Tak Berdaya Di Ambang Resesi

Last Updated: 22 Juni 2020By

Aliansi Pengusaha Muslim – Pemerintah meramal pertumbuhan ekonomi Indonesia terjungkal di kuartal kedua akibat pandemi virus corona. Kondisi ini berpeluang meningkatkan jumlah pengangguran dan angka kemisikinan serta menurunkan daya beli masyarakat. Di sisi lain, bayang-bayang gelombang kedua pandemi masih menghantui yang bisa menjerumuskan negeri ini ke jurang resesi. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam sebuah diskusi virtual ia menyatakan pertumbuhan ekonomi periode tersebut -3,8%.

Ramalan ini lebih rendah ketimbang yang disampaikannya sebelumnya saat memaparkan kinerja APBN per 31 Mei, yakni -3,1%. Proyeksi ini mirip dengan yang diungkapkan sejumlah lembaga internasional. Salah satunya yakni Bloomberg Median dan Moody’s yang memproyeksi kontraksi ekonomi Indonesia sebesar 3,1%. Saat memaparkan proyeksi terbarunya, Sri Mulyani tak banyak menjelaskan penyebabnya.

Menurutnya, penyebab kontraksi di triwulan kedua adalah tekanan besar perekonomian di hampir semua sektor lantaran kinerjanya lesu selama April-Mei. Hal ini ditunjukkan dengan menurunnya penerimaan negara dari pajak yang terkontraksi 10,8% dibandingkan periode sama tahun lalu dengan realisasi sebesar Rp 444,6 triliun.

Dengan proyeksi pemerintah untuk kuartal II, angka pertumbuhan konsumsi rumah tangga bisa semakin menurun yang mengindikasikan daya beli masyarakat melemah cukup dalam. Hal ini karena, seperti dikatakan Direktur Eksekutif CORE Indonesia Muhammad Faisal, tingkat konsumsi rumah tangga selalu berbeda tipis dengan pertumbuhan ekonomi. Kontribusinya kepada pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat besar, yakni mencapai 60%. “Konsumsi rumah tangga normal 5%. Kalau prediksinya -3,1%, maka konsumsi rumah tangga minus 3,1% juga,” kata Faisal (Katadata.co.id,17/6).

Lalu apa dampak minusnya pertumbuhan ekonomi Indonesia ini? Penurunan daya beli masyarakat terpengaruh oleh peluang penurunan peningkatan pengangguran. Penelitian CORE Indonesia menyatakan pengangguran bertambah 4-9 juta orang. Sementara data BPS pada 2019 mengumumkan pengangguran terbuka 6,82 juta orang atau 5,28% dari total angkatan kerja. Maka, pengangguran bisa mencapai 17 juta orang.

Setali tiga uang, tingkat kemiskinan juga berpeluang meningkat meskipun menurut Ekonom INDEF Bhima Yudhistira belum akan terlihat di kuartal II. Hal itu karena terjadi jeda setelah masyarakat di-PHK sampai akhirnya masuk ke kategori miskin.

Pemerintah, seperti tertuang dalam bahan pemaparan Sri Mulyani, memperkirakan angka kemiskinan meningkat 1,89 juta orang sampai 4,86 juta orang. Sementara jumlah pengangguran meningkat 2,92 juta orang sampai 5,23 juta orang.

Dari sini kita memahami mengapa Pemerintah terkesan ngotot menerapkan New Normal. Kebijakan pembatasan sosial-lah yang menjadi “biang keladi” turunnya pertumbuhan ekonomi. Karena itu wajar jika Sri Mulyani berharap gelombang kedua Covid-19 tidak terjadi.

“Saya berdoa tidak terjadi gelombang kedua, berdoa dan berupaya,” ujar dia (kompas.com, 17/6).

Sebagaimana diketahui pertumbuhan ekonomi Indonesia disokong oleh konsumsi rumah tangga (RT). Seperti disebutkan di atas kontribusinya bisa mencapai 60%. Inilah salah satu problem ekonomi Indonesia. Problem ini adalah problem sistemik kapitalis.

Ketahanan ekonomi negara diserahkan pada konsumsi rumah tangga warga negara. Sekali gerak mereka dibatasi ekonomi negara seketika merosot tajam. Indonesia dengan segala kekayaan sumber daya yang dimilikinya tidak berdaya. Tidak ada kesan bahwa Indonesia sebagai negara yang kuat dan negara besar.

Solusi yang diberikanpun tidak banyak. Pemerintah hanya mampu berutang untuk menelurkan stimulus dan berharap ekonomi pulih kembali. Sedang utang untuk pemulihan ekonomi saat ini akan memberikan dampak hingga 10 tahun akan datang. Defsit akan terus terjadi dan utangpun akan terus dilakukan. [] Pujo Nugroho