Ulah Hutang Ugal-Ugalan, Aset Negeri Tergadai & Terjual ?!
Agan Salim
Semua ini berawal saat elite global tengah merancang berbagai project infrastruktur super mahal diseluruh penjuru Global seperti pelabuhan, airport, kereta Genjah, tol, telekomonikasi, bahkan fasiltas ekspedisi luar angkasa. McKinsey di studi di bulan Juni 2016 diperkirakan sekitar 3,3 trilliun dolar AS atau sekitar Rp 44.550 triliun yang diperlukan di investasi infrastruktur hingga 2030 untuk mendorong pertumbuhan. Inilah cuplikan tulisan dari pangamat ekonomi politik Salamuddin Daeng ditahun 2017.
Skenario inipun tampaknya diamini oleh banyak negara, termasuk negeri ini. Langkah selanjutnya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dipaksa mengambil utang luar negeri demi membiayai berbagai mega proyek infrastruktur. Perusahaan BUMN diberikan dana penyertaan modal yang besar, dipaksa mengikuti skenario utang yang besar, untuk memenuhi ambisi penguasa, pemodal, dan pengusaha.
Dampaknya dari skenarion utang ugal-ugalan ini, berdasarkan data utang seluruh BUMN saat ini tercatat Rp 1.682 triliun pada periode Januari-September 2020. Angka tersebut melonjak tajam jika dibandingkan 2018 (Rp 1.251,7 triliun) dan 2019 (Rp 1.393 triliun). Sementara itu disisi lain, berdasarkan data Kementerian Keuangan, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) atas laba 10 BUMN terbesar di 2020, diperkirakan hanya sekitar Rp 40 triliun. (tribunbisnis 24/03/21).
Besar pasak dari pada tiang, inilah gambaran yang pas untuk menganologikan kondisi BUMN saat ini. Lihat saja BUMN yang bergerak di infrastrutur, total utang Adhi Karya sebesar Rp34,9 triliun, Waskita Karya Rp91,76 triliun, PTPP Rp39,7 triliun, dan Wijaya Karya Rp45,2 triliun. Sebagian besar pada tingkat pengembalian sangat kecil bahkan ada yang negatif. Realitas kinerjanyapun sudah terpuruk sejak sebelum pandemi covid-19. Kondisi ini tercermin dari return on equity (ROE) atau tingkat pengembalian terhadap modal atau ekuitas.
Inilah skenario besar Debt Trap (jebakan utang) yang dibungkus dengan mega project infrastruktur. Walhasil skenarion ini mulai membuahkan hasil, lihat saja BUMN Adhi Karya misalnya yang harus menjual project-project untuk membayar cicilan hutangnya. Perusahaan ini benar benar ditempatkan ditepi jurang yang sangat besar demi ambisi penguasa. Akhir dari cerita ini bisa jadi perusaahan BUMN ini akan disita, dan aset asetnya jatuh ke asing.
BUMN yang lainpun tak jauh berbeda tampaknya, seperti halnya PGN (perusahaan gas negara) merupakan Disorientasi satu BUMN yang sebagian sahamnya telah dijual kepada swasta dan asing di rangka membiayai mega project. Sementara penguasaan swasta atas PGN telah mencapai 43% dari asset perusahaan senilai US$ 6,986 miliar. Penguasaan swasta dan asing terhadap PGN mencapai 43%. bila ditambah dengan total utang PGN, maka Dominasi swasta atas PGN telah mencapai 84% dari total asset PGN. Hal yang sama juga tak kalah tragis kondisi utang yang dialami oleh BUMN sektor strategis Pertamina dan Perusahaan Listrik Negara (PLN). Dan pada akhirnya Rakyatlah yang akan Jadi tumbal mahalnya tarif infrastrukrenur yang akhirnya akan dikuasai oleh swasta dan pajak yang kian mencekik sebagai instument utama pendapatan negara.
Inilah buah dari diterapkannya sistem rusak kapitalisme liberal dalam pengelolaan kepemilikan umum. Yang sangat berbeda secara diametral manakala suatu negeri mau mengadobsi sistem Islam. Sebagai sebuah sistem yang khas, ekonomi Islam telah menjelaskan segala hal yang berkaitan tata cara mengelola dan mengembangkan kepemilikan umum, serta cara mendistribusikan kekayaan tersebut di tengah-tengah manusia secara detail, jelas dan terang benderang.
