Uu Cipta Kerja Melawan Fitrah Manusia, Islam Solusinya

Last Updated: 21 Oktober 2020By

Oleh : Haris Abu Muthiah.

Aliansi Pengusaha Muslim Penolakan dari rakyat, mulai dari buruh, mahasiswa, ormas, dan masyarakat lainnya terhadap Omnibus Law UU Cipta Kerja  tidak menyulut komitmen Pemerintah dan DPR-RI mempertahankan UU ini. Padahal korban jiwa sudah berjatuhan baik dari aparat maupun sipil, tidak sedikit kerugian akibat kerusakan fasilitas umum dan fasilitas khusus.

Bahkan pemerintah melalui Menkopolhukam, Mahfud MD, menegaskan akan menindak tegas massa yang dianggap provokator, anarkis, yang mendanai maupun yang memobiliasi massa. Sampai saat ini pihak kepolisian sudah menangkap demonstran seluruh di Indonesia 5,918 orang, 240 diantaranya sudah ditetapkan tersangka.

Kita pun patut bertanya?, mengapa  pemerintah tetap ngotot bertahan dan menggunakan kekuatan aparat untuk membubarkan aksi demonstran?. Lalu siapa yang diuntungkan dengan UU ini?. Bagaimana pula Islam memandang lahirnya UU Cipta Kerja ini?

Sejak awal sebelum UU Cipta Kerja disetujui untuk di undangkan oleh DPR-RI telah menimbulkan masalah dan penolakan dari berbagai pihak. Pemerintah dan DPR-RI sendiri selain dinilai tidak peka dengan Covid–19, proses UU Cipta Kerja ini oleh para ahli dinilai cacat prosedural hukum.Bukan hanya itu UU ini sangat liberalistik, sentralistik oligarkis, dan subtansi cipta investasi.

Ini menunjukkan bahwa lahirnya UU ini diduga kuat ada kekuatan besar yang memiliki modal besar ikut ‘bermain’ dibelakang layar. Boleh jadi ada dieksekutif, legislatif, maupun diluar kekuasaan tapi ikut andil menentukan setiap kebijakan penguasa. Di DPR misalnya, 45% dari 575 atau sedikitnya 262 orang berlatar belakang pengusaha yang memiliki investasi,  jabatan komisaris, hingga menduduki kursi direksi lebih dari seribu perusahaan.

Bukan hanya itu, dari 127 satuan tugas (satgas) RUU Cipta Kerja, sebahagian besar dari kalangan pegusaha (Kadin dan Apindo). Anehnya,  tak ada satupun dari kalangan masyarakat yang terdampak dilibatkan. Seperti, buruh, petani, nelayan, kelompok rentan lainnya. Ini semua menunjukkan bahwa UU ini dirancang untuk kepentingan oligarki dilingkaran kekuasaan.

Inilah bahayanya UU ini jika tetap diberlakukan. Pemerintah dalam hal ini akan melakukan apa saja atas nama investasi demi kepentingan pengusaha, terlepas apakah menguntungkan atau merugikan rakyatnya. Semua kebijakan dasarnya adalah asas manfaat. Ukurannya adalah manfaat dari sisi ekonomi. Jika bernilai ekonomi dipertahankan.

Inilah karakter sejati kapitalisme. Oleh karenanya kepemilikan dalam  sistem kapitalis diserahkan sebebas-bebasnya kepada individu maupun swasta untuk memiliki aset/kekayaan apa saja yang mereka inginkan. Kendati aset itu adalah milik umum maupun negara. Negara dalam hal ini hanya sebatas membuat regulasi untuk memuluskan kepentingan mereka.

Inilah yang terjadi dalam UU Cipta Kerja yang semakin memperkuat dan memperlebar kekuasaan swasta dalam mengatur ekonomi dan aset-aset hidup orang banyak. Jauh sebelum UU ini  sumber daya alam terutama sektor pertambangan, berupa batubara dan nikel sudah dikuasai swasta dan asing. Bahkan beberapa proyek strategis periode Jokowi-JK juga dikusai swasta yang tersebar dari Sumatera hingga Papua. (CNNIndonesia, 20/11/2017).

