Categories: Editorial

assalim

Share

Editorial Assalim.id
Oleh Pujo Nugroho

Assalim.id – Bak petir di siang hari, Kementrian Agama mengusulkan kenaikan baiya haji hampir dua kali lipat. Pemerintah mengusulkan kenaikan biaya ibadah haji tahun 2023 ini menjadi Rp69,1 juta per jemaah, atau berarti hampir dua kali lipat dari biaya tahun sebelumnya Rp39,8 juta. Usulan ini disampaikan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam rapat kerja dengan Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Kamis pekan lalu (19/1) di kompleks parlemen, Jakarta.

Yaqut mengasumsikan total Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang akan digelar sekitar Mei-Juni itu sebesar Rp98,8 juta atau naik sekitar Rp514.000 dari tahun sebelumnya. Angka tersebut terdiri dari komposisi Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BIPIH) yang dibebankan kepada jemaah sebesar Rp69 juta atau 70 persen. Kemudian, ada besaran subsidi dari nilai manfaat pengelolaan dana haji sebesar Rp29 juta atau 30 persen.

Dengan demikian, BIPIH yang harus dibayar oleh calon jemaah haji dibanding tahun lalu ada kenaikan sekitar Rp30 juta per orang menjadi Rp 69.193.733.

Hal tersebut banyak dikritik oleh masyarakat karena naik jauh dibandingkan 2022. Tahun lalu, jamaah haji hanya perlu membayar sekitar Rp39,8 juta. Perbedaan ini dikarenakan pada 2022 nilai manfaat yang dibayarkan dari dana haji yang dikelola BPKH porsinya 59,46 persen dan porsi yang dibayar jamaah hanya 40,54 persen.

Itu artinya pemerintah sedang mengubah besaran prosentase antara yang ditanggung calon jamaah haji dan besaran imbal hasil pengelolaan haji. Jika pada tahun 2022 komposisinya 45:55, maka tahun ini 70:30. Artinya 70 persen dibebankan pada jamaah.

Ancaman Dana Haji Habis
Rencana kenaikan biaya haji tahun 2023 yang melonjak sangat tinggi ini mengindikasikan dana haji yang dikelola pemerintah sedang tidak baik-baik saja. Terlebih pemerintah Arab Saudi kabarnya memberikan penurunan biaya pada beberapa item.

Bahkan beberapa pihak mengkhawatirkan dana haji bisa habis sebelum pemerintah bisa memberangkatkan semua antrian jemaah haji. Termasuk Kepala BPKH sendiri, yakni Fadlul Imansyah.

“Kalau itu kita distribusikan untuk orang yang berangkat tiap tahun, itu akan habis, sampai sebelum 2027 sudah habis. Artinya akan menggerus pokok dana kelolaan semua setoran awal calon jemaah haji yang belum berangkat,” kata Fadlul dalam konferensi pers di Jakarta Pusat, Selasa (24/1/2023).

Ketua Komnas Haji dan Umrah Mustolih Siradj juga berpendapat serupa.

“Ini tidak boleh terjadi, apalagi ketua BPKH mengakui kalau skema subsidi ini diteruskan seperti yang sudah-sudah seperti pola 2022 dan sebelum-sebelumnya maka nilai manfaat total yang sudah dikelola oleh BPKH bisa habis. Sehingga ini menunjukkan ternyata pengelolaan keuangan haji ada subsidi dan mirip seperti sistem ponzi,” ucapnya (beritasatu.com, 25/2/2023).

Karena itu masalah ini bisa menjadi bom waktu di masa akan datang. Padahal saat ini ada sebanyak kurang lebih 5 juta orang jemaah haji tunggu (waiting list) selaku pemilik dana (shohibul maal) dan memiliki hak untuk diberangkatkan dan hak mendapat imbal hasil dari pengelolaan dana haji.