Ketetapan hukum dalam masalah ekonomi dalam Islam, dibangun atas kaidah-kaidah umum ekonomi Islam (al-qawâ’id al-’ammah aliqtishâdi al-Islâmiyah) yang meliputi tiga kaidah, yakni: kepemilikan (al-milkiyah), mekanisme pengelolaan kekayaan (kayyah al-tasarruf al-mâl) dan distribusi kekayaan di antara manusia (al-tauzi’ al-tharwah bayna al-nâs).
Syariat menggariskan bahwa negara memiliki peranan kuat dalam perekonomian sehingga tidak boleh berlepas tangan terhadap hak-hak rakyatnya. Syariat menegaskan negara dalam hal ini pemerintah harus dapat menjadi pengatur dan pelayan urusan masyarakat (ri’ayah al-syu’un al-ummah) sebagaimana yang disabdakan Nabi Muhammad SAW “Seorang imam/pemimpin (khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan dia akan diminta pertanggungjawabannya terhadap rakyatnya”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Untuk dapat mengatur dan melayani urusan rakyat atau ummat, pemerintah harus memiliki alat dan sarana, salah satunya dengan mendirikan badan-badan yang bertugas mengeksplorasi barang tambang, memproduksi barang-barang vital dan menguasai hajat hidup orang banyak, memproduksi barang-barang modal/mesin yang dibutuhkan masyarakat dalam menjalankan industri dan kegiatan pertanian mereka, kemudian memiliki lembaga yang menjamin pendistribusian barang dan jasa yang dibutuhkan rakyat.
Dari sinilah, kita dapat menarik benang merah betapa fatal, fasad dan bahayanya kedaulatan dan masa depan generasi mendatang yang berawal dari ugal-ugalan dalam berhutang negara yang tanpa sadar masuk dalam skenario “debt trap” dan berujung kepada aksi Privatisasi dengan menjual aset BUMN kepada swasta dan asing yang dilakukan pemerintah saat ini terhadap BUMN yang terkategori harta milik umum dan sektor industri strategis.Entah sampai kapan negeri ini bisa membayar hutang yang sudah teramat besar dengan cicilan bunga yang kian mencekik APBN negeri ini. Haruskah semua aset negeri ini tergadai dan terjual baru kita akan sadar betapa rusak dan fasadnya sistem tata kelola negeri ini. Wallahu a’lam []
Semua ini berawal saat elite global tengah merancang berbagai project infrastruktur super mahal diseluruh penjuru Global seperti pelabuhan, airport, kereta Genjah, tol, telekomonikasi, bahkan fasiltas ekspedisi luar angkasa. McKinsey di studi di bulan Juni 2016 diperkirakan sekitar 3,3 trilliun dolar AS atau sekitar Rp 44.550 triliun yang diperlukan di investasi infrastruktur hingga 2030 untuk mendorong pertumbuhan. Inilah cuplikan tulisan dari pangamat ekonomi politik Salamuddin Daeng ditahun 2017.
Skenario inipun tampaknya diamini oleh banyak negara, termasuk negeri ini. Langkah selanjutnya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dipaksa mengambil utang luar negeri demi membiayai berbagai mega proyek infrastruktur. Perusahaan BUMN diberikan dana penyertaan modal yang besar, dipaksa mengikuti skenario utang yang besar, untuk memenuhi ambisi penguasa, pemodal, dan pengusaha.
Dampaknya dari skenarion utang ugal-ugalan ini, berdasarkan data utang seluruh BUMN saat ini tercatat Rp 1.682 triliun pada periode Januari-September 2020. Angka tersebut melonjak tajam jika dibandingkan 2018 (Rp 1.251,7 triliun) dan 2019 (Rp 1.393 triliun). Sementara itu disisi lain, berdasarkan data Kementerian Keuangan, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) atas laba 10 BUMN terbesar di 2020, diperkirakan hanya sekitar Rp 40 triliun. (tribunbisnis 24/03/21).
Besar pasak dari pada tiang, inilah gambaran yang pas untuk menganologikan kondisi BUMN saat ini. Lihat saja BUMN yang bergerak di infrastrutur, total utang Adhi Karya sebesar Rp34,9 triliun, Waskita Karya Rp91,76 triliun, PTPP Rp39,7 triliun, dan Wijaya Karya Rp45,2 triliun. Sebagian besar pada tingkat pengembalian sangat kecil bahkan ada yang negatif. Realitas kinerjanyapun sudah terpuruk sejak sebelum pandemi covid-19. Kondisi ini tercermin dari return on equity (ROE) atau tingkat pengembalian terhadap modal atau ekuitas.
