Semakin Ganas & Sempurnanya Kebijakan Pro-Oligarki Negeri Ini

Last Updated: 17 Maret 2021By

Oleh : Agan Salim

Menarik apa yang disampaikan oleh Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang menilai Indonesia saat ini dalam kondisi bahaya. Sehingga perlu menyampaikan peringatan dini lewat Presidium KAMI Din Syamsuddin Selasa (12/1/2021). “Early Warning ini disampaikan karena kemerosotan dan kekacauan telah terjadi hampir di semua bidang kehidupan rakyat, dan kondisinya semakin luas dan dalam.

Kekhawatiran ini bukan hanya hisapan jempol belaka, banyak indikasi yang menjurus kearah tersebut. Kita bisa lihat kacaunya kebijakan yang lebih pro-oligarki (kapitalisme) terjadi di bidang ideologi, politik, hukum, ekonomi, sosial dan budaya, serta lingkungan hidup yang saat ini mengemuka dalam bentuk kebijakan dan peraturan perundang-undangan.

Belum reda kacau dan panasnya suhu politik dan hukum saling sandera, saling lapor yang terus mendominasi jagad media. Di ranah Ideologi yang sangat fundamental bagi sebuah bangsa, dugaan Islamphobia kian terasa, ini terlihat saat pengajuan draf “Visi Pendidikan 2035” yang disusun KEMENDIKBUD yang dalam “Peta Jalan Pendidikan” yang dibuat tidak mencantumkan/menghilangkan frasa agama yang akhirnya menimbulkan kegaduhan dan kritik, bahkan kritik keras datang dari Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Haedar Nashir.

Kebijakan pemicu kekacauan dari aspek ekonomi tidak kalah serius, ini terlihat dari rencana pemerintah yang akan mengimpor beras sebanyak 1 juta sampai 1,5 juta ton dalam waktu dekat, hal ini dilakukan demi menjaga ketersediaan dan harga beras di dalam negeri. Ungkap Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Kamis (4/03/2021)

Rencana tersebut langsung menuai kritik dari berbagai pihak. Salah satunya dari Ketua Dewan Pimpinan Nasional Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Fadli Zon. Ia meminta pemerintah membatalkan rencana impor beras 1 juta ton. Masalahnya, rencana itu berpotensi menekan harga gabah dan merugikan petani lokal.

Penolakan juga datang dari Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia(PERHEPI), Hermanto Siregar yang meminta pemerintah untuk membatalkan rencana impor beras sebanyak 1 juta ton . Apalagi tahun ini sudah masuk panen raya yang akan mencapai puncaknya pada bulan April, sehingga waktunyanya dirasa tidak tepat. Selain itu, kondisi panen padi juga terlihat baik.

Rencana impor beras merupakan kebijakan nirsimpati karena diumumkan jelang panen raya. Meski belum ada kepastian terkait rencana tersebut, tetapi sudah berdampak langsung pada turunnya harga gabah petani secara signifikan. Hal ini membuat petani lokal semakin rugi. Pasalnya, sebelum ada rencana impor beras saja, harga gabah di tingkat petani hampir selalu turun di bawah harga pembelian pemerintah (HPP).

Kebijakan di bidang lingkunganpun tak kalah kacau, Pemerintah kini telah menghapus limbah batu bara FABA (fly ash dan bottom ash) dari kategori B3. Aturan ini tertuang dalam PP Nomor 22 Tahun 2021 sebagai turunan Undang-undang Cipta Kerja atau Omnibuslaw. FABA merupakan limbah padat hasil pembakaran batu bara di pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU, boiler, dan tungku industri untuk bahan baku konstruksi.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai langkah pemerintah menghapus limbah batu bara dari kategori B3 atau limbah berbahaya hanya memuluskan kepentingan investor. Kebijakan ini dianggap bisa menekan ongkos produksi perusahaan, tapi tidak berpihak pada lingkungan.

“Siapa yang sorak-sorai? Yang sorak-sorai adalah investor. Karena target produksi (batu bara) yang semakin meningkat, limbah ini akhirnya dikeluarkan (dari B3),” ujar Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Tengah Dimas Novian Hartono dalam diskusi virtual pada Ahad, 14 Maret 2021.(cnn 15/03/2021)

Sesungguhnya kalaulah kita jeli melihat realitas diatas, maka ada benang merah penyebab yang teramat jelas akan kebijakan kacau balau tersebut. Hal tersebut tak lain adalah misi neoliberalisasi kapitalisme yang sedang dijalankan dinegeri ini. Neoliberalisme kapitalisme dalam bentuk korporasi-korporasi baik di tataran global maupun nasional saat ini adalah invisible hand yang menggerakkan dan mengatur lewat kebijakan perekonomian dan politik di dunia termasuk dinegeri ini.

Melihat berbagai mudharat yang ditimbulkan pada tatanan kebijakan yang jauh dari rasa berkeadilan dan memunculkan kerusakan disemua sendi kehidupan, maka disinilah sejatinya urgensi pentingnya memperjuangkan hadirnya penerapan aturan Islam sebagai sebuah agama yang paripurna dalam konteks ajarannya sebagai solusi kebuntuan akan problem mendasar akan ketidakadilan, penindasan dan kacau balau kebijakan. []

© ALIANSI PENGUSAHA MUSLIM INDONESIA