Warga Wadas Yang Tertindas
Ulasan Utama Assalim.id | Edisi 98
Oleh: Bung Dady
Assalim.id – Sahabat Assalim.id yang baik dan budiman, kasus Wadas sedemikian cepat senyap dari pemberitaan media cetak ataupun elektronik mainstream, padahal pihak oligarki terus bergerak cepat. Dan ketertindasan makin dirasakan oleh warga Wadas. Pekan kemarin yakni Kamis, 24 Maret 2022, terjadi protes dari warga dalam kasus terkait permasalahan di Wadas, seolah diputar balikkan dari fakta sebenarnya yakni pada soal TUC SMP.
Warga Wadas mendatangi Dinas Pendidikan Kabupaten Purworejo guna mempertanyakan hal di atas.
Sebagaimana kita ketahui fakta awal mula kasus di Wadas, yakni adanya penolakan masyarakat setempat terkait pembangunan proyek Bendungan Bener, yang berujung intimidasi terhadap sejumlah warga yang menolak pengukuran tanah dan pertambangan batuan andesit. Meski telah ada klarifikasi mengenai peristiwa tersebut, tetapi sejumlah pihak semisal NGO Greenpeace menuliskan, bahwa Peraturan Daerah Purworejo No. 27/2011 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) menetapkan bahwa Desa Wadas merupakan kawasan khusus perkebunan.
Namun, berdasarkan SK Gubernur Jawa Tengah pada tahun 2018, Desa Wadas kemudian ditetapkan sebagai lokasi quarry atau penambangan batu untuk pembangunan Bendungan Bener.
Berdasarkan SK Gubernur Jawa Tengah No. 509/41 Tahun 2018 pula Desa Wadas
menjadi lokasi penambangan batuan andesit material bagi pembangunan proyek Bendungan Bener.
Ini patut diduga merupakan satu diantara berbagai kasus berulang yang menunjukkan ketidakadilan pada rakyat.
Total lahan penambangan dan pembangunan yang bendungan butuhkan yakni 145 hektare. Ditambah 8,64 hektare lahan untuk akses jalan menuju proyek pertambangan.
Penambangan tersebut menggunakan metode blasting atau bahan peledak. Warga menilai aktivitas penambangan semacam ini mengancam keberadaan 27 sumber mata air yang ada disana. Imbasnya, berpotensi merusak lahan pertanian warga.
Terdapat keanehan, yakni kebutuhan batuan andesit untuk pembangunan waduk ternyata hanya 8 juta m³, padahal keberadaan batuan andesit 43 juta m³. Lantas akan dikemanakan ya sisanya ? Atau untuk siapa ini terkesan sangat dipaksakan?
Anehnya lagi, Gubernur Jawa Tengah justru mengeluarkan Keputusan No. 590/41 Tahun 2018 mengenai persetujuan Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah untuk pembangunan Bendungan Bener di Purworejo itu, meski warga sudah aktif menolak sejak 2016-an yang lalu.
Mengenai peninjauan masalah AMDAL sejatinya cacat, baik secara substansi maupun prosedural. Bukan hanya untuk aktivitas penambangan tentunya, alih fungsi lahan yang kerap pemerintah lakukan telah mengorbankan rakyat berikut cost social lainnya. Dalam banyak kasus, alih fungsi lahan dengan menerapkan sistem ganti rugi lahan telah menghilangkan sumber penghasilan pokok masyarakat. Mereka harus merelakan lahan mereka dengan sejumlah rupiah yang hanya bertahan sekian waktu saja.Belum lagi ancaman pencemaran lingkungan.
Iming-iming proyek yang menyerap
tenaga kerja dan menguntungkan masyarakat setempat hanya bertahan pada jangka waktu sebentar. Setelah proyek usai, yang tinggal hanyalah lingkungan rusak dengan limbah yang mencemari wilayah setempat.
Berpihak pada Oligarki?
Lantas, mengapa pemerintah setempat ngotot melanjutkan pembangunan
bendungan tersebut? Inilah pokok permasalahan berbagai kasus pencaplokan lahan warga oleh penguasa. Ada baiknya kita melihat jejak munculnya konflik ini
berdasarkan regulasi yang pemerintah rumuskan.
Pada 15/6/2017 lalu, Presiden mengeluarkan Perpres 58/2017 tentang perubahan atas Perpres 3/2016 tentang Percepatan Proyek Strategis Nasional.
