
Oleh : Agan Salim
Belakangan ini, kebijakan privatisasi BUMN kembali mengemuka melalui skema penawaran saham perdana. Initial Public Offering (IPO) anak-anak usaha BUMN, terutama Pertamina (dan PLN) yang telah dinyatakan secara terbuka oleh Menteri BUMN Erick Thohir pada 20 januari 2020 yang saat ini banyak menuai pro dan kontra. Mulai dari serikat pekerja, akademisi, politisi, pengamat politik, dan praktisi energi.
Yang paling terbaru adalah IPO yang akan dilakukan oleh PT. Pertamina Geothermal Energi (PGE) yang 100% sahamnya dimiliki Pertamina. BUMN penyelenggara usaha bidang panas bumi penghasil tenaga listrik yang 100% dayanya dijual kepada PLN ini rencananya akan menjual 25% kepemilikannya dalam bentuk saham yang katanya bertujuan untuk memperoleh dana murah, meningkatkan transparanasi dan akuntabilitas, serta berbagai alasan lain.
Istilah privatisasi sendiri saat ini coba direduksi seolah-olah menguntungkan, penting dan satu keharusan. Padahal sejatinya adalah perampasan aset vital umat sebagai wujud penjajahan dan liberalisasi.
Hal ini teramat jelas, secara spesifik Dr. Akadun, M.Pd mendefinisikan privatisasi sebagai “Denationalisation dan Liberalization”, Denationalisation yakni transfer atau pemindahan hak kepemilikan publik ke privat secara total maupun sebagian. Sedangkan Liberalization yaitu pemberian kebebasan berusaha yang berfokus dalam kompetisi dalam penyedian barang dan jasa.
Kebijakan Privatisasi ini bukanlah barang baru dinegeri ini, bahkan opsi ini adalah sebuah kewajiban yang harus dilakukan saat negeri masih bergantung dengan utang dari bank dunia, IMF, dan lembaga ribawi dunia yang lain dalam neraca APBNnya. Karena langkah kebijakan privatisasi di negeri ini harus selaras dengan sebuah dokumen milik Bank Dunia yang berjudul Legal Guidelines for Privatization Programs. Dimana dokumen ini terdapat panduan wajib bagaimana pemerintah melakukan kebijakan privatisasi dengan menghilangkan persoalan hukum. Seperti memastikan tujuan-tujuan pemerintah dan komitmen terhadap privatisasi. Kemudian harus melakukan amandemen undang-undang atau peraturan yang merintangi privatisasi. Serta menciptakan institusi yang memiliki kewenangan dalam implementasi privatisasi.
Hasilnya, tidak sedikit BUMN yang tergolong strategis, beraset besar dan mengelola hajat hidup orang banyak diprivatisasikan oleh negara, sebut saja PT Indosat, PT Semen Gresik, PT Aneka Tambang, PT Tambang Timah, PT Angkasa Pura II, PT Telkom, PT Pelindo II dan III, PT Jasa Marga, PT Perkebunan Nusantara IV, PT Tambang Batu Bara Bukit Asam dan PT Krakatau Stell.
Jadi, jangan terlalu kaget kalau hari ini pilihan privatisasi kembali diambil oleh penguasa karena sejatinya inilah konsekwensi dari diterapkannya sistem kapitalisme sekuler liberal yang semakin ganas sebagai platform kebijakan negara dalam mengelola perekonomian yang pada ujungnya, rakyatlah sejati korban yang merasakan langsung dampaknya, seperti semakin tingginya kebutuhan hidup di semua sektor yang tak lain akibat dikuasainya sektor strategis penyedia kebutuhan rakyat banyak yang saat ini dikuasai oleh individu dan swasta yang hanya berorientasi keuntungan semata.
Sungguh realitas yang sangat disayangkan, kalaulah negeri ini mau beralih menggunakan pendekatan sistem ekonomi Islam maka realitas di atas tidak akan pernah terjadi. Karena dalam sistem tata kelola ekonominya, privatisasi yang dilakukan pemerintah terhadap BUMN yang terkategori harta milik umum dan sektor industri strategis tidak diperbolehkan. Ini merujuk kepada sabda Nabi Muhammad SAW “Kaum muslimin berserikat dalam tiga barang, yaitu air, padang rumput, dan api”. Sehingga harta milik umum mencakup fasilitas umum, barang tambang yang jumlahnya sangat besar, dan sumber daya alam yang sifat vital tidak mungkin boleh dikuasai oleh individu atau swasta.
Sistem Islam dengan tegas menetapkan bahwa sumber daya alam yang vital bagi kebutuhan rakyat adalah milik seluruh rakyat. Negara hanya menjadi pengelolanya untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat. Bahkan terkait dengan barang tambang, dengan tegas diulas oleh para fuqaha pada masa lampau. Mereka berpendapat bahwa penguasaan individu atau swasta atas barang-barang tambang yang melimpah dan menguasai hajat hidup orang banyak merupakan milik publik dan tidak boleh dikuasai oleh individu dan swasta. Imam Ibnu Qudamah, misalnya, telah merinci masalah ini. Beliau berpendapat bahwa barang tambang yang tampak (zhâhir) seperti garam, air, sulfur, batubara, minyak bumi dan semisalnya merupakan milik umum.
TIdak berhenti sampai disana, dalam sistem Islam, sektor pertambangan menjadi salah satu pos penerimaan Baitul Mal, yang masuk ke dalam sub pos penerimaan kepemilikan umum. Harta-harta tersebut dikelola oleh negara yang kemudian didistribusikan untuk dinikmati hasilnya oleh rakyat. Alhasil, pengelolaan tambang dalam sistem Islam, selain dikelola sesuai syariah, hasilnya akan dinikmati lebih besar oleh rakyat. Tidak seperti dalam sistem kapitalisme saat ini, selain bertentangan dengan syariah, hasil tambang lebih banyak dinikmati para pemodal swasta, termasuk asing, sementara rakyat lebih banyak menerima mudaratnya.
WalLahu a’lam bish ash-shawwab