Teriak Merdeka Disaat Negara Dikuasai Kapitalis, Pantaskah
Catatan HUT RI Ke-76
Ulasan Utama Assalim.id | Edisi #72
Oleh Abu Nabhan
Assalim.id – Sudah sejak 75 tahun silam Indonesia memproklamirkan kemerdekaanya. Belanda sudah tidak menjajah lagi setelah dalam kurun waktu cukup panjang (1602 – 1942) berhasil menguasai wilayah Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan Papua. Tapi apakah benar sudah tidak ada lagi penjajahan di negeri ini?
Jika tidak ada lagi penjajahan, berarti negeri ini benar-benar merdeka dan berdaulat? Lalu bagaimana dengan ekonomi saat ini apakah telah mensejahterakan? Bagaimana dengan nasib orang-orang miskin apakah telah terjamin kehidupannya? Bagaimana dengan lapangan kerja bagi para pengangguran apakah benar-benar tersedia dengan baik?
Lembaga survei Nasional Charta Politika Indonesia, mengeluarkan hasil survei terbarunya periode 12-20 Juli 2021 yang mengungkap tentang penilaian masyarakat terkait dengan kondisi ekonomi Indonesia saat ini di masa pandemi Covid-19. Hasilnya 65,9 persen menilai kondisi perekonomian yang buruk/sangat buruk (tribunnews.com, 12/8/2021).
Ini berbanding terbalik dengan klaim pemerintah bahwa pada kuartal II 2021, pertumbuhan ekonomi capai 7,07 persen yang menandai RI lepas dari jerat resesi ekonomi. Semua sektor tumbuh positif, dipimpin lonjakan sektor transportasi dan pergudangan sebesar 25,10 persen. Disusul, akomodasi dan makan minum sebesar 21,58 persen, jasa lainnya 11,97 persen dan jasa kesehatan 11,62 persen.
Namun, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai, lonjakan pertumbuhan ekonomi itu hanya semu, karena berangkat dari basis rendah yakni minus 5,32 persen pada periode yang sama tahun lalu. Sebaliknya, ia memprediksi pertumbuhan ekonomi kembali melambat di kuartal III 2021 karena terjadi lonjakan kasus akibat varian delta (cnnindonesia.com,13/8/2021).
Selain itu menurut Direktur Eksekutif IPO, Dedi Kurnia Syah, berdasarkan hasil surveinya pada 2-10 Agustus 2021 lalu menemukan bahwa, mayoritas publik menilai kinerja Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN) dalam menangani covid dan dampaknya belum cukup memuaskan. Dari hasil survei IPO, sebanyak 63 persen responden mengaku tidak puas dengan kinerja KPC-PEN (cnnindonesia.com, 14/8/2021).
Bagaimana dengan tingkat pengangguran dan kemiskinan? Ekonom Core Indonesia Akhmad Akbar Susamto memprediksi tingkat pengangguran dan kemiskinan Indonesia akan meningkat pada tahun 2021. Diperkirakan, proyeksi tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada bulan Agustus 2021 ini di rentang 7,15 persen – 7,35 persen. Posisi itu lebih tinggi dibanding realisasi perhitungan BPS sebesar 7,07 persen bulan Agustus 2020 dan 6,26 persen bulan Februari 2021.
Belum lagi kasus pemutusan hubungan kerja (PHK). Kementerian Ketenagakerjaan mencatat selama pandemi Covid-19, jumlah pekerja yang terkena PHK dari 1 Januari 2001 hingga 7 Agustus 2021 mencapai 538.305 pekerja. Jika dirata-ratakan, maka selama periode awal tahun hingga tanggal 7 Agustus 2021, rata-rata terjadi PHK sebanyak 76.900 kasus perbulan (deskjabar, 13/8/2021). Ini belum termasuk tahun sebelumnya.
Bahkan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) menyebut ada 29,4 juta orang terdampak pandemi Covid-19. Jumlah itu termasuk mereka yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dirumahkan tanpa upah hingga pengurangan jam kerja dan upah (tribunnews.com, 27/3/2021).
Lalu dimana kemerdekaannya? Benar secara fisik Japan dan Belanda sudah hengkang dari negeri ini, tapi secara non fisik kita harus jujur mengakui bahwa penjajahan masih terus terjadi. Eks Kementrian BUMN, Said Didu, dalam cuitan twiternya beberapa waktu lalu menilai, bahwa negara ini sedang dihancurkan lewat pelemahan KPK, penghilangan fungsi MK, penyerahan sunber daya ekonomi lewat UU Omnibus Law dan UU Minerba, UU ‘Corona’ no. 02/2020 yang bebaskan pemerintah melakukan apapun, RUU BPIP, rencana revisi UU BI.