Sebagaimana diketahui biaya perjalanan haji bukanlah murni dari uang setoran calon jamaah haji semata. Berdasarkan UU Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Dana Haji, Dana Haji adalah dana setoran biaya penyelenggaraan ibadah haji, dana efisiensi penyelenggaraan haji, dana abadi umat, serta nilai manfaat yang dikuasai oleh negara dalam rangka penyelenggaraan ibadah haji dan pelaksanaan program kegiatan untuk kemaslahatan umat Islam.

Adapun pengelola dana haji adalah BPKH yang dibentuk pemerintah pada 2017 lalu. BPKH diberikan kewenangan memanfaatkan dana haji untuk penyelenggaraan ibadah haji, operasional BPKH, penempatan dan/atau investasi keuangan haji, pengembalian setoran BPIH dan/atau BPIH Khusus Jemaah Haji yang membatalkan keberangkatan dengan alasan yang sah, dan beberapa kewenangan lainnya.

Menurut Kepala BPKH penempatan investasi yang dikelola BPKH pada surat berharga syariah negara sekitar hampir 70 persen dan sekitar 30 persen ditempatkan pada deposito di perbankan syariah.

Kinerja BPKH dalam menginvestasikan dana haji tidak luput dari kritik. Bahkan dari Kemenag sendiri. Seperti yang terjadi pada tahun 2021. Menteri Agama Yaqut Cholil mengkritik minimnya tingkat imbal hasil (return) investasi dari pengelolaan dana haji di bawah Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Bahkan, besaran imbal hasilnya dianggap sama dengan pengelolaan dana haji ketika dikelola oleh Kementerian Agama pada beberapa tahun lalu.

Kritikan ini disampaikan Yaqut saat acara Webinar Pengelolaan Dana Haji 2021 yang diselenggarakan oleh Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) secara virtual pada Senin (19/7/2021) melalui Sekretaris Jenderal Kementerian Agama Nizar Ali yang hadir membacakan pidatonya.

Menurut catatan Menag, rata-rata imbal hasil investasi dari pengelolaan dana haji oleh BPKH sebesar 5,4 persen per tahun. Besaran ini dianggap tak jauh berbeda dengan torehan Kementerian Agama. Padahal, pengelolaan dana haji oleh BPKH sudah berjalan selama beberapa tahun. Selain itu, sebelumnya BPKH menjanjikan tingkat imbal hasil bisa lebih tinggi saat badan ini baru mau dibuat.

Karena itu BPKH selalu dalam tuntutan mampu memberikan imbal hasil yang ideal bahkan lebih besar agar biaya haji yang ditanggung jemaah tidak melonjak.

Demikianlah pengelolaan haji di Indonesia. Dengan dana yang tidak sampai separuh dari total biaya perjalanan haji, yakni Rp 25 juta jemaah telah mendapatkan nomor antrean. Sisanya diharapkan bisa ditutupi dari imbal hasil dana yang disimpan. Dengan dana yang relatif kecil tersebut dampak lainnya antrian haji di Indonesia sangat lama yaitu rata-rata 22 tahun.

Lalu untuk apa dana itu terus ditampung pemerintah meski antrian sudah sedemikian panjang? Pemerintah sendiri boleh dibilang mendapatkan keuntungan secara tidak langsung dari dana haji yang dikelola BPKH. Dana haji sebagian diinvestasikan dalam bentuk sukuk alias surat utang negara yang diterbitkan dengan prinsip syariah. Surat utang negara ini sendiri sangat membantu pembiayaan di APBN di saat negara defisit anggaran.

Dengan tuntutan kepada BPKH agar terus bisa memberikan imbal hasil investasi yang produktif dan pasti menguntungkan dan tetap memenuhi prinsip syariah tentu menjadi pertanyaan. Investasi apa yang terus memberikan keuntungan tanpa risiko kerugian? Bahkan jika investasi pasti menjamin keuntungan malah tidak sesuai dengan syariah itu sendiri.

Inilah sengkarut pengelolaan dana haji di Indonesia.

Wallahua’lam.

Editor's Pick

    Leave A Comment

    Related Posts