Categories: Editorial

assalim

Share

Abu Nabhan

Diberlakukannya UU nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja menjadi modus baru bagi para kapitalis menghisap ‘kekayaan rakyat’ negeri ini atas nama investasi. Hal ini nampak jelas setelah Sovereign Wealth Fund (SWF), Indonesia Invesment Authority (INA) disahkan menjadi lembaga pengelola investasi resmi dan terbitnya Perpres nomor 11/2021 yang membolehkan produksi dan penjualan miras.

Kendati Perpres nomor 10/2021 dicabut kembali Jokowi setelah ditentang oleh umat tapi pelegalan minum khamer tak dapat dihentikan. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan, izin investasi untuk pembangunan industri minuman keras (miras) sudah ada sejak 1931. Hingga kini 109 izin yang sudah dikeluarkan pemerintah yang tersebar di 13 provinsi (Kompas.com,02/03/2021).

Berbagai alasan yang dibuat-buat untuk melegalkan miras ini. Alasan toleransi karena dianggap bukan hanya satu agama di Indonesia, kearifan lokal karena sudah menjadi budaya diwilayah non muslim, meningkatkan wisatawan asing untuk datang ke Indonesia karena wisatawan hanya ingin bersenang-senang, mengatur tata kelola industri miras menjadi lebih baik, sehingga nilai ekonomis yang diraup bisa optimal dan merambah pasar ekpor.

Ini semua alasan tidak masuk akal. Jika alasannya toleransi tentu tidak bisa diterima, karena semua kitab agama resmi di Indonesia melarangnya. Jika alasannya kearifan lokal justru pemerintah Papua melalui Gubernur Papua Lukas Enembe telah meneken Perda Nomor 15 Tahun 2013 tentang pelarangan peredaran minuman keras di Bumi Cenderawasih. Jika alasanya keuntungan ekonomi juga bisa dibantah.

Studi yang ditulis Montarat Thavorncharoensap dalam 20 riset di 12 negara menyebutkan, beban ekonomi dari minuman beralkohol adalah 0,45 persen hingga 5,44 persen dari PDB. Ditilik dari PDB Indonesia pada 2020 yaitu Rp.15.434,2 triliun jika dikalikan 1,66 persen (dana PDB Amerika Serikat untuk menanggung efek buruk minuman keras) maka hasilnya adalah Rp. 256 triliun. Lalu dimana untunngnya?

Memang kita tidak menutup mata kalau bisnis alkohol adalah ladang basah. Di Amerika saja konsumsi bir tahun 2013 mencapai lebih dari 230 juta barel dengan pendapatan tahunan Rp 300 triliun hingga Rp 400 triliun.

Tapi jangan salah, biaya yang harus dikeluarkan untuk mengatasi masalah kesehatan akibat minuman beralkohol mencapai 176 milyar USD (sekitar 1600 triliun rupiah) setiap tahun. Bahkan pada tahun 2010, 1,66 persen dari PDB Amerika Serikat digunakan untuk menanggung efek buruk miras. Bayangkan,  ini setara dengan dua kali lipat besar seluruh pengeluaran APBN negara Indonesia (tahun 2008).

Karena itu Ekonom Indef Dradjad Hari Wibowo, menilai bahwa pembukaan investasi minuman keras tidak akan memberi dampak ekonomi yang besar. Malah, pembukaan investasi miras akan membuat beban ekonomi yang ditanggung negara akibat minuman keras lebih besar

Pemborosan yang sangat besar Menurut Wibowo, mengutip penelitian resmi yang dimuat Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit dari Pemerintah AS (CDC), disebabkan hilangnya produktivitas sebesar 72 persen, 11 persen karena biaya kesehatan, 10 persen untuk penegakan hukum kejahatan yang disebabkan alkohol, serta 5 persen terkait kecelakaan kendaraan bermotor akibat alkohol.

