Manusia Ala Gurun
Open Mind Versus Close Mind
Oleh: Alfian Nur Effendi
Sejak beberapa hari yang lalu, masyarakat kembali dihebohkan dengan postingan di akun pribadi media sosial seorang rektor di salah satu Universitas di Kalimantan timur.
Kehebohan ini disebabkan isi postingan yang menarasikan wanita yang memakai hijab sama seperti manusia ala gurun. Pelajar yang “Open Mind” dipandang bukan yang suka demo, pintar dalam akademisi, tidak suka memakai bahasa “langit” yang keislamian, tidak hobi membicarakan tentang kehidupan setelah mati, lebih suka mencari “Tuhan” di negara yang dipandang maju seperti Korea ketimbang negara yang hanya pandai bercerita tanpa karya teknologi, Eropa dan US, dan fokus “membumi” dengan tujuan mengejar dunia.
Dari narasi tersebut, yang didapuk “Close Mind” merupakan kebalikan dari itu semua seperti mengartikan dan mengarah ke muslim yang berusaha taat syariat adalah orang-orang yang “Close Mind”, dan secara tidak langsung pun mendeskripsikan bahwa Agama Islam adalah agama yang “Close Mind”.
Lalu apa sebenarnya makna dari “Open Mind”?
Secara makna, “Open Mind” adalah cara seseorang berpikir terbuka dan dapat menerima segala informasi atau ide dari banyak sudut pandang sehingga lahir suatu sikap yang bijak dalam menghadapi informasi atau ide tersebut.
Artinya, seseorang yang “Open Mind” dapat dikategorikan sebagai orang yang bijaksana.
Tetapi sangat disayangkan telah terjadi kesengajaan menggeser dan mengaburkan makna dari “Open Mind” tersebut. “Open mind” saat ini dimaknai sebagai cara seseorang berpikir terbuka yang harus MENERIMA, MEYAKINI serta dapat MENG-ADAPTASIKAN informasi dan ide pemikiran itu dalam lisan dan perbuatannya.
Orang yang tidak mau menerima hal itu dicap “Close Mind” dan tidak punya toleransi, pergeseran makna ini pun tidak hanya tentang memakai hijab, tetapi juga tentang gaya hidup hedon, berpakaian ketat dan buka aurat sebagai fashion kekinian, pacaran dan zina tidak masalah asal suka sama suka, LGBT adalah hak asasi manusia, bunga bank dan pinjaman suatu kewajaran, dan lain sebagainya. Intinya, “Open Mind” adalah kebebasan tanpa perlu ada batasan larangan dari Agama.
Apakah ada alasan dibalik pergeseran makna “Open Mind” ??
Semua narasi opini dan ide pemikiran di atas bertujuan untuk memojokkan Islam, merendahkan simbol-simbol Islam (deislamisasi), seperti muslimah bercadar atau berhijab, jenggot dan gamis ala kadrun, toa masjid yang seperti gonggongan anjing, pengkategorian radikal, muslim intoleran dan lain sebagainya.
Bukankah apa yang dilakukan oleh mereka yang menyerang simbol dan ajaran Islam dengan dalih “Open Mind” justru sebenarnya memperlihatkan bahwa mereka sendiri adalah orang yang “Close Mind” dan intoleran dengan simbol dan ajaran Islam itu sendiri??
Narasi ini menggiring opini yang meragukan umat muslim, serta berusaha menjauhkan umat muslim dari Islam itu sendiri dengan menggeser suatu pemahaman kepada umat, salah satu contohnya adalah “Open Mind”.
Dengan opini ini maka jelas tujuannya adalah sekulerisasi, yaitu pemisahan antara urusan kehidupan dengan agama. Agama tidak perlu mengurusi kebebasan manusia dalam menjalani kehidupan, kebebasan berekspresi serta bertingkah laku. Manusia dianggap seharusnya bebas mengikuti kemauannya sendiri selama ada manfaat baik untuk kepentingan pribadi atau golongan.