Sumatera 61 proyek senilai Rp638 triliun, Kalimantan 24 proyek senilai Rp564 triliun, Sulawesi 27 proyek senilai 155 triliun, dan Maluku-Papua 13 proyek senilai 444 triliun. Bukan hanya itu. Presiden Jokowi mengakui seperti dilansir CNBC Indonesia (31/10/2019) bahwa Tol Laut juga dikuasai swasta. Swastalah yang bebas menentukan harga barang ke daerah yang dilalui Tol Laut.

Dari fakta ini dapat dipahami bahwa betapa swasta atau para kapitalis sangat berkepentingan untuk menguasai seluruh kekayaan negeri ini. Nah, adanya UU Cipta Kerja yang tetap akan dijalankan oleh pemerintah dengan dukungan penuh DPR-RI semakin memperkuat posisi tawar swasta dan asing dalam mengelola seluruh kekayaan yang dimiliki negeri ini. Seharusnya menurut UUD 1945 bumi dan air dikuasai oleh negera untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

Disinilah mengapa UU Cipta Kerja bertentangan dengan Islam. Pertama, tidak sesuai fitrah manusia. Hal ini nampak dalam pembatasan kepemilikan harta bagi kalangan bawah. wajar jika kaum buruh, dan masyarakat lainnya melakukan perlawanan. Naluri manusia senang memiliki harta bergerak dan tidak bergerak karena itu jika dibatasi akan memberontak.

Karena itu Islam tidak membatasi kepemilikan harta bagi siapa saja tapi Islam hanya mengaturnya, mana yang boleh dan tidak boleh. Setiap individu boleh saja memiliki harta sebanyak-banyaknya sepanjang tidak melanggar hukum syara, baik melalui bekerja, kerjasama syirkah, investasi, perolehan tanah warisan, hibah, hadiah, dan lain-lain sebagainya.

Islam juga mengakui kepemilikan umum yang tidak boleh dikuasai oleh individu maupun swasta, seperti jalan tol, tambang yang luas. Negara yang mengelolanya tapi hasilnya diserahkan kepada rakyat. Begitu juga Islam mengakui kepemilikan negara yang semuanya hanya untuk kepentingan rakyat.

Kedua, UU Cipta kerja disusun berdasarkan asas manfaat. Dalam Islam dasar penyusunan regulasi untuk mengatur interaksi manusia bukan asas manfaat tapi halal dan haram. Islam tidak membiarkan harta dikuasai oleh swasta atau segelintir konglomerat saja. Allah Swt berfirman, “hendaklah kekayaan itu tidak hanya berputar pada orang-orang kaya saja diantara kalian”.

Ketiga, dengan adanya UU Cipta Kerja ini negara berlepas tangan. Hal ini nampak pada diberikannya ruang sebesar-besarnya kepada swasta melalui kelonggaran investasi tapi membiarkan aset-aset hidup orang banyak dikuasai. Dalam Islam negara adalah pelindung bagi rakyatnya. Pemimpinya bertanggung jawab memberikan keadilan dan kesejahteraan kepada rakyatnya tanpa melihat lagi apa latar belakangnya.

Pemimpin dalam Islam dipilih untuk melayani seluruh urusan umat, baik dalam  urusan  pendidikan, keamanan, maupun kesehatan. Begitu juga bertanggung jawab dalam pemenuhan sandang, pangan, papan setiap individu rakyatnya. Negara memastikan tidak ada lagi rakyat yang kelaparan, tidak ada lagi yang miskin, tidak ada lagi yang menganggur.

Kendati demikian sistem seperti ini hanya akan berjalan jika Islam dilaksanakan secara kaffah oleh negara berdasarkan alquran dan hadits. Mustahil keadilan dan kesejahteraan bisa terpenuhi dalam sistem kapitalisme apalagi sosialisme. Karena itu mempertahankan UU Cipta Kerja sama saja mempertahankan hegemoni kapitalisme yang semakin menyengsarakan.

Wallahu a’lam bi ash shawab