Swf Indonesia, Jalan Tol Menjual Indonesia?
Ulasan Utama Assalim.id | Edisi #49
Oleh Pujo Nugroho
Assalim.id – Presiden Jokowi resmi mengesahkan pendirian Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau dikenal Sovereign Welfare Funds (SWF) dengan meneken beberapa aturan.
Lembaga ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja alias Omnibus Law Ciptaker setelah Jokowi menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 73 dan 74 tahun 2020 pada 14 Desember lalu.
Banyak dari negara di dunia juga membentuk SWF dengan namanya masing-masing. Fungsi dari SWF sendiri secara garis besar adalah lembaga untuk menampung dana asing yang ingin berinvestasi di Indonesia. Lembaga ini akan menyalurkan dana asing tersebut ke proyek-proyek tertentu. Di sinilah kata kuncinya, yaitu investasi asing.
Kemampuan keuangan Indonesia yang berbeda dengan kemampuan keuangan negara-negara maju menyebabkan jenis SWF Indonesia juga berbeda dengan SWF negara maju. SWF negara maju menggunakan dana abadi mereka untuk mengelola aset (reserve asset) dengan cara berinvestasi di luar negara mereka. Sebaliknya, SWF di Indonesia bertujuan membawa investasi luar untuk masuk ke RI dengan mengoptimalkan aset-aset negara yang sudah ada.
Ambillah contoh Temasek Holding Singapura yang merupakan SWF-nya Singapura. Dana yang dimiliki Singapura yang “berlebih” menjadikan Temasek berdiri. Dan kita tahu cerita selanjutnya. Dalam sepak terjangnya Temasek membeli Indosat dan Danamon. Sebuah “skandal” obral BUMN dan asset strategis Indonesia kepada Asing.
Karena itu jika negara maju kapitalis menggurita di luar negeri melalui SWF-SWF-nya maka SWF Indonesia malah menjadi sarana pintu masuk Asing menguasai Indonesia.
Demikianlah kapitalisme merancang sebuah pola di mana negara dengan modal besar (kapitalis) akan terus menjadikan negara miskin sebagai objek permainan ekonomi mereka.
Apa yang kita khawatirkan? Dengan pola SWF ini Pemerintah sebagai eksekutif menjadi sangat mudah mengundang asing. Jika pembangunan infrastruktur selama ini melalui utang luar negeri dan akan bermasalah karena terbentur aturan APBN dengan batasan persentase utang maka dengan SWF permasalahan ini seolah menjadi tidak ada.
Demikianlah yang dirancang Pemerintah di mana SWF dianggap sebagai equity bukan utang dalam postur APBN sebagaimana pernyataan pemerintah.
“Logika SWF Indonesia adalah kita ingin mengundang foreign direct investment atau foreign fund saya sebutnya. Dana luar negeri masuk ke Indonesia bukan sebagai utang, namun sebagai equity,” ujar Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara (Cnnindonesia.com, 28/1).
Bagaimanapun meski berbeda dengan utang luar negeri namun dana yang terkumpul di SWF Indonesia adalah dana asing (dan sebagaian dana dalam negeri). Sumber dana dari asing yang turut terlibat membiayai proyek-proyek dalam negeri terlebih lagi proyek strategis tentu berbahaya.
Di sisi lain pemerintah akan mengoptimalkan aset-aset yang dimiliki Indonesia untuk menarik investasi asing agar dana SWF terus membesar. Untuk apa SWF dibentuk jika tidak ada yang berinvestasi?
Dengan konteks investasi yang notabene bisnis tentu dana asing bukanlah makan siang gratis. Penanam modal juga menuntut feedback profit bisnis.
Terlebih lagi jika SWF juga mengelola sumber daya alam Indonesia yang menguasai hajat hidup rakyat banyak. Di dalam penjelasanan Menteri Keuangan Sri Mulyani di mana menyebut bahwa sumber daya alam tidak dimasukkan sebagai penyertaan modal. Namun melalui perusahaan patungan bisa mengelola melalui SWF.
“Untuk cabang-cabang yang penting bagi negara, dan yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya, dia tidak akan dimasukkan di dalam penyertaan modal LPI. Namun, dia (kekayaan alam) bisa dikuasakelolakan dalam bentuk perusahaan patungan di mana LPI menjadi penentu utama,” terang Sri Mulyani yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pengawas LPI.
Dari sini kita melihat sejak “dipaksakannya” UU Ciptaker alias omnibus law kemudian dibentuknya SWF ternyata di balik itu nampak jelas skenario “menawarkan” Indonesia kepada asing. []