Uu Omnibus Law Cipta Kerja Karpet Merah Buat Oligarki – Pil Pahit Untuk Negeri

Last Updated: 17 Oktober 2020By

Oleh : Agan Salim.

Pengesahan RUU Ciptaker telah menimbulkan kericuhan diberbagai daerah. Bahkan dalam menangani gejolak massa yang protes, telah banyak jatuh korban, kerusakan, dan penangkapan. Belum lagi persoalan ini rentan menimbulkan ledakan besar kasus Covid-19.

Pemerintah mengklaim desain kebijakan UU ini memudahkan investasi. Pemerintah berargumen bahwa investasi adalah kunci dalam menciptakan lapangan kerja.

Klaim pemerintah ini terasa “ambyar” kalau kita lihat dari literasi data dari berbagai sumber. Misalnya data Badan Koordinasi Penanaman Modal terkait dengan investasi yang dari 2013-2019 yang dapat disimpulkan bahwa banyaknya investasi tidak berbanding lurus dengan jumlah tenaga kerja yang diserap, bahkan cendrung menurun.

Dan UU ini juga wajar mendapatkan penolakan yang massif dari kaum pekerja dan buruh, karena ini ibarat “pil pahit” karena banyaknya hak-hak mereka yang dikebiri dalam UU ini dengan alasan memberatkan pengusaha selama ini dan menjadi daya tarik investor untuk berinvestasi.

Padahal kalau dilhat dari data ILO Labour Statistics (2013-2019), rata-rata pendapatan riil bulanan yang diterima pekerja di Indonesia masih paling rendah jika dibandingkan dengan negara tetangga di Asia Tenggara seperti Vietnam, Filipina, Thailand, dan Malaysia.

Jadi semakin jelas bahwa RUU Cipta Kerja tidak akan berdampak banyak untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Yang terjadi justru regulasi ini akan memperkuat oligarki atau politik mempertahankan kekayaan lewat lobi-lobi kekuasaan dan korupsi.

Alih-alih memperbaiki ekonomi, UU Omnibus Law CK ini justru memperparah konsentrasi kekayaan di tangan segelintir orang dengan cara mengkonsolidasikan kekuatan oligarki. Dan ini jelas adalah “karpet merah” buat para oligarki.

Dari bisa kita takar bahwa akar masalah dari semua ini bukan hanya faktor teknis ekonomi semata, tapi lebih dalam dari itu, ini adalah buah dari sistem yang diadopsi negeri ini secara sadar, yaitu ideologi kapitalisme dengan jargon demokrasinya.

Ideologi yang dalam sejarahnya tidak pernah bisa ciptakan kesejahteraan yang berkeadilan. Bahkan dinegera kampiumnyapun, kapitalisme begitu dibenci rakyatnya. Lihat saja gerakan ‘we are 99 percent’ yang mengokupasi Wall Street sebagai simbol arogansi kaum kapitalis.

Begitu masifnya kerusakan yang ditimbulkan di AS hingga 1 persen orang menguasai kekayaan 99 persen orang disana. Tak terkecuali dinegeri ini, Iqra Anugrah dalam tulisannya The Illiberal Turn in Indonesian Democracy (2020), misalnya, menyebutkan bahwa dalam 15 tahun terakhir, demokrasi di Indonesia secara perlahan berbalik arah dan bertendensi menuju demokrasi liberal atau demokrasi semu.

Karenanya, sistem yang rusak ini harus segera disudahi. Bukan saatnya lagi tambal sulam untuk sistem yang rapuh ini. Kaum muslimin negeri harusnya lebih percaya diri dan keyakinan untuk meneriakan ‘Islam dengan perangkat sistem ilahinya adalah jawaban dan solusi’. Karena hanya denga Islam sajalah kita bisa menyudahi karut marut persoalan dinegeri ini. []