Omnibus Law Cipta Kerja. Kapitalis Untung, Negara Buntung?

Last Updated: 7 Oktober 2020By

Agan Salim

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Senin (5/10/2020), telah mengetok palu tanda disahkannya Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang. Pengesahan RUU Cipta Kerja ini bersamaan dengan penutupan masa sidang pertama yang dipercepat dari yang direncanakan, pada 8 Oktober 2020 menjadi 5 Oktober 2020.

Di sisi lain, pengesahan tersebut mendapat penolakan dari berbagai elemen masyarakat. Hal itu disebabkan Omnibus Law UU Cipta Kerja, dinilai akan membawa dampak buruk bagi tenaga kerja atau buruh. (kompas 06/10/2020)

Penolakan datang dari Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Nur Hidayati “Pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja merupakan puncak pengkhianatan negara terhadap hak buruh, petani, masyarakat adat, perempuan, dan lingkungan hidup serta generasi mendatang”.

Bahkan “Pengesahan RUU Cipta Kerja merupakan persekongkolan jahat proses legislasi yang abai pada kepentingan hak asasi manusia dan lingkungan hidup,” ujarnya. (CNN Indonesia 06/10/2020)

Sesuai judulnya cipta kerja, UU ini mengisyaratkan kelak terciptanya begitu banyak lapangan kerja dan kesempatan kerja. Logikanya, jika investasi datang berbondong-bondong dan muncul beragam usaha skala besar maka dengan sendirinya tercipta lapangan kerja. Multiplier effect dari kegiatan investasi tentu juga akan meluas.

Tetapi, benarkah akan semanis itu ? LIhat saja faktanya saat ini, sebelum disahkah dan diterapkan Omnibus Law saja, sejumlah perusahaan asing yang berinvestasi dan beroperasi di Indonesia selain tidak signifikan dalam penyerapan tenaga kerja Indonesia, juga tidak terasa multiplier effect-nya dalam perluasan lapangan dan kesempatan kerja.

Bahkan dibeberapa investasi asing, tenaga kerja justru banyak diangkut dari negara asal investasi tersebut. Lihat saja perusahaan-perusahaan asal China yang beroperasi di sejumlah daerah di Sulawesi saat ini.

Bisa dibayangkan ketika “Omnibus Law Cipta Kerja (OLCK)” itu berlaku, maka bagi para kapitalis ini adalah karpet merah yang rapi dan indah buat mereka, mereka bagaikan kaum merkantilis (merchant) di abad ke-16 hingga 18 di Eropa.

Jadi sejatinya, keberadaan OLCK ini menandakan kemenangan cengkraman kaum kapitalis atas kedaulatan negara dinegeri ini. Saat ini mereka tengah menguasai negara, bahkan hubungan sangat dekat dengan para pemegang kekuasaan.

Undang-undang ini layaknya hadiah buat mereka juga ikut membiayai kegiatan-kegiatan negara, serta mengongkosi para politisi yang bertarung dalam pemilu (terutama pilpres dan pilkada).
Beberapa di antara kapitalis itu juga secara langsung memiliki posisi formal di jabatan-jabatan tinggi pemerintahan.

Pada akhirnya, ummat harusnya sadar, bahwa demokrasi kapitalisme dengan jargon kesejahteraan dan keadilan hanyalah ilusi dan fatamorgana. Dan sudah seharusnya kembali keaturan Rabb-nya dalam menggelola negara. Wallahu’alam. []