Swf Ina, Jalan Mulus Neoliberal & Tergadainya Kedaulatan !?

Last Updated: 23 Februari 2021By

Agan Salim
Ulasan Utama l Assalim.ID

Presiden Joko Widodo telah mengumumkan jajaran direksi lembaga pengelola investasi atau sovereign wealth fund (SWF), pada selasa, 16 Februari 2021. Lembaga ini yang bernama “Indonesia Investment Authority” (INA) dan telah resmi beroperasi.

Payung hukum utamanya, yakni Undang-Undang (UU) No 11/ 2020 Tentang Cipta Kerja (Ciptaker). Sejumlah beleid turunannya juga sudah dilahirkan seperti Peraturan Pemerintah (PP) No 73/2020 Tentang Modal Awal LPI. PP ini mengatur bahwa modal awal LPI ini merupakan salah satu bentuk Kekayaan Negara Yang Dipisahkan.

Direktur Utama INA Ridha Wirakusumah mengungkapkan, lembaga ini akan mengutamakan untuk menggandeng investor menyuntikkan dananya pada sektor jalan tol di periode awal berjalan. Pasalnya, dia menilai sektor ini memiliki multiplier effect yang besar dan menyedot pembiayaan yang tinggi. (kontan.co.id 16/02/2021)

Dalam menjalankan fungsinya sebagai pengelola aset negara yang dipisahkan, LPI/INA memiliki enam kewenangan utama, yaitu: (1) penempatan dana dalam instrumen keuangan; (2) pengelolaan aset; (3) bekerja sama dengan pihak lain, termasuk entitas dana perwalian (trust fund); (4) menentukan calon mitra investasi; (5) memberikan dan menerima pinjaman; dan (6) menatausahakan aset.

Lembaga inipun punya kewenangan sangat besar, yang idealnya menjadikan SWF Indonesia ini penopang pendanaan proyek-proyek strategis pemerintah. Lembaga ini juga bisa memakai dana yang dihimpunnya untuk diinvestasikan di badan hukum asing atau di proyek negara lain.

Dari sisi badan hukum juga tak kalah “luwes”, INA merupakan lembaga khusus di luar pemerintah (sui generis) yang punya struktur mirip dengan perseroan terbatas. Dengan kewenangan khusus untuk mengatur aset dan kerja sama sendiri, sehingga memiliki keleluasaan mengelola investasi tanpa harus terhambat birokrasi dan regulasi.

Dari “Super Wewenang” lembaga ini yang dianggap sebagai terobosan atas kebuntuan pendanaan, tapi disisi yang lain dapat diduga tersimpan ancaman akan kedaulatan atas aset strategis negara. Kerena pola SWF ala INA ini sangat berbeda dengan SWF yang dilakukan oleh banyak negera didunia saat ini.

Dari sumber dananya, sovereign wealth fund pada umumnya dari cadangan surplus negara. Selain itu, sovereign wealth fund juga mengelola cadangan devisa bank sentral, dana dari akumulasi surplus perdagangan dan surplus anggaran, dana hasil privatisasi, juga pemasukan negara dari ekspor,

Singapura contohnya SWF diberi nama Government Investment Center (GIC) dan Temasek Holding. GIC dibentuk pada 1981 dan kini sudah mengelola aset senilai lebih dari US$ 100 miliar yang tersebar di 40 negara, sedangkan Malaysia bernama Khazanah. SWF terbesar di dunia saat ini dimiliki oleh Norwegia dengan dana kelolaan US$ 1,1 triliun.

UEA juga memiliki SWF, bahkan masuk di jajaran sepuluh besar dunia, yakni Abu Dhabi Investment Authority dengan dana kelolaan US$ 696,66 miliar pada 2019. Alasan dibentuknya SWF UEA dikarenakan kekayaannya sangat bergantung pada ekspor minyak mentah. Oleh karena itu, UEA menempatkan sebagian cadangan devisanya ke SWF yang berinvestasi pada aset-aset yang terdiversifikasi. Jika terjadi risiko yang menyebabkan harga minyak dunia turun, pendapatan UEA dari hasil investasi yang lain bisa menutup penurunan tersebut.

Perkara INA, SWF ala Indonesia ini pernah dikritisi jauh-jauh hari oleh Ekonom Senior, Faisal Basri yang menyebutkan bahwa Sovereign Wealth Fund (SWF) yang dibentuk Indonesia (INA) berbeda dengan SWF umum global, seperti Singapura dimana sumber dana SWF diambil dari pendapatan negara yang digunakan untuk investasi menggerakkan ekonomi sementara SFW Indonesia mengajak investor asing, sehingga risikonya sangat besar. (CNBC 12/10/20)

Hal yang sama juga datang dari mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan menilai keberadaan Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau Indonesia Investment Authority (INA) dengan memberikan analogi, keberadaan LPI/INA seperti mewujudkan mimpi orang miskin menjadi orang kaya dalam waktu cepat. (CNBC 22/12/20).

Kalau kita merujuk dari Sovereign Wealth Fund Institute, pengelolaan dana melalui SWF ini lebih mengutamakan imbal hasil (return) daripada likuiditas, sehingga cenderung lebih berisiko dibandingkan cadangan devisa tradisional. Beberapa negara yang mengutamakan likuiditas akan membatasi investasi SWF hanya pada instrumen surat utang yang sangat likuid, misalnya surat utang pemerintah.

Inilah dasar mengapa SWF INA ini bagi beberapa kalangan dan pengamat berbahaya bagi kedaulatan negeri ini, karena dana dari INA ini akan dijadikan sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan nasional. Jadi pembagunan negeri ini tidak hanya bersumber dari perpajakan, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), hibah, dan utang, tapi kini INA jadi sumber lain untuk membiayai pembangunan strategis dengan melibatkan korporasi asing secara langsung.

Sudah barang tentu keterlibatan pihak asing dan SWF dari berbagai negara tersebut akan mengutamakan imbal hasil (return), sebagaimana tujuan dari SWF sebagai instrument untuk mencari keuntungan finansial dalam setiap aktivitasnya. Sehingga bisa jadi SWF INA tidak menutup kemungkinan akan menjadi jalan mulus neo liberalisasi aset strategis negara lewat payung hukum Omnibuslaw yang memang telah banyak di tentang sejak rancangan sampai disahkan.

Mekanisme pembiayaan ini kalau dinilai dalam perspektif ekonomi islam bukan hanya tidak tidak syar’I karena mengandung aktivitas ribawi, tapi juga berbahaya bagi kedaulatan dan bisa menjadi celah penguasaan harta milik umat. Karena sejatinya aktivitas pengelolaan aset strategis telah sangat jelas kerangka kebijakannya dalam Islam, sebagaimana Rasullulah bersabda:

“KAUM MUSLIM BERSERIKAT DALAM TIGA HAL YAITU; AIR, RUMPUT (POHON), API (BAHAN BAKAR), ”
(HR Ibnu Majah).

Artinya, pengelolaan SDA wajib dikelola oleh negara dan dikembalikan dalam bentuk pemenuhan seluruh kebutuhan rakyat yang menjadi tanggungjawab negara. Sehingga kesejahteraan rakyat terpenuhi, ekonomi akan produktif dan negara menjadi mandiri. Bukan malah menjadi sasaran pemburu RIBA DUNIA seperti yang direncanakan saat ini. []