Tragedi Rempang: Diberi Amanah, Kok Malah Minta Tanah !?
Oleh : Ali Akbar Al Buthoni
Sakit… Perih…kecewa…sedih !!! dan entah apalagi frasa yang tepat menggambarkan perasaan dan pikiran saudara-saudara muslim kita di Kampung Tua Melayu Rempang – Galang.
Bagaimana tidak, para tetua adat dan warga kampung tanah ulayat keturunan Laskar Kesultanan Riau Lingga, yang sudah mendiami pulau-pulau tersebut sejak 1720 M, di masa Sultan Sulaiman Alamsyah I, kini dibuat menangis dan meringis tak berdaya harus terusir dan tergusur dari ulayat leluhurnya.
Padahal, para leluhur tanah ulayat ini telah berjasa berjibaku bersama Kesultanan Johor pada 6 Januari 1784 di Tanjung Pinang – Riau, bersama Raja Fisabillah dalam peran Riau I (1782-1784) dan Bersama Sultan Mahmud Riayah Syah dalam perang Riau II (1784-1787) berperang bertaruh nyawa untuk mengusir penjajah VOC kala itu (_Kitab Tuhfat an-Nafis_ karya Raja Ali Haji, terbit perdana tahun 1890)
Penghargaan apa yang diberikan penguasa negeri ini kepada anak keturunan para pahlawan tanah ulayat ini? alih-alih rasa terimakasih, justru malah penggusuran tak mengenal belas kasih.
Berontak, marah, protes, unjuk rasa hingga aksi menyampaikan penolakan atas kebijakan yang tak bijak ini. Namun, justru dibalas dengan bertubi-tubi pentungan aparat berseragam yang katanya pengayom rakyat, tak ketinggalan komentar para pembantu presiden dengan nada ketus setengah marah atas penolakan tersebut, bahkan ada yang mengancam dengan buldosher bagi siapapun yang menghalangi investasi asing di Negeri ini, hingga akan dipithing jika masih terus melawan.
Padahal, konon Era Prinsip Domein Verklain sudah diputus sejak 24 September 1960 lewat UU Pokok Agraria. Pasal 1 aturan kolonial dalam ”Agrasche Besluit” yang mewajibkan tanah hak ”Eigendom” warga adalah milik Negara secara mutlak, SUDAH DIHAPUS dalam angka 1-4 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Selanjutnya, UUPA Pasal 2 ayat (2) menyebutkan bahwa hak & kewajiban Negara atas Tanah, HANYA MENGATUR, BUKAN MEMILIKI SECARA MUTLAK.
Yang pada hakekatnya, TANAH YANG DITEMPATI WARGA TANPA MEMILIKI SERTIFIKAT, ADALAH HAK MILIK SELURUH RAKYAT INDONESIA. Kewenangan Negara hanya mengatur pemenuhan administrasi hukumnya agar secara hukum, legal dan mutlak menjadi milik warga.
Pasal 2 ayat (3) menyebutkan, kewenangan warga negara mengatur dengan tujuan mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dalam artian kebahagiaan, kesejahteraan, kemerdekaan yang berdaulat adil dan Makmur.
Bukan malah sebaliknya, Negara merasa sebagai pemilik mutlak, merampas dan merekayasa hak milik rakyat melalui skenario aturan hukum yang diduga kuat justru melanggar UUPA diatas kemudian diberikan kepada Oligarki komprador dengan alasan investasi.
Apalagi, diduga kuat ternyata ada persengkongkolan jahat antara penguasa dan oligarki yang diserahi lahan tersebut, karena SK HPL sementara-bersyarat dari Kementrian Agraria baru mengantongi izin 600 hektar dari total 17.000 hektar dari lahan yang dimaksud, sisanya 16.400 belum ada izin tersebut dan masih dalam kendali Kementrian Agraria yang tidak boleh diserahkan begitu saja demi hukum UUPA yang berlaku. (Faisal Lohi; Penulis buku “Republik Investor”).
Lebih dari itu, pada tahun 2019 lalu Ketika kampanye PilPres. Jokowi berjanji langsung kepada masyarakat Rempang – Galang untuk memberikan sertifikat tanah kepada warga tanah ulayat. Nyatanya, justru penggusuran yang terjadi.
Hal ini makin melengkapi koleksi Janji Palsu terhadap warga negeri ini, setelah Dana dikantor 11rb triliun, mobil Esemka, stop impor dan sederet janji palsu lainnya. Pada akhirnya tak ada satupun penguasa negeri ini yang benar-benar bisa dipercaya untuk diberikan Amanah, karena ternyata justru meminta tanah untuk digadaikan kepada tuannya tanpa memperdulikan Nasib warganya.
Wahai Rakyat Indonesia!? Rakyat Melayu, Jawa, Sunda, Madura, Bugis, Buton, Papua dan seluruh rakyat Indonesia apakah masih belum cukup bukti bahwa sistem saat ini hanya bentuk legitimasi penjajahan modern oleh para oligarki ? sudah saatnya kita Kembali kepada system kehidupan yang memanusiakan manusia, yang juga digunakan para leluhur kesultanan di Nusantara yaitu Syariah Islam Kaffah.
Allahu A’lam bi shawwabi