Categories: Fokus Ekonomi

assalim

Share

Aliansi Pengusaha Muslim – Utang diperbolehkan dalam Islam. Secara umum disebutkan di dalam Al-Quran dan hadits. Allah dan Rasul-Nya memerintahkan agar saling membantu kepada sesama dalam utang-piutang serta mengembalikannya tepat pada waktu yang sudah ditentukan, tentunya dengan mengembalikan pokok yang diutangkan tanpa adanya penambahan yang disyaratkan (riba).

Pelarangan atas riba disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 275. Bagi yang meminjamkan, tidak boleh ada harapan pengembalian utangan melebihi jumlah pokoknya. Dalam hal ini setiap utangan yang dituntut atau ditetapkan keuntungannya merupakan keharaman. Dalam pelunasan utang pun harus memerhatikan waktu jatuh tempo yang sudah diberikan.

Menurut Imam Malik, hal ini seperti halnya ketika seseorang yang memberikan waktu lebih panjang ketika piutangnya telah jatuh tempo dan menambahkan jumlah utang (debt reschedulling) kepada debitur yang menjadikannya akad ini tergolong dalam riba.

Perbedaan pandangan utang negara dalam fikih dan ilmu ekonomipun sering menjadi wacana dan diskusi hangat dikalangan intelektual muslim. Apakah negara Islam boleh berutang? Mengambil konsep pembiayaan defisit (defisit budget), dengan resiko berutang ataukah mempertahankan konsep anggaran berimbang (balance budget) seperti zaman Rasulullah dan Sahabat?

Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini terdapat perbedaan pandangan di kalangan ahli ekonomi Islam. Kelompok pertama berpendapat bahwa negara Islam tidak seharusnya melakukan pembiayaan defisit (pengeluaran lebih besar dari pendapatan), karena hal ini pada akhirnya dapat menyebabkan pemerintah berutang dengan konsekuensi membayar bunga, dan mendekati riba. Pengeluaran yang bertambah ini juga dapat menyebabkan pemborosan.

Namun kelompok kedua berpendapat sudah tidak waktunya lagi negara-negara Islam mempertahankan konsep anggaran berimbang yang berkonsekuensi lambatnya pertumbuhan ekonomi dan tidak tergalinya sumber daya alam karena ketiadaan modal. Negeri-negeri Islam yang kaya sumber alam, namun kurang modal untuk mengolah harus mau menerima anggaran defisit dengan solusi meminjam modal ke negara lain untuk digunakan sebagai modal penggalian sumber daya alam seperti minyak, gas dan lain-lain, atau dengan memungut pajak.

Inilah dua pendapat yang berkembang dalam pemerintahan Islam. Pendapat pertama banyak dipakai di masa pemerintahan Islam fase awal, dan pendapat yang kedua banyak dianut di fase pemerintahan Islam modern. Paling tidak ada pendapat tiga pendapat ekonom Islam modern yang sama-sama setuju dengan konsep anggaran defisit.

Pendapat yang pertama datang Dr.Muhammad Abdul Mannan seorang pemilkir Islam kontemporer misalnya menuturkan bahwa sebuah negara Islam modern harus menerima konsep anggaran modern

(sistem anggaran defisit) dengan perbedaan pokok dalam hal penanganan defisit (kekurangan) anggaran. Pemilihan anggaran defisit ini tentunya akan memerlukan tambahan dengan cara meminjam. Dan uutang harus dibuat tanpa adanya tekanan dari pihak pemberi utang (kreditor), yang akan mengakibatkan hilangnya kebebasan, kehormatan, dan kedaulatan negara muslim. Kemudian yang tak kalah penting adalah utang itu harus tanpa bunga (riba), yang akan memberatkan pihak yang berutang (debitor).

Pendapat yang kedua, bisa kita ambil dari Muhammad Umar Chapra, dalam bukunya Islam and The Economic Challenge yang setuju dengan anggaran pembelanjaan defisit, namun dengan solusi yang berbeda dengan M.A. Mannan.

Menurutnya negara Muslim harus menutup defisit anggaran dengan pajak, yaitu mereformasi dengan sistem perpajakan dan program pengeluaran negara, bukan dengan jalan pintas melalui ekspansi moneter dan meminjam. Beliau lebih setuju dengan meningkatkan pajak, karena meminjam akan membawa kepada riba, dan peminjaman itu juga meniadakan keharusan berkorban, namun hanya menangguhkan beban sementara waktu dan akan membebani generasi yang akan datang dengan beban berat yang semestinya tidak mereka pikul.

Pendapat yang ketiga diungkap oleh Abdul Qadim Zallum alumnus al-Azar al-Syarif Kairo dalam kitabnya al-Amwal fi al-Daulah al-Khilafah (Sistem Keuangan Daulah Khilafah) yang setuju dengan anggaran defisit, dengan solusi yang difisit diatasi dengan penguasaan BUMN dan pajak. Beliau mengatakan, “Anggaran negara pada saat ini sangat berat dan besar, setelah meluasnya tanggung jawab dan bertambahnya pos-pos yang harus disubsidi. Pendapatan baitul mal dari sumber-sumber tradisional seperti, ghanimah, fai’, jizyah, kharaj, ‘usyr dan khumus, kadang kala tidak memadai untuk memenuhi pengeluaran negara yang semakin berkembang.

Oleh karena itu, negara harus mengupayakan cara lain yang mampu menutupi baitulmal/kas negara, baik dalam kondisi ada harta maupun tidak. Kewajiban tersebut berpindah kepada kaum muslimin pada saat baitul maal kosong.

Pinjaman dari negara-negara asing dan lembaga keuangan internasional, menurutnya tidak diperbolehkan oleh hukum syara’, sebab pinjaman seperti itu selalu terkait dengan riba dan syarat-sayarat tertentu. Riba jelas diharamkan hukum syara, sedangkan persyaratan tertentu (yang menyertai pinjaman), sama saja dengan menjadikan negara-negara dan lembaga-lembaga donor tersebut berkuasa atau kaum Muslimin.

Akibatnya keinginan dan segala keperluan kaum muslimin tergadai pada keinginan dan segala keperluan mereka. Oleh sebab itu, hal ini tidak diperkenankan menurut syara’. Dengan demikian. khalifah/pemerintah tidak boleh menggunakan utang luar negeri sebagai pos (pendapatan) untuk menutupi anggaran belanja negara.

Kalau kita melihat realitas tata kelola ekonomi dunia saat ini, maka sudah saatnya negara-negara kaum muslimin mengunakan pendekatan islam secara total dalam menyelesaikan problem ekonomi dan turunannya saat ini. Dan tidak terjebak lagi dengan perangkap utang ribawi ‘Debt Trap’ yang terbukti menyengsarakan umat manusia di dunia saat ini. [] Agan Salim

Editor's Pick

    Leave A Comment

    Related Posts