
Oleh : Abah Widad.
Sahabat Assalim, hari demi hari semakin berat dirasa ummat dan Pengusaha Muslim sekalian. Peristiwa demi peristiwa sarat dengan tipu daya hadir di depan mata kita. Keuntungan demi keuntungan diraup sedemikian rupa dahsyatnya oleh Korporasi asing dan komprador² nya.
Aturan yang ada, semenjak Sistem pemerintahan Islam yakni Khilafah Islam diruntuhkan pada 3 Maret 1924, merupakan produk² nafsu manusia.
Kelanjutan dari penjajahan Barat atas negeri² Islam, yakni dengan lebih soft, bukan dengan penjajahan militer. Namun dengan dipaksakannya sistem politik, hukum dan aneka rupa turunannya pada negeri² Islam yang dijajahnya.
Wajar jika banyak pihak beranggapan bahwa pemerintah sedemikian arogan dalam penanganan virus Covid 19, hingga tanpa dasar ketelitian, sudah membeli dalam jumlah besar vaksin dari China. Padahal vaksin tersebut belum jelas kemampuannya dari sisi klinis, maupun belum teruji mampu menyembuhkan sakit Covid 19 yang mewabah di Indonesia semenjak Maret 2020 diumumkan, atau China semenjak Desember 2019.
Apakah dengan pembelian virus yang terkesan “buru-buru” tersebut, lantas selesai permasalahan Covid 19 di negeri kita? Atau hal lain, yang menjadi penyebab tondakan tersebut diambil pemerintah. Jauh hari kita telah mengetahui bersama, jauh sebelum Covid dinyatakan pandemi di negeri ini, telah lahir banyak kebijakan pemerintah yang diduga prokorporasi.
Hampir sama degan case Omnibus Law hanyalah layanan yang semakin prima saja dari penguasa pada pengusaha kapitalis.
Intervensi asing dan juga kepentingan oligarki kekuasaan begitu mencengkeram negeri ini. Rakyat tak punya kekuatan untuk menolak hasil produk mereka. Omnibus Law hanyalah produk sistem demokrasi kapitalisme.
Maka terkait hal diatas, bukan hanya keberadaan undang-undangnya yang ditolak, tapi juga haruslah beserta pabriknya, yaitu demokrasi kapitalisme. Sehingga, perubahan yang terjadi bukan hanya berputar pada penolakan undang-undang saja, melainkan sesuatu yang fundamental. Yaitu dengan menolak sistem demokrasi kapitalisme yang memproduksi undang-undang propemilik modal dan sistem yang melanggengkan oligarki kekuasaan. Inilah perubahan yang harus terjadi.
Tentu, metode perubahannya pun jangan menggunakan cara yang telah ditetapkan sistem ini. Hal demikian akan membuahkan kesia-siaan. Mengapa? Karena sistem ini tegak beserta dengan aturan yang melindungi kelanggengan sistem tersebut. Oleh karena itu, jika ingin merubah sistem demokrasi kapitalisme harus menggunakan metode di luar aturan main sistem ini.
Adapun metode sahih (yang benar) dalam perubahan adalah metode yang berlandaskan Alquran dan Sunah. Karena Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin, agama yang mampu menebar rahmat kepada seluruh alam. Islam mampu menyelesaikan seluruh permasalahan manusia dan kehidupannya, termasuk permasalahan bernegara.
Pengusaha Muslim sebagai bagian dari Pelaku Utama Perubahan
Sungguh, peran nya dalam pandangan Islam begitu mulia. Pengusaha Muslim yang berilmu yaitu pengusaha yang sedang mempelajari ilmu dan memiliki ilmu. Allah SWT telah meninggikan derajatnya. Dengan ilmunya dia akan mampu menebarkan kebermanfaatanya pada umat manusia.
“Niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat. Allah maha mengetahui atas apa-apa yang kalian kerjakan.” (QS Al Mujadilah: 11)
Dalam tafsir Al Jalalain, di akhir ayat diterangkan bahwa Allah SWT akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman. Yang taat dan patuh kepada-Nya, melaksanakan perintah-perintah-Nya, dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Berusaha menciptakan suasana damai, aman, dan tenteram dalam masyarakat. Demikian pula orang-orang yang berilmu yang menggunakan ilmunya untuk menegakkan kalimat Allah.
Dari ayat ini dipahami, orang-orang yang mempunyai derajat yang paling tinggi di sisi Allah ialah orang yang beriman, berilmu, dan ilmunya itu diamalkan sesuai dengan yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.
Pengusaha Muslim adalah sekumpulan orang² yang sangat disegani penguasa. Dengan ilmu bisnis dan energinya akan mampu membawa ummat menuju perubahan hakiki, yaitu diterapkannya Islam sebagai sistem yang menaungi negeri ini. Namun, langkah sahabat pengusaha sekalian akan terhenti dan tak berarti jika haluan dalam pergerakannya tak mencontoh Nabi. Uswatun hasanah bagi seluruh ummat manusia dulu hingga kini bahkan hingga akhir nanti.
Sahabat Assalim, terkait dengan tema keberkahan sebuah negeri, dengan undang² yang diterapkan; maka penelusuran fakta coba diupaya yakni pada Selasa 25 Desember 2018 tercatat
Jumlah bencana versi BNPB. Dari data kebencanaan secara resmi yang selama ini dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) via website http://bnpb.cloud.
Diketahui data terbuka dari website tersebut, Tempo menelusuri jumlah bencana alam di setiap kepemimpinan sejak Orde Baru hingga Reformasi. Bencana alam itu meliputi gempa, tsunami, gunung meletus, longsor dan banjir. Hasilnya adalah sebagai berikut:
Soeharto (1967-1998) = 300 kali bencana
Gus Dur (1999-2001) = 233 kali bencana
Megawati (2001-2004) = 1.456 kali bencana
SBY (2004-2014) = 14.702 kali bencana
Jokowi (2014-2018) = 8.682 kali bencana
Dari jumlah bencana yang tercatat oleh BNPB itu jelas suangat banyak sekali terjadi bencana.
Ini sangat berbeda dengan Sistem Khilafah Islam, keberkahannya sedemikian hingga bencana alam pun teramat sedikit jumlahnya. Ketaatan pada syariat (aturan) Allaah SWT menjadikan keberkahan merata didarat, laut maupun udara. Pernah suatu ketika dimasa Rasulullaah Muhammad Saw. sebagai kepala negara, terjadi gempa di Madinah. Rasulpun segera menepuk² bumi, belum saatnya bumi bergoncang. Karena ummat taat terhadap syariat. Juga hal yang sama, gempa terjadi dimasa Umar bin Khattab ra. seketika Umar sebagai amiirul mukminin berpidato kepada rakyat yang beliau kumpulkan, “Kemaksiatan apa yang kalian lakukan, hingga bumi ini berguncang (gempa)?”. Seketika rakyat dan segenap pejabat beliau instruksikan taubat nashuuha, tak lama gempa pun berhenti. MaasyaAllaah sedemikian harmoninya, alam dengan negara yang menerapkan syariat Islam, sehingga nyaris bencana tiada terjadi.
Sungguh berbeda sahabat Assalim, kondisi nya dengan kini. Tepatnya semenjak aturan² Allaah SWT diganti dengan aturan buatan (nafsu) manusia.
