Utopis, Menyudahi Oligarki Dengan Demokrasi
Ulasan Utama Assalim.id | Edisi 92
Oleh: Agam Salim
Assalim.id – Semakin tersanderanya negeri ini oleh oligarki merupakan realitas yang paling jelas dan kasat mata saat ini. Bahkan munculnya oligarki sering disebut banyak lembaga dan pengamat politik Indonesia sebagai salah satu indikator utama kemunduran demokrasi. Cengkeramannya kian menguat, ini bisa dilihat dari koalisi politik gemuk fraksi-fraksi di DPR sebagai koalisi pro-rezim.
Koalisi oligarki berjubah partai inilah yang sejatinya saat ini menguasai elite politik dilingkaran eksekutif, legislatif, bahkan yudikatif. Mereka dengan sangat gampang dan mudah mengambil keputusan menyangkut kepentingan publik dan hajat hidup orang banyak hanya dari dalam lingkaran mereka saja.
Mereka tidak merasa perlu melibatkan rakyat atau umat yang diwakili tokoh masyarakat, asosiasi dan serikat profesi, ormas dan LSM dalam mengambil setiap keputusan.
Kenyataan ini jelas terlihat dalam proses legislasi di DPR, seperti UU IKN, UU No 19/2019 tentang KPK, UU No 3/2020 tentang Minerba; dan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja (omnibuslaw). Bahkan dalam gugatan masyarakat sipil yang tidak setuju terhadap berbagai UU tersebutpun lagi-lagi harus kecewa karena para oligarki politik tersebut telah didukung lembaga yudikatif (MK dan MA).
Munculnya fenomena oligarki politik di negeri ini bukanlah hal aneh karena dinegera-negara di dunia yang mengadopsi sistem kapitalisme maka realitas oligarki adalah sebuah keniscayaan.
Ini terlihat dari dari data Oligarchy Countries (2021), daftar negara oligarki mencakup: China, Rusia, Turki, Arab Saudi, Iran, Afrika Selatan, Korea Utara, Venezuela, Ukraina, Zimbabwe, dan Amerika Serikat. Oligarki di negara-negara ini terbentuk di antara oligar ekonomi-finansial, yaitu orang sangat kaya (super rich) atau kaya (the rich) yang memiliki jalinan persekongkolan kuat dengan oligarki politik.
Oligarki finansial misalnya yang berkolaborasi dengan oligarki politik malang melintang di Rusia sejak tahun 1400—kini mencakup sekitar 200 super rich. Sementara di AS, oligar korporasi besar dan super rich, sangat menentukan dalam pembuatan keputusan politik dibandingkan dengan ratusan juta pemilih.
Begitu jualah yang terjadi di negeri ini, sistem politik Indonesia dengan demokrasi liberalnya. Karena tidak memiliki keuangan memadai untuk mengerakkan mesin politik yang berwatak pragmatis, elite parpol berusaha mendapat dukungan finansial dari super rich atau the rich. Akhirnya para oligark super kaya dan kaya ini kian banyak yang menjadi politisi atau pemodal para politisi.
“no free lunch” tidak ada makan siang gratis, itulah dampak yang sekarang sedang dirasakan umat negeri ini. Oligark berhasil menyandera proses legislasi dan penegakan hukum agar tidak merugikan mereka, bahkan sebaliknya mesti menguntungkan dan menjadikan posisi mereka dalam oligarki politik dan oligarki ekonomi-finansial semakin kuat dan berkuasa.
Demokrasi dengan kedaulatan ditangan rakyat hanyalah ilusi. Jadi sungguh sangat mengelikan, kesia-siaan, dan utopis kalau berharap solusi untuk menyudahi cengkraman oiligarki pada sistem demokrasi yang tak lain adalah instrument penopang tegaknya sistem kapitalisme dalam mempertahankan eksistensi dan dominasinya atas dunia saat ini. []