Anti Kritik Itu Sama Saja Anti “Amar Ma’ruf Nahi Mungkar”

Last Updated: 16 Februari 2021By

Agan Salim l Ulasan Utama

Beberapa hari yang lalu, presiden Jokowi meminta masyarakat lebih aktif dalam memberi masukan dan kritik pada pemerintah. Menurutnya, kritik tersebut adalah bagian dari proses untuk mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik. Hal ini disampaikan saat memberi sambutan di Laporan Akhir Tahun Ombudsman RI, Senin, 8 Februari 2021.

Kata sambutan Jokowi itu ternyata menuai reaksi dari berbagai kalangan. Apalagi pernyataan tersebut ini tak semanis dengan kenyataan, faktanya banyak penangkapan kritikus di negeri ini meski ada yang kemudian dilepaskan. Kondisi kian parah dengan prilaku para buzzer pro pemerintah yang sangat pro aktif menyerang pengkritik bahkan sampai keranah pribadi para kritikus dari berbagai latar belakang profesi dan keilmuan.

Lebih tragis lagi, ormas dan pribadi yang memberikan masukan dan solusi buat bangsa ini sepertinya harus rela dan lumrah dilabeli radikal, bahkan berujung dibubarkannya ormas dengan framing yang sulit diterima akal.

Sampai-sampai seorang ekonom senior sekelas Kwik Kian Gie yang telah terbukti integritasnya saja, harus merasa takut untuk menyampaikan koreksinya akan bahayanya hutang. Yang koreksi dan masukannya harus berujung diserang secara verbal oleh para buzzer yang pro pemeritah.

“Saya belum pernah setakut saat ini mengemukakan pendapat yang berbeda dengan maksud baik memberikan alternatif. langsung saja di-buzzer habis-habisan, masalah pribadi diodal-adil,” kata Kwik seperti dikutip CNNIndonesia.com.

Kondisi ini tentu sangat berbahaya jika dibiarkan, karena alih-alih fokus dengan konten kritik dan masukan yang disampaikan malah mengurusi pribadi yang memberikan masukan. Karena masalah hutang ini bukanlah perkara kecil, karena sudah sampai pada titik yang mengkhawatirkan. Dan reaksi akan sikap buzzer yang tidak sepantasnya ini langsung mendapat sorotan serius dari berbagai kalangan. Mulai dari aktivis, ulama, akademisi, politikus, mantan presiden dan wakil presidenpun ikut bersuara akan sikap anti kritik yang sudah sangat mengkhawatirkan.

Rizal Ramli juga angkat suara akan kondisi ini, menurutnya kondisi pemerintahan ekonomi Indonesia di era Jokowi ini akan dikenang sebagai Rezim BuzzeRP, karena mengelola ekonomi secara ugal-ugalan yang ditulis di akun tweeternya.
Kondisi gaduh ini kemudian di jawab oleh pihak Istana, bahwa cara kritik pemerintah tanpa ditangkap polisi adalah “Kritik aman sesuai dengan UU ITE”. Sontak hal tersebut di tanggapi ringan oleh DR. Refly Harun, pakar hukum tata negara, “Kritik aman sesuai dengan UU ITE itu, ya tidak menyampaikan kritik,” cuitnya di tweeter (14/2/2021).

Apa yang terjadi saat ini, sungguh sangat tidak kondusif bagi masa depan sebuah bangsa. Karena sejatinya kritik dan masukan ini ibarat pedang, bisa berguna dan bisa juga jadi malapetaka, sangat tergantung bagaimana cara mensikapinya. Umumnya orang-orang yang berpikiran negatif akan menanggapi kritik sebagai senjata yang menghunus dirinya. Sebaliknya orang-orang yang berpikir positif selalu menjadikan kritik sebagai cermin yang memberi gambaran diri yang sebenarnya.

Dan dalam islam, kritik dan masukan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bentuk amal amar makruf yang wajib dan harus terus ditegakkan. Seperti sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad disebutkan bahwa ‘Adi bin ‘Amirah berkata, dia pernah mendengar bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda “Sesungguhnya Allah tidak akan megadzab orang-orang secara massal, karena perbuatan orang tertentu (di antara mereka), kecuali kalau mereka melihat kemunkaran di depan mata mereka, dimana mereka sanggup untuk menolaknya, lalu tidak menolaknya. apabila mereka melakukannya, niscaya allah akan mengadzab orang (yang melakukan) tadi beserta semua orang (yang ada) secara massal.”

Hadits ini menunjukkan hukum wajibnya menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Dan konsekwensi logisnya, bila ini tidak dilakukan maka fasad (kerusakan) yang terjadi bukan hanya menimpa para pengambil kebijakan atau pemimpin, tapi juga semua entitas yang dipimpinnya.

Masalah ini menjadi penting, apalagi terkait dengan kebijakan yang menyangkut nasib umat disuatu negeri. Dan yang saat ini, kalau kita merujuk ke kondisi terkini, maka kita dapati hampir semua koridor berbangsa sedang mengalami tekanan dan ancaman yang mengerikan di masa kini dan masa depan atas kebijakan yang dinilai oleh banyak pihak salah jalan dan salah arah. Mulai dari koridor hukum, ekonomi, politik, sosial, keamanan, kesehatan, pendidikan, dan lingkungan.

Dan jangan sampai kondisi masalah yang dihadapi begitu kompleks dan kian parah ini, harus diperparah dengan sikap “anti kriitik” yang sejatinya anti “amar makruf nahi mungkar”. []