Perpres yang mengandung 245 proyek tersebut utamanya mengatur mengenai
aspek pembiayaan pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dapat
dilakukan dengan pembiayaan nonpemerintah.
Terdapat tiga bendungan yang
masuk dalam proyek strategis nasional, Bendungan Bener adalah satu dari
serangkaian proyek raksasa itu. Berdasarkan data dari Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas
(KPPIP) proyek fantastis Bendungan Bener ini bernilai investasi sekitar Rp 2,060
triliun dari dana APBN-APBD dengan melibatkan BUMN, yakni PT Waskita Karya (persero) Tbk., PT PP (persero) Tbk., dan PT Brantas Abipraya (persero).
Patut diduga, kepentingan pemilik modal dengan dukungan pengambil kebijakan menunjukkan proyek ini sarat kepentingan oligarki. Lingkar kekuasaan yang menghubungkan pengusaha dan penguasa adalah jawaban atas kasus serupa.
Meski pada beberapa kasus, pemerintah membangun kembali sejumlah lokasi
bekas penambangan berdalih edupark, objek wisata alam, atau pembangunan
pasca-lahan lainnya, itu tidak lebih dari sekadar proyek “pemutihan dosa” oligarki
atas pencemaran lingkungan yang telah mereka lakukan.
Lantas, bagaimana Islam menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan serta kesehatan warga?
Dalam pandangan Hukum, Kejadian di Desa Wadas sepatutnya kegiatan ini dihentikan, mengingat adanya Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Putusan MK yang dimaksud merupakan
putusan terhadap perkara pengujian formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2020 tentang Cipta Kerja. Salah satu amar putusan MK yaitu memerintahkan menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak
luas.
Masyarakat berhak menolak jika penambangan itu akan merugikan mereka.
Selama ini, persetujuan masyarakat baru diminta saat izin pertambangan sudah diberikan ke pengusaha sehingga sulit bagi masyarakat menolak.
Pemberian persetujuan masyarakat harus dilakukan secara langsung, bisa melalui referendum lokal.
Persetujuan rakyat tidak dapat diwakilkan melalui DPRD atau pemerintah daerah karena dikhawatirkan sarat kepentingan pribadi mereka.
Jika ada masyarakat yang menolak akan ditangkap dengan tuduhan merintangi atau mengganggu kegiatan Usaha Pertambangan (pasal 162 UU 4/2009), menurutnya, bahwa Pasal 162 UU No 4/2009 hanya dapat diberlakukan jika pemegang izin usaha pertambangan (IUP) atau IUP khusus telah menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak sebelum usaha produksi pertambangan dilakukan.
Pasal 162 memiliki semangat yang bertentangan dengan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yakni dalam ketentuan ini mereka yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata.
Dan juga Warga desa Wadas yang dijerat dengan Pasal 28 UU ITE dan pasal 14 jo
Pasal 15 UU No 1 tahun 1946 dirasa tidak tepat. Warga hanya menyiarkan situasi
nyata yang terjadi langsung di desanya, bukan dengan maksud menimbulkan
keonaran dan menyebarkan berita bohong.
Dalam Perspektif Islam, pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan memiliki hubungan yang saling mempengaruhi.
Di tengah penerapan sistem kapitalisme, eksploitasi lingkungan terjadi secara membabi buta demi memenuhi tuntutan investor. Padahal, lingkungan yang bersih sejatinya merupakan kebutuhan seluruh pihak.
Rusaknya lingkungan justru menghambat pertumbuhan ekonomi karena lingkungan sendiri merupakan sumber pokok pertumbuhan ekonomi. Lingkungan yang rusak akan menyebabkan turunnya kualitas hidup dan beban produksi kian naik.
Dalam buku Fikih Ekonomi Umar bin Khaththab terbitan Pustaka Al-Kautsar yang ditulis oleh Dr. Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi, Khalifah Umar bin Khaththab memberikan contoh nyata pembangunan yang tetap berpijak pada kelestarian lingkungan. Umar ra. memahami lingkungan berpengaruh terhadap kesehatan dan kehidupan manusia.
