Tahun 2023, “Ekonomi Dunia Makin Gelap”
Agan Salim
Menarik ungkapan seorang praktisi ekonomi sekaligus penulis buku terkenal ‘Rich Dad, Poor Dad’ Robert Kiyosaki yang mengingatkan agar masyarakat tidak berinvestasi di saham, obligasi, ETS hingga reksadana. Kiyosaki mengaku dirinya akan keluar atau tidak mau lagi investasi di paper asset.
Dia bahkan dengan keras mengatakan tidak suka apapun yang dikeluarkan oleh Wall Street, The Fed dan Treasury. “Ekonomi global bukan pasar, Saya percaya ekonomi sedang menuju bubble terbesar dalam sejarah” jelasnya.
Sinyalemen akan terjadinya bubble ekonomi terbesar ini juga di ungkapkan oleh Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar walaupun dengan narasi yang berbeda yang menyebutkan bahwa ancaman resesi global yang akan terjadi pada tahun 2023. Menurutnya, ada dua hal yang menjadi tantangan makro ekonomi, yaitu menurunkan inflasi dengan menaikan tingkat suku bunga, dan menurunkan suku bunga dalam menghadapi resesi agar roda perekonomian dapat terus bergerak.
Itulah mengapa Direktur Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva melihat pesimis kondisi ekonomi global 2023 dan mengatakan untuk sebagian besar ekonomi global, 2023 akan menjadi tahu mesin utama pertumbuhan global, yakni Amerika Serikat (AS), China, dan Uni Eropa, mengalami perlambatan secara bersamaan.
Kalau kita perhatikan dengan seksama sikap ketiganya bukanlah tanpa alasan kalau melihat kondisi yang menjadi tantangan perekonomian dunia saat ini. Paling tidak ada dua hal yang biasa di lakukan menjadi tantangan makro ekonomi dunia saat ini, yaitu menurunkan dengan menaikan tingkat suku bunga, atau menurunkan suku bunga dalam menghadapi resesi agar roda perekonomian dapat terus bergerak.
Namun tahun 2023 solusi kedua opsi tersebut menjadi dilematis nyatanya. Karena pilihannya inflasi tinggi atau resesi berat. Pilihan menaikkan tingkat bunga maka akan makin mengakibatkan resesi, tak menaikkan tingkat bunga maka inflasinya akan naik terus tak terkendali.
Semua ini berawal saat perekonomian global saat ini secara teknis dibanjiri oleh aliran dana produk ribawi dalam jumlah besar, biaya yang sangat murah dengan waktu yang lama. Akibat dari praktek tersebut melemahkan ekonomi negara maju yang memicu terjadinya inflasi besar-besaran.
Hal tersebut kian diperparah dengan dinamika geopolitik dunia yang menyebabkan persoalan dalam rantai pasok dan logistik. Sehingga banyak negara membatasi pasokannya yang berujung memicu terjadinya inflasi di negara-negara maju.
Dampaknya bisa langsung terkonfirmasi dari angka inflasi di negara Eropa saat ini sampai di atas 10% seperti Inggris, Perancis, Belgia, dan Italia sudah masuk ke jurang resesi. Sebuah realitas yang pernah mereka alami di era awal 1980-an.
Alih alih mencari solusi permanen akan hal tersebut, Instrumen yang dipakai untuk mengatasi masalah tersebut selalu mengunakan pendekatan kebijakan bank sentral (sistem ekonomi ribawi), padahal pendekatan bank sentral hanya mampu menghadapi gejolak inflasi, bukan menanggulangi kelesuan ekonomi global. Disini titik kegagalan pondasi sistem ekonomi global ala kapitalisme saat ini yang dibangun dari struktur ekonomi yang semu atau ekonomi sektor non-riil bukan ekonomi yang sesungguhnya sehingga bersifat fatamorgana.
Solusi ini ibarat balon udara yang terkesan cepat dari sisi capaian pertumbuhan ekonomi namum sebenarnya adalah gelembung (bubble economic) yang kosong melompong dan siap untuk meledak.
Dari sinilah kita bisa memastikan bahwa ekonomi dunia diambang kebangkrutan dan sudah saat dipikirkan solusi paripurna untuk menyudahi kerusakan tersebut. Pada kondisi tersebutlah Islam, sebagai aturan kehidupan dengan sistem ekonominya memiliki solusi yang bersifat sistemik tidak parsial. Ini bisa dilihat dari bukti historis, empiris dan kebutuhan kekinian abad ini. Wallahualam.