Apa yang dikemukakan Said Didu bukan tanpa alasan. UU Omnibus Law misalnya, hanya untuk memperpanjang izin PT Arutmin yang masa berlaku sampai 30 Oktober 2020, Jokowi terkesan ‘memaksakan’ menandatangani UU Omnibus Law tersebut pada 3 November 2020. Padahal sejumlah pihak menolak karena hanya menguntungkan para kapitalis ketimbang memberi kesejahteraan pada rakyat.
Padahal, seharusnya
sesuai UU Minerba 2009 tambang yang habis kontraknya kembali ke nagara. Tapi UU tersebut diubah pada tahun 2020 sehingga boleh diperpanjang lagi.
Fenomena di atas seakan mengambarkan betapa negara yang kaya sumber daya alam ini justru menjadi rebutan para Kapitalis untuk menghisap kekayaan rakyat sebesar-sebesarnya sementara rakyat dipaksa hidup apa adanya dengan bansos yang sangat minim. Hal ini juga nampak terang benderang pada bisnis PCR yang terkesan dipaksakan padahal negara ini juga memiliki genoside.
Bisa dibayangkan jika banyak aktivitas mempersyaratkan adanya PCR maka ini bisa saja mempercepat lahirnya kemiskinan-kemiskinan baru dan memperkaya pebisnis PCR.
Misalnya saja, jika ada 10 juta rakyat PCR karena “terpaksa” harus melakukannya karena aturan. Katakanlah rata-rata harga PCR Rp 900 ribu, maka uang rakyat yang tersedot hampir mencapai Rp 1 trilyun. Nah siapa yang diuntungkan kalau bukan para kapitalis sementara rakyat dipaksa miskin.
Menarik data yang dikeluarkan lembaga keuangan Credit Suisse, bertajuk Global Wealth Databook 2021, yang terbit pada awal Juli 2021 lalu menyebut jumlah orang kaya di Indonesia melonjak 61,69% pada 2020 dibandingkan tahun sebelumnya. Yang termasuk dalam kategori itu adalah penduduk dengan kekayaan bersih lebih US$ 1 juta atau Rp 14,5 miliar. Jumlahnya mencapai 171.740 orang pada 2020. Untuk penduduk dengan kekayaan lebih US$ 100 juta atau Rp 1,45 triliun pada tahun lalu mencapai 417 orang. Jumlah ini naik 22,29% dibandingkan 2019 (katadata.co.id, 19/7/2021).
Berdasarkan fakta di atas, sekali lagi penulis ingin mengatakan bahwa kita benar-benar belum merdeka. Karena itu kemerdekaan sejati tidak akan pernah ada dalam sistem Kapitalis maupun Sosialis. Kemerdekaan hakiki hanya ada dalam Islam. Kapan itu terjadi?, ya saat manusia berlepas diri dari penghambaan pada manusia menuju pada penghambaaan hanya kepada Allah SWT.
Ketika manusia masih rela diatur dengan aturan manusia, masih menolak aturan Allah. Tidak rela aturan Allah SWT diberlakukan pada seluruh aspek kehidupan termasuk dalam masalah ekonomi. Yakinlah negeri ini tidak akan pernah merdeka. Mengapa? Karena kita masih dijajah oleh hawa nafsu kita, kita masih terbelenggu oleh ketamakan pada dunia. Kita rela diatur dengan aturan manusia yang menghinakan sementara aturan Allah SWT dicampakkan.
Kita lebih cinta dunia ketimbang akhirat. Padahal hidup yang sebenarnya adalah kehidupan akhirat.
Karena itu tidak ada jalan lain agar-agar benar merdeka kecuali menjadikan Islam bukan hanya sebagai agama tapi sebuah sistem hidup yang sempurna yang akan menyelesaikan seluruh problematika kehidupan manusia baik dalam tataran individu, masyarakat, maupun negara. Yakinlah, hanya Islamlah yang benar-benar membuat negara ini merdeka, berdaulat, mandiri, dan sejahtera. Yuk, tunggu apa lagi!
Wallahu a’lam bi as shawab.[]