Jika alasannya untuk kesenangan para wisatawan, ini juga tidak bisa dipertanggungjawabkan. Berdasarkan data, satu dari enam orang di AS yang minum minuman beralkohol masuk dalam kategori berlebihan. Terlalu banyak mengonsumsi alkohol dapat memicu kecanduan. Pengidap kondisi ini akan sangat sulit untuk menahan keinginan minum alkohol.

Data resmi pemerintah Inggris (tahun 2006) menyebutkan bahwa hampir separuh kejahatan dengan kekerasan di negara ini diakibatkan oleh pengaruh minuman beralkohol. Lebih dari satu juta pelaku agresi kejahatan yang terdata dipercaya berada dalam pengaruh alkohol.

Bagaimana dengan Indonesia?. Data  dari Bareskrim Polri sebagaimana disampaikan Karo Penmas Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Pol Awi Setiyono, bahwa perkara pidana miras selama 3 tahun terakhir mulai tahun 2018 sampai 2020 sebanyak 223 kasus. Kasus yang paling menonjol akibat miras yakni pemerkosaaan. Sedangkan jumlah kasus pengadaan miras oplosan berjumlah 1.045 kasus.

Inilah yang sudah diingatkan oleh Rasulullah SAW, bahwa khamer adalah ummul khaba’its (induk kejahatan dari segala kejahatan). Bahkan rasulullah SAW melaknat setiap manusia yang terlibat dalam aktivitas miras.

Dari Anas bin Malik, dia berkata;

“Rasulullah melaknat sepuluh golongan dengan sebab khamr: orang yang memerasnya, orang yang minta diperaskan, orang yang meminumnya, orang yang membawanya, orang yang minta di antarkan, orang yang menuangkannya, orang yang menjualnya, orang yang makan hasil penjualannya, orang yang membelinya, dan orang yang minta dibelikan. [HR. Tirmidzi, no. 1295; Syaikh al-Albani menilai hadits ini Hasan Shahîh”].

Selain miras yang takkala bahayanya adalah SWF. Jika miras membahayakan eksistensi kamanusia karena merusak akal, maka SWF mengancam kedaulatan negara. Melalui SWF negara bisa tergadai dengan utang. Negara akan dikendalikan sepenuhnya oleh Asing hingga intervensi dalam penetapan Undang-undang. Seluruh aset kekayaan negara dalam kendali Asing, dan rakyat hanya menjadi penonton di negerinya sendiri.

Mengapa semua ini begitu mudah terjadi di negeri ini?. Ya, karena negara telah menghianati rakyat yang telah memilihnya dan memilih melakukan ‘perselingkuhan’ dengan pengusaha. Akibatnya, semua keinginan pengusaha diikuti oleh penguasa. Penguasa hanya sebagai ‘katalisator’ penguasaha untuk meraih keuntungan materi sebesar-besarnya. Cara berpikir Kapitalis, “tidak ada makan siang yang gratis”.

Berbeda halnya dengan sistem Islam. Dalam Islam telah dijelaskann tentang pembagian kepemilikan harta. Mulai dari kepemilikan individu, kepemilikan umum, hingga kepemilikan negara. Kepemilikan yang bisa diperebutkan oleh para investor hanyalah kepemilikan individu. Kepemilikan umum, seperti tol, jalan kereta api, dan lain sebagainya, tidak boleh diserahkan kepada swasta untuk dikuasai, tapi wajib dikelola negara dan hasilnya diserahkan sepenuhnya kepada rakyat tanpa melihat lagi apa jabatannya.

Karena itu, untuk mengakhiri ‘perselingkuhan penguasa-pengusaha ini tidak ada jalan lain kecuali mencampakkan ideologi kapitalisme dan menggantinya dengan sistem Islam. Sistem inilah yang akan memberi kesejahteraan bagi setiap individu rakyat tanpa membedakan kaya dan miskin. Sistem inilah yang pasti memberi rasa aman setiap individu masyarakat tanpa melihat apa jabatannya.

Wallahu a’lam bi as shawab

© ALIANSI PENGUSAHA MUSLIM INDONESIA

Editor's Pick

    Leave A Comment

    Related Posts