Bagaimana hubungan antara Open Mind dan Islam?
Secara fakta, sebenarnya Islam adalah agama yang sangat “Open Mind”, Islam mengajarkan bagaimana menerima dan menghormati ide dan pendapat orang lain, bagaimana menerima dan menghormati orang dengan kepercayaan agama lain. Dan salah satu pilar peradaban Islam yang menaungi seluruh umat baik muslim maupun non-muslim adalah “Open Mind” dan toleransi.
Dalam kitab Nizhamul Islam karya Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani, justru sebenarnya Islam adalah agama yang menjaga manusia agar tetap dalam koridor fitrahnya sebagai manusia, memuliakan manusia baik pria dan wanita, dan bagaimana seharusnya suatu peradaban manusia itu diletakkan sesuai fitrahnya, yaitu sesuai dengan apa yang diperintah dan dilarang oleh Allah SWT.
Inilah yang dinamakan kaidah pemikiran Islam, bahwa kebebasan kehidupan manusia itu sebenarnya diatur dengan hukum Allah agar tidak berlebihan dan malah merugikan manusia itu sendiri. Kaidah pemikiran yang berdasarkan Aqidah Islam itulah yang menjaga eksistensi manusia beserta peradabannya berjalan sebagaimana mestinya dalam hukum yang diturunkan oleh Allah SWT melalui Rasulullah SAW.
Keberadaan Allah sebagai Pencipta merupakan hal yang wajib diimani, begitu pula tentang alam setelah kematian serta hari kiamat. Seluruh lisan perbuatan manusia merupakan keterikatan dengan Allah SWT yang pasti akan dipertanggungjawabkan, sehingga manusia wajib menjalani sesuai dengan segala perintah dan larangan-Nya.
Hal ini terbukti dalam sejarah bagaimana peradaban Islam yang “Open Mind” mencapai suatu zaman kejayaan baik dalam sisi sosial masyarakat, ekonomi, ilmu pengetahuan teknologi, pendidikan dan lain sebagainya. Peradaban Islam yang “Open Mind” ini malah menjadi mercusuar cahaya ilmu pengetahuan dan budaya di seluruh penjuru dunia.
Tetapi, jika informasi dan ide pemikiran itu tidak sesuai syariat Islam maka inilah batasannya. Hal ini cukup beralasan jika saja kita memakai sedikit logika. Hal-hal yang diluar batas dan tidak sesuai fitrah manusia mengandung hikmah bahwa informasi, ide pemikiran dan budaya selain Islam adalah sumber yang melahirkan banyaknya masalah sosial ekonomi di masyarakat, penyakit mental health serta kerusakan lainnya.
Ide pemikiran dan budaya yang tidak sesuai dengan fitrah manusia jika tetap dipaksakan menjadi budaya peradaban inilah yang berujung kerusakan. Akibatnya mungkin tidak dirasakan dalam waktu pendek, tetapi akan dirasakan dalam waktu sangat panjang, hal ini karena keterbatasan akal manusia, seperti kondisi masyarakat saat ini yang telah lama dicekoki ide pemikiran dan budaya barat yang mengakar. Dan lebih disayangkan pula, jika hembusan opini menyerang Islam itu pelakunya adalah muslim itu sendiri.
Akhir kata, “Open Mind” dalam Islam sangat dianjurkan dimiliki pribadi muslim dengan batas-batas syariat Islam, dan dengan dasar pemikiran Islam yang benar. Segala informasi dan ide pemikiran yang tidak sesuai dengan
Syariat Islam tidak boleh diyakini bahkan tidak boleh diterapkan dalam kehidupan umat muslim itu sendiri, hanya saja bisa dihargai sebagai bentuk toleransi jika berkaitan dengan non-muslim.
Jika pemikiran berlandaskan Islam ini diterapkan oleh seluruh umat muslim di seluruh sendi kehidupan, maka pasti peradaban manusia yang cemerlang akan tercipta kembali dirasakan seluruh manusia, baik muslim maupun non-muslim.
Wallahu’alam bishowab