Meski memperhatikan masalah pertumbuhan ekonomi, beliau tidak mengabaikan aspek lingkungan. Beliau berkata, “Satu rumah di Rakbah lebih saya sukai daripada sepuluh rumah di Syam,” karena di Syam banyak penyakit dan wabah, sedangkan Rakbah adalah daerah yang sehat, udaranya bagus, dan sedikit penyakit serta wabahnya.
Umar memberikan tanah takhlukkan kepada penduduknya untuk dipelihara karena
mereka lebih tahu dan lebih berhak. Itulah sebab beliau tidak membagi tanah taklukan karena takut terjadi perselisihan dan pertengkaran mengenai cara memanfaatkan sumber daya alam tersebut. Beliau ra. berkata, “Aku takut kalian saling membinasakan karena air, dan aku takut kalian saling membunuh.”
Umar pun tidak pernah mengizinkan eksploitasi lingkungan sebab beliau memahami bahwa sumber daya alam merupakan milik generasi yang akan datang. Mereka berhak atas lingkungan sehat dan jauh dari pencemaran.
Kasus yang juga merupakan upaya mulia Pemimpin Islam menjaga hak dari warga negaranya yakni kasus saat Gubernur Mesir yakni Amru bin ‘Ash yang berencana memperluas area Masjid, dimana didekat Masjid ada rumah seorang Yahudi. Gubernur Amru mencoba menawar untuk membeli rumah tersebut dengan harga sangat fantastis, namun pemilik rumah tersebut tetap menolaknya, sehingga akhirnya ia melaporkan pada Khalifah Umar bin Khaththab di ibu kota Negara Islam yang saat itu berpusat di Madinah. Mendengar pengaduan dari rakyatnya, Khalifah Umar kemudian memberi solusi dengan mengambil sepotong tulang unta dan menorehkan dua garis yang berpotongan: satu garis horizontal dan satu garis lainnya vertikal. Kemudian diserahkan kepada Yahudi yang mengadukan nasibnya tadi. Betapa heran saat titipan dari Khalifah Umar tersebut diserahkan pada Gubernur Amru, bergetar tubuhnya dan pucat pasi wajahnya melihat garis goresan pedang pada tulang tersebut, kemudian ia perintahkan pekerja perluasan Masjid untuk mengembalikan rumah yahudi tersebut dan rencananya mau dibangun lebih baik lagi.
Betapa kaget dan heran yahudi tersebut melihat kejadian ini, maka betapa ia menyaksikan keadilan dalam Islam, hingga akhirnya pun ia minta dituntun mengucap syahadat. Dan berikutnya ia rela menyerahkan tanah untuk perluasan Masjid, sedangkan ia rela rumahnya bisa dibangunkan di lokasi yang lain.
Atas dasar ini kita memahami bahwa penguasa berperan dalam merumuskan kebijakan dan mengharmoniskan masyarakat dengan lingkungan tanpa mengabaikan pertumbuhan ekonomi.
Masalah saat ini adalah diduga penguasa lebih memilih memenuhi tuntutan korporasi ataupun oligharki daripada memikirkan kebutuhan masyarakat dan cost social lainnya.
Pembangunan yang kapitalistik telah meninggalkan sejumlah masalah lingkungan yang tidak terselesaikan. Kasus berulang harusnya memberikan pelajaran bahwa mengejar pertumbuhan ekonomi dengan label proyek strategi nasional membutuhkan peninjauan ulang.
Regulasi ala kapitalisme yang membuka celah investasi di ranah kepemilikan umum, seperti tambang, hutan, eksploitasi bawah laut, juga beberapa aset-aset strategis lainnya membutuhkan pengkajian secara sistemis.
Mengorbankan rakyat dan lingkungan berdalih proyek strategis nasional bukanlah keputusan bijaksana. Selayaknya, di dalam mengejar pertumbuhan ekonomi tetap mengharmoniskan manusia dan lingkungan. Sebab, lingkungan adalah investasi, baik untuk saat ini maupun masa mendatang.
Ya, dengan sistem yang Allah Subhaanahu wa Ta’aala turunkan maka segenap warga negara terperhatikan, bahkan seorang Yahudi dalam kisah di ke gubernur an Amru bin ’Ash diatas, terbela haknya bahkan melebihi ekspektasi nya dalam meraih keadilan. Islam dengan segenap sistemnya terbukti mampu melayani semua, dengan adil dan bijaksana serta sejahtera lahir batinnya. Semoga ke depan, hadir kembali memimpin kita dan seluruh dunia. []