Miras Dan Lpi Ina, Sama Bahayanya Buat Masa Depan Bangsa

Last Updated: 2 Maret 2021By

Agan Salim

Beberapa hari ini, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang bidang Usaha Penanaman Modal yang membuka pintu investasi untuk industri minuman keras (MIRAS) sampai eceran terus nenuai kritikan dan protes keras dari berbagai kalangan. Salah satu alasan mendasar karena bertetangan dengan ajaran agama manapun, selain itu MIRAS juga bisa mejadi ancaman serius buat generasi muda bangsa ini dimasa depan.

Namun, diluar hirup pikuk kasus tersebut, umat juga tidak boleh lengah bahwa aset negara berupa badan usaha milik negara (BUMN) juga sedang dalam ancaman dari sisi kepemilikan dimasa depan. Ini bisa sangat mungkin terjadi lewat Lembaga Pengelola Investasi (LPI), sebuah badan hukum yang dibentuk untuk menjalankan fungsi penanaman modal pemerintah.

Pemerintah memastikan Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau Sovereign Wealth Fund (SWF) dengan bernama Indonesia Investment Authority (INA). Lembaga yang baru seumur jagung ini rencananya akan mengantongi permodalan sebesar Rp30 triliun pada tahun ini. Lembaga inipun telah resmi bekerja pasca diumumkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada selasa 16/02/2021 sekaligus memperkenalkan direksi Lembaga Pengelola Investasi (LPI).

Saat ini, lembaga ini langsung mendapat suntikan modal awal Rp15 triliun yang berasal dari APBN. Adapun modal tambahan INA sebesar Rp 15 triliun bersumber dari pos cadangan pembiayaan investasi. Dengan demikian, kewajiban pemerintah untuk menyuntik INA masih tersisa Rp 45 triliun dari total modal awal INA sebesar Rp75 triliun yang telah disepakati. (sindo13/02/21)

Sebelumnya, lembaga yang resmi dihadirkan pada 14 Desember tahun lalu dengan payung hukum Peraturan Pemerintah (Permen) No 74 Tahun 2020 diberi nama Indonesia Investment Authority (INA), Kelanjutan dari Undang-undang Cipta Kerja yang telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada senin (5/10/2020) lalu yang berujung kegaduhan seisi negeri.

Dalam UU Cipta Kerja pada Pasal 157 Bab X menyebutkan, aset negara dan BUMN bisa dipindahtangankan menjadi aset LPI yang selanjutnya menjadi milik dan tanggung jawab lembaga tersebut. Pemindahtanganan ini merupakan satu dari lima sumber aset LPI. Aset LPI juga bisa berupa penyertaan modal, hasi pengembangan usaha, hibah, dan sumber lain yang sah.

Dari informasi resmi, berdasarkan data Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan nilai barang milik negara pada 2019 setelah dilakukan revaluasi mencapai Rp10.467 triliun. Adapun aset BUMN pada 2018 mencapai Rp8.092 triliun (kemenkeu.go.id 14/12/20)

Kementerian Pertahanan merupakan instansi yang memiliki barang milik negara terbesar, yaitu Rp1.645,56 triliun atau 27,06 persen. Menyusul Kementerian Pertahanan adalah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sebesar Rp1.564,62 triliun ; Sekretariat Negara Rp574,41 triliun ; dan Kementerian Perhubungan Rp493,90 triliun.

Sementara itu, di kalangan BUMN, PT PLN (Persero) adalah merupakan BUMN dengan aset paling besar pada 2018, yaitu Rp1.379 triliun. Selanjutnya adalah BUMN perbankan, mulai dari BRI (Rp1.296 triliun), Bank Mandiri (Rp1.202 triliun), dan BNI (Rp808,57 triliun).

Dari banyaknya aset negara yang sangat strategis inilah, ketentuan lebih lanjut mengenai pemindahtanganan aset negara kepada LPI INA yang diatur dalam peraturan pemerintah. LPI INA selanjutnya bisa melakukan kerja sama dengan pihak ketiga untuk meningkatkan nilai aset, mulai dari bentuk kuasa kelola, pembentukan perusahaan patungan, atau bentuk kerja sama lainnya.

Aset lembaga kemudian dapat dijaminkan dalam rangka penarikan pinjaman. “Pengelolaan aset lembaga sepenuhnya dilakukan oleh organ Lembaga berdasarkan prinsip tata kelola yang baik, akuntabel, dan transparan,” demikian kutipan pasal 160 Bab X UU Cipta Kerja.

Melihat rekam jejak bagaimana derasnya korupsi dan liberalisasi aset negara sebelum terbentuknya LPI INA, bukan mustahil akan menjadi jalan baru korupsi dan liberalisasi aset negara melihat LPI INA yang super body dan sekaligus super power.

Seperti kata Lord Acton, ilmuwan Inggris abad ke-18, “Power tend to corrupt absolute power corrupt absolutely” (kekuasaan cenderung korup, kekuasaan mutlak benar-benar merusak).

Dan fakta ini bukan tanpa bukti, yang terjadi di Malaysia misalnya, 1MDB sebuah SWF milik Kerajaan Malaysia yang pada 2018 lalu terjadi skandal korupsi besar-besaran yang nyaris membuat Malaysia bangkrut, karena besarnya hutang yang ditanggung. Kasus ini ironisnya melibatkan langsung PM. Malaysia periode 2009 – 2018 yang akhirnya dinyatakan bersalah dan dijatuhi vonis 12 tahun penjara.

Dan yang tak kalah berbahaya, kalau negara lain membentuk SWF adalah untuk menyimpan Tabungan Negara, tapi SWF made in Indonesia justru untuk menyimpan Utang Negara. Sebuah anomali SWF made in Indonesia.

Sehingga dengan adanya LPI INA, Pemerintah seperti melakukan pemindahbukuan (overbooking). Utang-utang negara yang sebelumnya dicatat dalam APBN, kini dicatat dalam pembukuan LPI INA. Dengan demikian, bertambahnya utang tidak akan mempengaruhi ratio utang negara terhadap PDB dan juga terhadap defisit anggaran.

Dari paparan tentang dugaan bahayanya LPI INA diatas, sungguh sangat mengkhawatirkan bagi masa depan bangsa dan generasi akan datang. Bahkan sama berbahayanya dengan Perpres MIRAS saat ini. Sehingga, buat para pengambil kebijakannya cukuplah peringatan Rasullulah SAW. “Amanat itu mendatangkan rezeki, sedangkan khianat itu mendatangkan kemiskinan” (HR Dailami)

Akhirnya, jika bangsa ini terus-menerus dipimpin oleh orang-orang yang tidak amanah, maka kemiskinan akan semakin meningkat. Bahkan, mungkin kehidupan kita sebagai bangsa akan bangkrut.

Karenanya, sudah seharusnya menjadi kesadaran umat yang memegang kekuasaan untuk bersama-sama dapat mengubah dan menentukan pemimpinnya sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasulnya. Ingatlah, Allah memerintahkan, ”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya ….” (QS 4: 58). []

© ALIANSI PENGUSAHA MUSLIM INDONESIA