Inilah skenario besar Debt Trap (jebakan utang) yang dibungkus dengan mega project infrastruktur. Walhasil skenarion ini mulai membuahkan hasil, lihat saja BUMN Adhi Karya misalnya yang harus menjual project-project untuk membayar cicilan hutangnya. Perusahaan ini benar benar ditempatkan ditepi jurang yang sangat besar demi ambisi penguasa. Akhir dari cerita ini bisa jadi perusaahan BUMN ini akan disita, dan aset asetnya jatuh ke asing.
BUMN yang lainpun tak jauh berbeda tampaknya, seperti halnya PGN (perusahaan gas negara) merupakan Disorientasi satu BUMN yang sebagian sahamnya telah dijual kepada swasta dan asing di rangka membiayai mega project. Sementara penguasaan swasta atas PGN telah mencapai 43% dari asset perusahaan senilai US$ 6,986 miliar. Penguasaan swasta dan asing terhadap PGN mencapai 43%. bila ditambah dengan total utang PGN, maka Dominasi swasta atas PGN telah mencapai 84% dari total asset PGN. Hal yang sama juga tak kalah tragis kondisi utang yang dialami oleh BUMN sektor strategis Pertamina dan Perusahaan Listrik Negara (PLN). Dan pada akhirnya Rakyatlah yang akan Jadi tumbal mahalnya tarif infrastrukrenur yang akhirnya akan dikuasai oleh swasta dan pajak yang kian mencekik sebagai instument utama pendapatan negara.
Inilah buah dari diterapkannya sistem rusak kapitalisme liberal dalam pengelolaan kepemilikan umum. Yang sangat berbeda secara diametral manakala suatu negeri mau mengadobsi sistem Islam. Sebagai sebuah sistem yang khas, ekonomi Islam telah menjelaskan segala hal yang berkaitan tata cara mengelola dan mengembangkan kepemilikan umum, serta cara mendistribusikan kekayaan tersebut di tengah-tengah manusia secara detail, jelas dan terang benderang.
Ketetapan hukum dalam masalah ekonomi dalam Islam, dibangun atas kaidah-kaidah umum ekonomi Islam (al-qawâ’id al-’ammah aliqtishâdi al-Islâmiyah) yang meliputi tiga kaidah, yakni: kepemilikan (al-milkiyah), mekanisme pengelolaan kekayaan (kayyah al-tasarruf al-mâl) dan distribusi kekayaan di antara manusia (al-tauzi’ al-tharwah bayna al-nâs).
Syariat menggariskan bahwa negara memiliki peranan kuat dalam perekonomian sehingga tidak boleh berlepas tangan terhadap hak-hak rakyatnya. Syariat menegaskan negara dalam hal ini pemerintah harus dapat menjadi pengatur dan pelayan urusan masyarakat (ri’ayah al-syu’un al-ummah) sebagaimana yang disabdakan Nabi Muhammad SAW “Seorang imam/pemimpin (khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan dia akan diminta pertanggungjawabannya terhadap rakyatnya”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Untuk dapat mengatur dan melayani urusan rakyat atau ummat, pemerintah harus memiliki alat dan sarana, salah satunya dengan mendirikan badan-badan yang bertugas mengeksplorasi barang tambang, memproduksi barang-barang vital dan menguasai hajat hidup orang banyak, memproduksi barang-barang modal/mesin yang dibutuhkan masyarakat dalam menjalankan industri dan kegiatan pertanian mereka, kemudian memiliki lembaga yang menjamin pendistribusian barang dan jasa yang dibutuhkan rakyat.
Dari sinilah, kita dapat menarik benang merah betapa fatal, fasad dan bahayanya kedaulatan dan masa depan generasi mendatang yang berawal dari ugal-ugalan dalam berhutang negara yang tanpa sadar masuk dalam skenario “debt trap” dan berujung kepada aksi Privatisasi dengan menjual aset BUMN kepada swasta dan asing yang dilakukan pemerintah saat ini terhadap BUMN yang terkategori harta milik umum dan sektor industri strategis.Entah sampai kapan negeri ini bisa membayar hutang yang sudah teramat besar dengan cicilan bunga yang kian mencekik APBN negeri ini. Haruskah semua aset negeri ini tergadai dan terjual baru kita akan sadar betapa rusak dan fasadnya sistem tata kelola negeri ini. Wallahu a’lam []