengan prinsip penyusunan APBN dalam ekonomi konvensional.

Perbedaan prinsip yang paling mendasar antara anggaran negara konvensional dan Islam adalah menyangkut sumber-sumber utama pendapatannya maupun alokasi pembelanjaannya. Sumber-sumber penerimaaan negara Khilafah, yang lebih dikenal denagan sebutan Baitul Mal, sama sekali tidak mengandalkan dari sektor pajak. Bahkan negara sedapat mungkin tidak memungut pajak (dharibah) dari rakyatnya. Toh missal dharibah diberlakukan maka sifatnya hanya temporary dan tidak berlaku kepada seluruh rakyat.

Sumber-sumber utama penerimaan Baitul Mal seluruhnya telah digariskan oleh syariah Islam. Paling tidak ada tiga sumber utama, yaitu:

  • Sektor kepemilikan individu, seperti sedekah, hibah, zakat, dan lainnya.
  • Sektor kepemilikan umum, seperti pertambangan, minyak bumi, gas, batubara, kehutanan, dan sebagainya.
  • Sektor kepemilikan negara, seperti jizyah, kharaj, ghanimah, fai’, ‘usyur, dan sebagainya.

Pemasukan keuangan negara di atas sangat berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis. Kapitalis menganut kebebasan kepelimilikan. Konsep kebebasan kepemilikan ini menyebabkan sumber daya alam seolah bebas dimiliki siapa saja. Padahal di sinilah sumber pemasukan negara. Juga prinsip laissez faire di mana negara tidak memiliki kewajiban untuk mengintervensi distribusi kekayaan untuk mencegah kemiskinan.

Dengan penguasaan negara atas sumber daya alam yang dimiliki negara, negara dapat bertahan dalam krisis karena memiliki kas keuangan yang besar. Lebih dari sekadar itu negara juga berperan penuh dalam mendistribusikan kekayaan yang dimilikinya. Karena itulah dalam Islam pertumbuhan ekonomi adalah terpenuhinya semua kebutuhan dasar setiap warga negara.

Konsep ini sangat bertolak belakang dengan sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ekonomi kapitalisme menyerahkan roda ekonomi pada swasta dan mendudukan negara hanya sebagai regulator. Dalam Islam negaralah yang memiliki peran penuh dalam mengatur sumber daya alam, mendistribusikan kekayaan atas sumber-sumber yang dimiliki negara, dan memenuhi kebutuhan dasar warga negara. Terlebih lagi di saat wabah seperti sekarang.

Memang peluang negara mengalami krisis keuangan masih ada meskipun sangat kecil. Sehingga opsi negara berutang kepada negara lain tetap ada di dalam Islam. Tapi ketentuannya sangat ketat. Tidak boleh dengan skema riba dan membahayakan negara. Terlebih lagi bercermin Khulafaur Rasyidin di mana negara sangat kokoh bahkan menjadi negara adidaya di zamannya ekonomi negara sangat kuat. Tak ada utang. Dan luasan negara sangat besar dari jazirah Arab, Syam, Kaukasus, Afrika Utaram dan Asia Tengah di bagian timur.

Dalam Islam negara hadir dengan berbagai bantuan dan solusi-solusinya. Bukannya berutang dan berutang seperti yang dilakukan Indonesia saat ini. [] Pujo Nugroho