Selamatkan Indonesia Dengan Tata Kelola Ekonomi Islam
Oleh : Abid Karbela.
Allah ‘Azza wa Jalla melarang memberikan jalan apapun bagi orang kafir untuk menguasai orang-orang beriman dalam firman-Nya:
“Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 141)
Pertarungan ideologi dan ekonomi yang cukup sengit antara kapitalisme dan komunisme dengan menghadirkan dua negara adidaya besar Amerika Serikat dan Cina, membuat keterjajahan di berbagai negara tidak bisa dilepaskan, dari pertarungan sistem ekonomi dunia saat ini. Posisi Amerika Serikat disisi kapitalis liberal, sedang Cina di sisi kapitalis sosialis.
Alhasil dua model sistem ekonomi dunia tersebut ternyata membuat negeri kita yang mayoritas muslim dijadikan alat tarik menarik kepentingan ekonomi, militer dan politik mereka.
Jika kita ajukan pertanyaan apakah ada tanda tanda ekonomi Indonesia akan menuju kebangkitan ataukah lebih pada kebangkrutan dengan terjadinya Economic War dalam naungan kapitalisme ?
Situasi ekonomi yang tertekan berat setelah resesi diprediksi mengarah pada gelombang kebangkrutan di dalam negeri. Indonesia resmi masuk zona resesi di kuartal III/2020 dengan pertumbuhan ekonomi -3,49%. Situasi ini akan mengarah pada kebangkrutan massal perusahaan dalam negeri.
Berbicara tentang resesi ekonomi, maka pastinya berbicara tentang Gross Domestic Product, peran GDP begitu sentral dan penting bagi perekonomian di negara-negara di dunia saat ini. Meningkatnya GDP berarti telah terjadi peningkatan volume produksi barang dan jasa. Karenanya kemudian disebut resesi ketika terjadi kontraksi ekonomi yang signifikan secara luas yang
dapat dilihat pada angka GDP dan tingkat pekerjaan.
Perihal tingkat pekerjaan dan PHK di berbagai sektor pun diulas oleh Ekonom Indef, Bhima Yudhistira (sindonews 5/11/2020), bahwa PHK masih akan terjadi dan menyumbang angka pengangguran serta kenaikan jumlah orang miskin baru.
Ekonom pun juga mengatakan sektor tradable (produksi barang) lesu dan sumbangan terhadap GDP cenderung menurun. Industri manufaktur masih berada di bawah 20% dari GDP, dan sektor pertanian mengalami penurunan dari 15,4% pada kuartal II/2020 menjadi 14,6% di kuartal III/2020.
Namun sayangnya, sektor tradable yang lesu terhadap GDP yang tercipta tidak memiliki kualitas yang baik. Upaya mendorong tumbuhnya GDP yang tinggi tidak diikuti oleh keadilan dan kesejahteraan yang dapat dirasakan oleh semua pihak.
Persoalan tingkat pertumbuhan ekonomi ( GDP) ini memiliki beberapa komponen yang turut berkontraksi atas terjadinya resesi. Belanja pemerintah misalnya, sebelum membedah bagaimana belanja pemerintah di masa pandemi, harus terlebih dahulu melihat bagaimana struktur pendapatan negara.
Perlu diketahui bahwa, pendapatan Indonesia mayoritasnya diperoleh dari pajak. Dikisaran 80% dari total pendapatan negara. Adapun non pajak hanya berada di kisaran 4 – 7% 2015 – 2020 ( Litbang Assalim)
Seperti halnya konsumsi masyarakat dan belanja swasta
yang secara rasional akan berkontraksi di masa pandemi, pendapatan negara juga secara rasional akan berkontraksi. Terlebih dengan model struktur pendapatan APBN Kapitalisme yang sangat bergantung kepada pajak.
Ketika pandemi memukul dengan keras masyarakat dan perusahaan, maka tentunya kemampuan mereka untuk membayar pajak juga akan menyusut bahkan hilang. Jangankan untuk bisa bayar pajak, untuk belanja kebutuhan sehari hari mereka harus melakukan sejumlah penghematan dan substitusi produk. Oleh karena itu, adalah hal yang rasional ketika pendapatan negara juga turut terkontraksi.
Posisi negara sebagai pelindung bagi semua pihak juga tidak bisa banyak diharapkan. Bahkan negara justru dapat dikatakan semakin memperburuk kondisi yang ada.
Sebagai contoh dalam hal ini adalah instrumen berupa penerbitan surat utang (obligasi). Di tahun 2020 ini saja Pemerintah Indonesia diperkirakan menambah utang mencapai Rp1.220 triliun lebih. Berlanjut hingga tahun 2021 yang juga direncanakan mencapai Rp1.142 triliun (RAPBN 2021). Dari awal tahun hingga 24 September 2020 telah diterbitkan surat utang mencapai Rp 979 triliun (https://www.djppr.kemenkeu.go.id/).
Padahal, dalam rentang waktu 2015 hingga 2019, pemerintah telah menambah utang tidak
kurang dari Rp 2.171 triliun. Adapun total outstanding utang pemerintah hingga juni 2020 telah mencapai Rp 5.264 triliun ( Litbang Assalim )
Jika kita lihat dari sisi beban fiskal, rasio antara debt terhadap pendapatan dalam negeri. Indonesia dalam kondisi bangkrut. Akan tetapi sebaliknya apakah Indonesia bisa berdikari ?, tentu saja bisa. Namun dengan tata kelola Ekonomi Islam.
Indonesia yang dikaruniai kekayaan alam yang melimpah ruah itu harus dikelola dengan Ekonomi Islam, Islam membagi dalam 3 kepemilikan yaitu kepemilikan individu, umum dan negara. Dan fungsi negara dalam hal ini berhak mengelola kekayaan alam yang ada untuk diberikan pada rakyat dan ditujukan untuk mensirkulasikan kekayaan kepada semua anggota masyarakat dan mencegah terjadinya sirkulasi kekayaan hanya pada segelintir orang.
Serta Sistem keuangan syariah dengan instrumen anti riba dan larangan transaksi spekulatif diyakini mampu memberikan jaminan keadilan tersebut. Harta kekayaan hanya akan mengalir ke sektor riil yang kemudian akan mendorong sektor – sektor bisnis menyerap tenaga kerja sebanyak mungkin. Allohua’lam bissowab. []