Saat Wabah Rakyat Butuh “Dilindungi” Bukan Drama “Kriminalisasi”

Last Updated: 23 April 2020By

Oleh: Agan Salim.

Aliansi Pengusaha Muslim – Sungguh miris rakyat di negeri ini, di saat sedang berjibaku menghadapi wabah corona, jagat media malah dihebohkan ulah kebijakan penguasa di bidang hukum yang hanya membuat gaduh tak berkesudahan yang tak jarang menjungkirbalikkan akal sehat banyak orang. 

Lihat saja bagaimana dikriminalisasinya aktivis Islam yang kritis baru-baru ini terkait wabah corona, belum lagi kebijakan dibebaskannnya ribuan napi yang bikin resah, ditambah lagi dengan wacana pembebasan napi korupsi yang jadi blunder pada akhirnya. 

Padahal, seharusnya fokus pemerintah di saat ini adalah bagaimana menjamin kebutuhan hidup rakyak di tengan ancaman PHK, wabah, dan kesulitan dalam bertahan hidup, khususnya bagi kaum miskin di negeri ini.

Seperti yang diungkap oleh Bhima Yudhistira Adhinegara, peneliti INDEF, bahwa dalam pandemi virus corona seperti sekarang, tidak hanya kelas ekonomi miskin saja yang keuangannya terdampak. Namun juga kelas menengah, dan kelas rentan miskin yang sedang menuju kelas ekonomi bawah (BBC, 04/04/20).

Dari data BPS jumlah penduduk miskin pada September 2019 mencapai 24,7 juta orang dan pastinya angka sudah membengkak saat ini. Di Jakarta contohnya, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi membuka link pelaporan data pekerja /buruh yang sudah di-PHK dan dirumahkan tanpa menerima upah (unpaid leave) karena wabah Covid-19 sebanyak 162 ribu (detik.com. 07/04/20). 

Menurut Organisasi Buruh Dunia memperkirakan pandemi global ini mengakibatkan hilangnya 5 sampai 25 juta lapangan pekerjaan.

Kalau kita melihat stimulus yang diberikan pemerintah, sangat terasa kurang berpihak terhadap kebutuhan rakyat miskin. Karena alokasi buat ketahanan sosial hanya 110 triliun dari Rp. 405,1 triliun yang dianggarkan. 

Jangankan kita bandingkan dengan Australia dan Jepang, dengan Malaysia saja yang jumlah seluruh rakyatnya 32,3 juta  (Wikipedia.com, 06/04/20) stimulus ekonominya hampir Rp 1.000 triliun, bahkan Malaysia lebih sensitif menangani isu kelas menengah ini dengan menggratiskan internet yang setara Rp2,2 triliun. 

Realitas abainya penguasa atas penderitaan rakyat  bukan tanpa sebab, karena mayoritas negara yang mengadopsi sistem kapitalisme maka dalam kebijakannya lebih banyak  dikendalikan oleh pemilik modal. 

Apalagi dinegeri ini, kapitalisme telah berubah wujud menjadi oligarki, ini bisa dilihat dari peringkat Indonesia yang menempati urutan ketujuh dalam Indeks Kapitalisme Kroni 2016 ( index of crony capitalism) versi The Economist (cnnindonesia.com, 07/05/2016).

Di sinilah pentingnya sebuah tata kelola yang shohih dalam pengelolaan negara, di mana sistem dan  peminpinya lebih mementingkan aspek kemanusiaan dan kebutuhan dasar rakyatnya. Bukan malah penguasa, aparat hukum dan rakyat malah disibukkan dengan “drama kriminalisasi” di saat rakyat butuh perlindungan, bantuan, dan pelayanan.