Sri Lanka Contoh Nyata Negara Korban Sistem Ribawi, Negeri Ini Sama Daruratnya

Last Updated: 20 Juli 2022By

Ulasan Utama Assalim.id
Oleh: Agan Salim

Assalim.id – Situasi perekonomian dunia saat ini dalam kondisi yang teramat parah dan dipenuhi oleh ketidakpastian. Semua itu tidak lepas dari berbagai faktor, mulai dari peperangan antara Rusia melawan Ukraina, lonjakan harga komoditas, krisis energi dan pangan hingga tekanan inflasi sangat dalam.

Bahkan baru-baru ini dunia dikejutkan dengan peristiwa bangkutnya salah satu negara di kawasan Asia Selatan, yaitu Sri Lanka. Pada Rabu (22/6/2022), Perdana Menteri Sri Lanka Ranil Wickremesinghe mengungkapkan kalau Sri Lanka bangkrut.

Akibat kondisinya yang bangkrut, kas negara untuk membeli bahan bakar, listrik, serta makanan tidak tersedia. Lebih lanjut lagi. Secara total, Sri Lanka tercatat tidak dapat membayar kembali utang luar negerinya sebesar US$51 miliar atau sekitar Rp 766 triliun. Sebanyak sekitar US$6,5 miliar (Rp97,6 triliun) di antaranya terutang ke China.

Gejolak politik dan realitas ekonomi Sri Lanka yang gagal bayar utang tidak bisa dilepaskan dari praktek “debt trap” (jebakan hutang) yang terjadi, dan hal ini sangat berpotensi terjadi di dalam negeri tercinta ini jika melihat fakta-fakta kondisi ekonomi kekinian negeri ini.
 
Hal tersebut dapat dilihat dengan menggunakan indikator debt to service ratio (DSR). DSR alias rasio utang terhadap pendapatan merupakan satu istilah di dalam pengelolaan keuangan atau fiskal. Indikator ini digunakan untuk menjelaskan kemampuan bayar utang suatu negara.

Berdasarkan data yang dia peroleh dari website resmi Bank Dunia (World Bank), DSR Indonesia tak begitu jauh berbeda dengan DSR Sri Lanka yang berada pada kisaran 39,3 persen. Padahal batas aman DSR adalah 25 persen.
 
Untuk tahun ini saja (2022), pemerintah harus menyiapkan anggaran untuk membayar bunga pinjaman ribawi sebesar Rp. 405 trilyun, dan cicilan pokok jatuh tempo sebesar Rp 443 trilyun atau sekitar 40% APBN tahun ini. Itu artinya APBN akan dipakai utk membayar bunga dan cicilan pokok sebesar Rp 843 trilyun.

Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, instrumen yang dipakai untuk membayar cicilan utang dan bunganya denga cara mengajukan utang baru. Itulah kondisi dengan dikenal masyarakat luas  “gali lubang tutup jurang”.

Implikasi berikutnya akan jauh lebih berbahaya dan berdampak nyata bagi kehidupan real, untuk menutupi utang yang kian bengkak biasanya akan diikuti dengan kebijakan naiknya berbagai tarif, besaran berbagai jenis pajak, dan dicabutnya berbagai subsidi rakyat yang jelas-jelas akan semakin menambah berat penderitaan rakyat, khususnya rakyat kecil.

Bila hal seperti ini tidak disudahi dan terus menerus dilakukan, maka bisa jadi kebangkrutan yang terjadi di Sri Lanka juga bisa terjadi di negeri ini. Tentu sesuatu yang tidak kita inginkan.

Sungguh kalau negara ini ingin selamat dari realitas kebangkrutan, maka sudah saatnya negara yang mayoritas penduduknya muslim terbesar di dunia ini harus menghentikan praktik utang ribawi yang dijalankan selama ini. Karena bukan hanya mengundang dosa besar, laknat Allah SWT, serta menjauhnya keberkahan tetapi juga berefek pada hilangnya kedaulatan dan tersandera negara oleh negara/korporasi kreditor.

Apalagi, jika ternyata utang tersebut dikorupsi dan dikelola secara tidak efisien, bertambah besarlah kemudharatan yang diderita bangsa ini. Wajarlah jika Rasulullah SAW mengingatkan dalam sebuah hadisnya, “Barang siapa yang punya utang, ia akan bingung di malam hari dan akan hina di siang hari.”[]