Sebagaimana wawancara yang dilakukan Tempo, dengan Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat di BNPB, Sutopo Purwo Nugroho memberikan penjelasan, “Dulu pendataan bencana belum baik. Dulu belum ada BNPB, BNPB baru lahir 2008, kemudian belum ada BPBD, ya sehingga pendataan belum baik. Bencana dulu (sebelum joko sebetulnya juga banyak terjadi, tapi tidak tercatat, tidak terdata, dan tidak terlaporkan, sehingga seolah-olah dulu (sebelum jokowi) kecil, padahal banyak juga.” Beginilah perspektif yang masih bosa dikatakan sekuler, masih memisahkan antara kehidupan dunia dengan aturan syariat dalam kehidupan manusia di dunia. Tampak jelas pemisahan antara hakikat ketaatan hamba dengan Al Khaliq yakni Allaah SWT yang memiliki aturan²-Nya yang mulia nan sangat dinantikan kehadirannya kembali di seluruh dunia.
“Nah, sekarang dengan adanya BNPB, BPBD, perkembangan sistem informasi pendataan kemudian perkembangan komunikasi, akhirnya pendataan bencana jadi lebih baik, sehingga jumlahnya banyak. Jadi jumlahnya banyak itu lebih disebabkan karena pendataannya berjalan dengan baik, laporan dari daerah ke pusat lebih baik, karena sudah ada mekanismenya, sudah ada strukturnya,” sambung Sutopo.
“Dulu sebetulnya juga banyak, tapi tidak tercatat sehingga ketika dipilah-pilah, seolah-olah jaman Pak Harto sedikit, padahal juga banyak.”
“Pendataan bencana yang baik mulai 2010 hingga sekarang. Ketika teknologi komunikasi sudah berkembang, dan BPBD sudah banyak. Kalau dulu kan belum terbentuk.”
Sutopo lalu menutup wawancara, “Terlalu naif membandingkan jumlah bencana dengan masa pemerintahan.”
Terlihat jelas sahabatku. Pernyataan KH Ahmad Dahlan
Kutipan yang disertai gambar pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, itu ternyata telah beredar sejak Oktober 2018. Pengurus Pusat Muhammadiyah pun telah mengeluarkan pernyataan yang membantah kutipan realitas diatas.
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Tarjih dan Tajdid, Prof Yunahar Ilyas menegaskan pernyataan itu belum terverifikasi keluar dari mulut Kiai Ahmad Dahlan. Yunahar berpendapat, sepanjang pengetahuannya, belum ada tafsiran langsung yang mengaitkan bencana alam seperti tsunami atau gempa bumi dengan seorang pemimpin yang rusak.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengingatkan bahwa bencana alam bisa saja terjadi karena keadaan alam yang mengharuskan terjadinya pergerakan yang tidak seperti biasanya. Hal itu dapat dijelaskan menurut sains secara objektif. Disini masih bisa baca jelas, adanya sekulerisasi di segenap lini, na’uudzubillaahi mindzaalik.
Dalam buku karya KRH Hadjid, Pelajaran Kiai Haji Ahmad Dahlan 7 Falsafah & 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an (2018), terbitan Suara Muhammadiyah, terdapat kutipan yang serupa. Kiai Hadjid merupakan salah satu murid dan sahabat dekat Kiai Dahlan yang banyak menulis dan mendokumentaasikan; kita adasikan gagasan pemikiran Kiai Dahlan. Pada halaman 59 buku tersebut, Kiai Hadjid mengutip pernyataan Kiai Dahlan sebagai berikut;
“Apabila pemimpin-pemimpin negara dan para ulama itu baik, maka baiklah alam; dan apabila pemimpin-pemimpin negara dan para ulama itu rusak, maka rusaklah alam dan negara (masyarakat dan negara).” Kalimat di dalam kurung seolah menegaskan bahwa alam yang dimaksud adalah alam sosial atau masyarakat.
Maka dari itu wahai sahabat Assalim, mari bangkit bersama. Melawan tiran yakni penguasa dzalim yang terus saja menzalimi umat bahkan ulama. Jangan biarkan waktu, pikiran, dan energimu terkuras hanya dengan pergerakan semu yang tak membawa perubahan berarti. [AW]