Sifat Serakah Kapitalisme, Dalam Kegaduhan Vaksin Covid-19
Oleh : Agan Salim
Belum selesai undang-undang kontroversi omnibuslaw, yang syarat dengan kepentingan oligarki dibungkus dengan semangat investasi, khususnya di cluster pengaturan kebijakan sumber daya alam yang jelas-jelas merugikan negeri.
Negeri ini kembali dibuat heboh dengan rencana vaksinasi. Bagaimana tidak, ketika belum ada satu pun vaksin Covid-19 yang dinyatakan berhasil oleh WHO (Organisasi Kesehatan Dunia), temasuk vaksin Sinovac asal China, pemerintah Indonesia justru telah memesan jutaan dosis vaksin itu.
Bahkan pemerintah sempat menyatakan, vaksin siap disuntikkan pada masyarakat pada November ini. Pernyataan yang kemudian diralat pemerintah setelah muncul kegaduhan. Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Airlangga Hartanto, menyatakan pelaksanaan vaksinasi belum dapat dipastikan, menunggu izin dari BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan).
Kebijakan jadwal vaksinasi yang diduga sangat terburu-buru ini menyisakan tanya jawab besar. Pakar biologi molekuler, Ahmad Rusdan Utomo, misalnya mempertanyakan kriteria emergency use authorization (EUA) sebagai landasan pemberian vaksin Covid-19 untuk masyarakat.
“Namanya EUA itu ada kegentingan. Nah, kegentingannya itu apa ?” Apa bukti dari vaksin ini hingga bisa mencapai target penurunan 10 kali lipat dari paparan terhadap nakes? Memang itu hak dari pemerintah. Tetapi karena sekarang ini kita punya konsep yang namanya target yang smart, spesifik, measureable. papar bung Ahmad Rusdan. (bbc.com 22/10/2020)
Pada tingkat teknis operasionalnya, Sinovac melakukan uji klinis vaksin Covid-19 tahap ketiga melalui kerjasaa dengan BUMN Kesehatan yaitu Bio Farma. dengan menggunakan pendekatan Business to Business (B2B), bukan dengan Government to Government (G2G).
Pendekatan semacam ini di dunia kesehatan sebenarnya bukanlah hal baru di sistem kapitalisme. Sebab, sektor jasa di bidang kesehatan termasuk dalam cakupan WTO (World Trade Organization). Di antara salah satu tanggung jawab WTO adalah realisasi GATS (General Agreement on Trade in Service) di mana sektor kesehatan boleh diperdagangkan layaknya bisnis.
Jadi, tidaklah mengherankan di negeri ini dan dunia saat ini, terjadi “perlombaan” penemuan dan penjualan vaksin covid-19 secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Dan inilah sejatinya karakter fasad kapitalisme dalam kerjasama apapun yang selalu berujung pada syahwat perekonomian dan keuntungan.
Vaksin memang obat yang dibutuhkan di masa pandemi seperti ini. Hanya saja, vaksin di pusaran kapitalisme bukan sekadar berlomba menemukan obat paling ampuh, tapi dorongan untuk meraup untung sebanyak mungkin. Pada akhirnya, pembuatan vaksin tak lagi murni untuk penyelamatan jiwa manusia. Inilah watak rusak sistem kapitalisme yang diadobsi oleh dunia saat ini.
Hal ini tentu sangat berbeda 180 derajat dengan Islam beserta teknis sistem pengaturannya (syariah), dalam pandangan islam kesehatan merupakan salah satu jaminan yang diberikan negara sebagai pelayanan secara gratis dan tanpa diskriminatif.
Sehingga negara dengan industri kesehatan diberdayakan untuk sebagai sarana dan prasarana yang diperuntukan menunjang pelayanan kesehatan bagi rakyat. Baik dalam hal melakukan riset, produksi obat, dan alat kesehatan termasuk vaksin akan diberikan secara gratis sebagai wujud dari pelayanan. Tak mengherankan selama masa kegemilangan Islam, infrastruktur kesehatan di masa itu sangat menunjang pelayanan kesehatan bagi rakyat. []