Tidak Cukup Mengganti Dengan Istilah Maling Untuk Membasmi Koruptor Tapi Juga Harus Mengganti Sistem!
Editorial Assalim.id | Edisi 74
Oleh Pujo Nugroho
Assalim.id – Tulisan ini mengapresiasi mereka yang peduli dengan kekhawatiran korupsi di negeri ini. Termasuk mereka yang resah dan kemudian menganjurkan mengganti istilah koruptor dengan maling uang rakyat.
Elemen publik ini di antaranya adalah Forum Pimred Pikiran Rakyat Media Network (PRMN). Dimulai sejak Minggu, 29 Agustus 2021, sebanyak 170 media yang berada di bawah naungan Pikiran Rakyat Media Network (PRMN) resmi akan mengganti diksi Koruptor dengan semestinya ia disebut yakni maling, rampok, atau garong uang rakyat (kabartegal.pikiran-rakyat.com, 30/8/2021).
Keresahan Forum Pimred PRMN ini muncul karena adanya rencana dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ingin memunculkan istilah “penyintas korupsi”.
Tentu hal ini wajib ditolak. Termasuk bentuk penolakannya berupa munculnya saran mengganti dengan istilah koruptor dengan maling, rampok, dan garong uang rakyat.
Namun seperti kami sebut, mengganti istilah ini jika tujuannya adalah menghapus korupsi, tidaklah cukup.
Sebagaimana diketahui persoalan korupsi sudah berurat-berakar. Terlebih lagi sistem demokrasi yang menjadi dasar negara ini.
Dengan demokrasi biaya politik menjadi sangat mahal. Hal ini mendorong upaya balik modal biaya politik dan mengeruk keuntungan melalui kekuasaan melalui jalur korupsi.
Indonesia pernah dibuat gagap setelah sistem “desentralisasi” di mana kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilu (Pilkada). Kasus korupsi seketika merebak.
Sepanjang 2004 hingga 2017 tercatat terdapat 65 bupati/wali kota dan 12 gubernur yang dijerat KPK. Jumlah tersebut belum termasuk anggota DPRD tingkat I dan II. Kasus serupa hingga kini masih sering terjadi.
Tidak cukup untuk balik modal, korupsi akan sangat berbahaya jika dipakai untuk mengumpulkan dana partai politik (parpol). Korupsi seperti ini tidak saja kejahatan individu seorang diri tetapi untuk biaya mesin parpol yang tentu sangat besar.
Menurut KPK ada sebanyak 36 persen kasus korupsi yang mereka tangani melibatkan parpol. Mengerikan.
“Ini penting karena bahwa 36 persen kasus yang ditangani KPK melibatkan parpol dan pejabat politik sehingga penting menjadikan politik itu sebagai sarana perbaikan,” kata Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat (Dikyanmas) KPK kala itu Giri Suprapdiono di Jakarta, Senin (Republika.co.id, 23/11/2020).
Karena itu korupsi sudah tersistem dan menjadi bagian upaya mengamankan kekuasaan agar lebih langgeng. Kejahatan namun “resmi” ini dikenal dengan istilah oligarki.
Lewat oligarki melalui penguasaan parlemen dan juga pemerintah (eksekutif) mereka bisa “bersepakat” untuk membuat aturan agar mereka langgeng berkuasa dengan membagikan kekuasaan di antara mereka sendiri, mengeluarkan kebijakan yang sebelumnya dilarang menjadi boleh.
Karena itu korupsi dalam sistem demokrasi kapitalis tidak bisa dibasmi.
Kita memerlukan sebuah cara di mana ketakwaan individu yang tinggi, berintegritas, dan takut kepada Al Khaliq, serta aturan yang ketat dan semua sama di hadapan hukum, transparansi dan akuntabilitas yang terjaga, pengawasan publik untuk saling menjaga kepatuhan, sistem yang luhur bukan rakus seperti sekarang.
Hal ini hanya bisa dipenuhi sistem yang berdimensi agama. Dan itu tentu saja Islam.[]