Untung Buntung Perpu 405 Triliun
Oleh: Agan Salim.
Aliansi Pengusaha Muslim – “Sesungguhnya manusia yang paling dicintai oleh Allah pada hari kiamat dan paling dekat kedudukannya di sisi Allah adalah seorang pemimpin yang adil. Sedangkan orang yang paling dibenci oleh Allah dan paling jauh kedudukannya dari Allah adalah seorang pemimpin yang zalim.” (HR. Tirmidzi)
Akhirnya drama lockdown atau darurat sipil terjawab, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemik virus Corona (Covid-19).
Dengan payung hukum inilah, pemerintah menyiapkan anggaran penanganan wabah COVID-19 mencapai Rp 405,1 triliun. Dana sebesar itu akan dialokasikan berupa insentif bidang kesehatan sebesar Rp75 triliun, Rp110 triliun Insentif perlindungan sosial. Sedangkan untuk Insentif pajak dan Insentif pembiayaan pemulihan ekonomi sebesar 70,1 triliun, dan 150 triliun.
Dalam rancangannya, 110 triliun insentif buat perlindungan sosial ini rencanakan akan mencover 10 juta keluarga penerima manfaat (KPM), kartu sembako 20 juta penerima, 5,6 juta pemegang Kartu Prakerja, serta subsidi listrik (31/03/20). Alokasi dana tersebut pastinya tidak akan cukup, karena kalau kita merujuk Data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin di Indonesia pada maret 2019 mencapai 25,14 juta jiwa atau sekitar 9,82% dari total penduduk.
Jumlah rakyat miskin pasti akan membengkak dengan adanya pandemik corona di Indonesia dengan resesi ekonomi yang sudah di depan mata. Jika penduduk Indonesia saat ini 269.6 juta menurut Data BPS, sementara yang tercover hanya 25.6 juta jiwa, bagaimana dengan nasib ratusan juta rakyat lainnya yang juga pasti terimbas efek Corona?
Dari alokasi dananya terlihat sekali aroma kapitalisasi di belakang wabah corona saat ini, lihat saja 54% alokasi dana tersebut lebih dominan buat sektor perbankan, pengusaha (UMKM), dan perpajakan daripada ke rakyat yang terkena dampak langsung, terutama dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup akibat dari pandemik ini, dan aturan Darurat Kesehatan yang ditetapkan pemerintah.
Dari PERPU ini patut diduga ada jurus “cuci tangan” dalam pengelolaan dana rakyat yang besar ini. Bagaimana tidak, di bab penutupnya memuat klausul bahwa biaya yang telah dikeluarkan pemerintah bukan merupakan kerugian negara, dan semua pejabat yang terlibat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana.
Tentu kita masih ingat bagaimana raibnya dana rakyat dalam kasus BLBI, CENTURY, dan JIWASRAYA tanpa ada kejelasan penyelesaian bahkan menjadi polemik sampai saat ini.
Melihat realitas di atas, kita jadi teringat ucapan Jeffrey Winters yang pernah menyinggung oligarki dalam kuliah umumnya dalam Oligarchy and the Jokowi Administration di salah satu kampus di Jakarta (08/06/2015). Ia menuturkan dinamika politik pemerintah Indonesia hingga kini masih dikuasai para oligarki (elite) dengan kepentingan kekuasaan. Perubahan dari Orba ke zaman reformasi hanya di permukaan. Tetapi, pemerintahan masih dikendalikan oleh kepentingan para oligarki (pegusaha yang jadi penguasa dan sebaliknya)
Dan setelah kesekian kalinya kita dibuat “buntung” oleh para pemuja kapitalis lewat penerapan sistem dengan solusi rusaknya dalam mengatasi negeri ini, maka sudah seharusnya kita memikirkan sistem pengganti untuk tata kelola negara yang bisa mengantarkan kita semua kepada keadilan yang sebenarnya.