
Ulasan Utama Assalim.id | Edisi 72
Oleh: Agan Salim
Assalim.id – Lelah dan jengah, itulah sikap yang pas dilekatkan dengan paradoksnya sistem tata kelola ekonomi dan politik yang terus dipertontonkan oleh sistem global kapitalisme sekuler abad ini, tak terkecuali di negeri ini.
Lihat saja bagaimana realitas jurang ketimpangan antara yang kaya dan miskinn semakin melebar bahkan kala pandemi. Data lembaga keuangan Credit Suisse, bertajuk Global Wealth Databook 2021, yang terbit pada pekan lalu menyebut jumlah orang kaya di Indonesia melonjak 61,69% pada 2020 dibandingkan tahun sebelumnya.
Setali tiga uang dengan realitas ekonomi, diranah politikpun demikian paradoks, di saat kondisi ekonomi rakyat yang banyak terdampak pandemi dalam waktu yang panjang dan perlu untuk dipulihkan untuk meminimalisir dampak yang lebih parah.
Para politisi malah sibuk dengan isu suksesi 2024 dan skenario masa jabatan presiden tiga periode yang akan dilakukan lewat amendemen Undang-Undang Dasar 1945.
Hal ini menurut pengamat politik Hendri Satrio, “Semua ini hanya keinginan sekelompok orang yang sedang menikmati dan ingin memperpanjang kenikmatan ini dengan menjadi pengkhianat reformasi,” (katadata.co.id, 23/6/21).
Kritikan keras juga disampaikan oleh sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti meminta kepada seluruh politikus jangan sampai menjadi biang masalah (trouble maker) dan predator bagi di tengah kesulitan rakyat Indonesia. (CNNIndonesia.com, 23/8/21).
Inilah realitas bagaimana paradoksnya sistem kapitalisme sekuler dengan sistem ekonomi dan politik demokrasinya bekerja.
Parpol dan politisi yang seharusnya merupakan dua aktor dengan peran dan fungsi strategis yang merupakan aktor terdepan dalam berjuang untuk mewujudkan berbagai cita-cita politik keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan.
Bukan justru sebaliknya menjadi biang masalah dan predator tergerusnya keadilan dan menjauhnya kesejahteraan ke mayoritas rakyat.
Kalau kita telaah lebih dalam, benang merah paradoks ini terjadi akibat dikesampingkannya aturan agama/pencipta dalam tata kelola kehidupan bernegara. Inilah akar masalah gagalnya sistem kapitalisme sekuler lewat demokrasinya dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan.
Seperti ungkapan Ibnu Taimiyyah bahwa aturan pencipta/agama dan kekuasaan adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Aturan agama/syariat tidak akan bisa tegak dan abadi tanpa ditunjang oleh kekuasaan, dan kekuasaan tidak bisa langgeng dan mencapai tujuan mulianya tanpa merujuk pada aturan agama/pencipta lewat penerapan syariatNYA. []