Tsunami Inflasi Dunia, Buah Praktek Sistem Ekonomi Berbasis Riba, Spekulasi, & Judi
Agan Salim
Tsunami inflasi global semakin besar dan terus berdampak pada kenaikan harga energi yang disinyalir dapat memicu hancurknya ekonomi Uni Eropa. Hal ini bukan tanpa alasan kalau melihat bagaimana angka Inflasi di beberapa negara Eropa, UK 7%, Perancais 5.2%, Spanyol 8.5%, Jerman 7.9%, Swiss 2.4%, Italia 6%, Yunani 10.2, Turki 73.5. Sementara keseluruhan Eropa 8.1%. Amerika serikat 8.3% dan Kanada 5.7.
Ini adalah bulan ketujuh berturut-turut dengan rekor inflasi tinggi di 19 negara yang menggunakan Euro.
Tsunami inflasi ini pasti bendampak secara global ke banyak negara karena terintegrasinya sistem keuangan dan perdagangan dunia saat ini, termasuk di negeri ini yang beberapa komoditas kebutuhan pokoknya yang terus merambat naik.
Dampak inflasi inipun sudah berdampak pada negara-negara di timur tengah. Negara Arab Saudi misalnya yang secara resmi menaikkan harga minyak mentah untuk pengiriman bulan Juni hingga Agustus. Akibatnya, harga minyak mentah dunia kembali melambung tinggi. Keputusan pemerintah Arab Saudi ini terpaksa dilakukan untuk menutupi kerugian negara akibat dampak dari inflasi yang juga cukup tinggi di negaranya.
Bahkan, prediksi lebih tajam juga datang dari mantan Menteri Keuangan Amerika Serikat Lawrence H. Summers Dalam kolomnya di Wall Street Journal, yang menyatakan Amerika Serikat berpotensi berada dalam kondisi resesi ketika tingkat inflasi berada di atas 6% sementara tingkat pengangguran di bawah 4%. Pada April 2022, tingkat inflasi tahunan AS mencapai 8,3% sementara tingkat pengangguran di bawah 3,6%.
Solusi ala sistem ekonomi kapitalis untuk meredam gelombang besar inflasipun masih sangat normatif, berupa pengetatan moneter diberbagai negara, terutama dua negara yang berpengaruh signifikan dalam perekonomian global, yaitu Amerika Serikat dan Inggris. Hal ini dapat kita lihat pada awal Mei ini, dimana The Federal Reserve (the Fed) dan Bank of England (BoE) kembali menaikkan suku bunga acuan guna mengatasi lonjakan inflasi tertinggi dalam empat dekade terakhir.
Kebijakan pengetatan ini bukan tanpa resiko. Ekonom James Galbraith menyebutkan bahwa tingginya cost of fund (biaya dana) karena tren suku bunga tinggi yang berkelanjutan dapat memicu kebangkrutan dunia usaha dan menambah jumlah pengangguran. Sehingga korban terakhir dari semua ini tak lain adalah rakyat menengah kecil pada gilirannya.
Karena bagi para pemilik modal dan masyarakat menengah atas, tingginya tingkat suku bunga menjadi peluang mereka menginvestasikan dananya pada instrumen deposito maupun obligasi dengan tingkat keuntungan bunga yang tinggi. Tapi tidak bagi masyarakat berpendapatan menengah ke bawah. Dengan pemasukan yang kecil (disposable income), mereka semakin terbebani oleh semakin tingginya biaya hidup.
Sungguh, kalau kita melihat realitas tsunami inflasi global saat ini dari kaca mata sistem ekonomi Islam, maka sesungguhnya fakta kerusakan dan penderitaan yang terjadi tak bisa dilepaskan dari praktek sistem ekonomi yang berbasis pada sistem ribawi, spekulasi (gharar), dan judi (maisir) yang diterapkan sistem global kapitalisme saat ini. Yang kesemua itu jelas-jelas dilarang dan terlarang dalam Islam.
Islam dengan sangat rigid (keras) melarang praktek ribawi, karena pada prakteknya riba hanya akan berujung kepada penindasan, kedzaliman dan ketidakadilan. Demikian juga gharar (spekulasi) sebagai sebuah transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi. Demikian juga halnya dengan maisir (judi) yang aktivitasnya digantungkan pada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan. []