Wacana Perpanjangan Masa Jabatan Presiden Demi Melanjutkan Agenda Oligarki Yang Belum Tuntas
Editorial Assalim.id | Edisi 97
Oleh: Pujo Nugroho
Assalim.id – Penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan Presiden belakangan ini menjadi sorotan banyak pihak. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan ditengarai di balik semua isu ini. Luhut diduga meminta beberapa petinggi partai koalisi untuk mewacanakan perpanjangan masa jabatan Presiden.
Terlebih lagi Luhut sendiri mengklaim memiliki big data yang menangkap aspirasi dari 110 juta warganet Indonesia terkait wacana penundaan pemilihan umum (pemilu).
Kita melihat wacana ini menggerus akal sehat. Bayangkan di tengah kegagalan Pemerintah mengendalikan tata niaga minyak goreng, kelangkaan beberapa komoditas, serta kenaikan harga-harga. Dalam hal kesejahteraan juga sangat mencolok. Minimnya kenaikan UMP dan semakin berkurangnya fasilitas BPJS menandai makin beratnya kondisi masyarakat. Karena itu isu ini adalah isu tak tahu diri.
Lalu bagaimana kita memandang isu perpanjangan masa jabatan presiden ini? Isu penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan dengan berbagai dalih ini diduga adalah perubahan dari ide masa jabatan tiga periode yang sebelumnya sudah digulirkan. Kedua gagasan ini sejatinya sama, yaitu memperpanjang masa jabatan tanpa melibatkan rakyat.
Karena mendapat pertentangan dari partai-partai besar yang sudah bersiap dengan capres yang mau diusung maka ide 3 periode di-downgrade menjadi penundaan pemilu.
Lalu, untuk apa perpanjangan masa jabatan ini? Pengamat politik FISIP Universitas Diponegoro dan Direktur Media dan Demokrasi LP3ES Wijayanto menuturkan, wacana penundaan pemilu merefleksikan kepentingan oligarki yang secara konsisten menghasilkan kebijakan politik yang memunggungi suara publik.
Menurutnya, dalam konteks ini, pengusul penundaan pemilu memiliki kepentingan untuk mempertahankan status quo dan melanjutkan agenda-agenda oligarki yang belum tuntas.
“Seperti pemindahan ibu kota, revisi Omnibus Law yang dinyatakan tidak sah oleh Mahkamah Konstitusi, dan agenda-agenda lain yang baru mulai atau masih sedang berjalan,” jelas Wijayanto (kompas.com, 5/3/2022).
Lebih dari sekadar itu menurut ekonom senior Rizal Ramli pada masa pemerintahan Jokowi-lah masa keemasan oligarki berkuasa. Pada masa pemerintahan Jokowi oligarki berhasil menjadi bagian dari kekuasaan dan bisa mengatur hukum dan kebijakan sesuai dengan keinginan mereka.
“Masa emas oligarki terjadi di era Jokowi. Itulah alasan mereka ingin nambah 3 periode, 3 tahun. Untuk meneruskan penyedotan rente dan lindung diri dari hukum,” tegas Rizal Ramli dalam kicauannya itu pada Senin (14/3/2022) seperti yang diberitakan RMOL.id (14/3/2022).
Karena itu wajar kemudian isu yang sebenarnya inkonstitusional, melawan akal sehat, dan tak tahu diri ini digulirkan.
Jika kita perhatikan di mana tabiat demokrasi yang selalu berhasil dikuasai para kapitalis pemilik modal apakah penundaan pemilu, masa jabatan 3 periode, atau bahkan presiden baru sekalipun tidak menutup kemungkinan para oligarki tetap berkuasa. Karena itu jangan pula berharap digagalkannya ide perpanjangan masa jabatan presiden atau masa jabatan 3 periode akan menyelamatkan rakyat Indonesia sari cengkeraman oligarki.
Bagaimanapun sistem sekaranglah yang mesti diubah secara total demi mencegah oligarki berkuasa.[]