Riba, Dibalik Bangkrutanya Bank Svb Di As
Ulasan Utama Assalim.id
Oleh Pujo Nugroho
Assalim.id – Dunia ekonomi dikejutkan dengan bangkrutnya Silicon Valley Bank Financial Group atau SVB di Amerika Serikat (AS). Proses kebangkrutan SVB sendiri terhitung sangat cepat yaitu hanya 48 jam setelah mengalami krisis modal. SVB sendiri adalah salah satu bank terbesar di AS. SVB berada di peringkat 16, pada tahun 2022 dengan kepemilikan asetnya sekitar US$209 miliar. Kebangkrutannya tentu berdampak signifikan dan sistemik.
Sinyal runtuhnya SVB mulai terlihat pada Rabu (8/3), ketika SVB mengumumkan mereka telah menjual banyak sekuritas yang merugi. Setidaknya ada US2,5 miliar atau senilai Rp38 triliun saham baru untuk menopang neraca keuangan.
Hal ini memicu kepanikan di antara pemodal perusahaan ventura utama. Dilaporkan perusahaan pemodal ke bank tersebut melakukan penarikan dana dari SVB.
Esok harinya, pada Kamis (9/3) nilai saham perusahaan pun jatuh, menyeret bank-bank lain untuk ikut jatuh. Lalu pada Jumat pagi, saham SVB dihentikan dan perusahaan ini meninggalkan upaya untuk meningkatkan modal atau mencari pembeli.
Beberapa saham bank lain juga dihentikan sementara pada Jumat lalu, imbas penghentian jualan dari SVB seperti pada First Republic, PacWest Bancorp, dan Signature Bank.
Kondisi SVB memburuk dengan cepat sehingga tidak dapat bertahan hanya dalam waktu lima jam. Hal itu dikarenakan para deposan menarik uang dengan sangat cepat sehingga SVB bangkrut dan bank run tidak dapat dihindari.
Bank run adalah suatu peristiwa di mana banyak nasabah secara bersamaan menarik dana secara besar-besaran dan sesegera mungkin pada suatu bank.
Disebabkan Suku Bunga The Fed
Masalah di SVB sebagian berasal dari kenaikan suku bunga agresif Federal Reserve (The Fed) selama setahun terakhir. Ketika suku bunga mendekati nol, bank memuat obligasi atau surat utang jangka panjang yang memiliki risiko rendah.
Sebagaimana diketahui The Fed sempat menetapkan suku bunga mendekati nol pada saat pandemi. Seperti yang pernah ditetapkan pada pada 29 April 2020.
Namun sebagaimana diketahui seiring pulihnya kegiatan ekonomi karena pandemi Covid-19 yang mereda permintaan barang, minyak, dan gas semakin meningkat. Menyebabkan tingginya permintaan barang-barang tersebut. Hal ini memicu kenaikan harga dan inflasipun terjadi.
Diperparah dengan krisis perang Rusia dan Ukraina yang menyebabkan harga minyak, gas, dan pangan melonjak naik. Walhasil AS juga negara-negara maju mengalami inflasi yang sangat tinggi. Di AS inflasi yang terjadi merupakan tertinggi sejak 4 dekade belakang.
Hal inilah yang memicu The Fed terus menaikkan suku bunga agar inflasi dapat melandai. Seperti diketahui, The Fed sangat agresif dalam menaikkan suku bunga sejak tahun lalu. Dalam satu tahun, The Fed menaikkan Federal Funds Rate (FFR) sebesar 450 basis poin menjadi 4,5% – 4,75%, tertinggi sejak 2007 dan menjadi yang teragresif dalam empat dekade terakhir.
Suku bunga tinggi memukul banyak perusahaan teknologi (startup) dengan sangat keras. Beberapa waktu belakang kita mendengar banyak perusahaan startup yang berjatuhan.
Perusahaan startup mengurangi nilai saham dan membuatnya sulit untuk mengumpulkan dana. Hal itu kemudian mendorong banyak perusahaan startup menarik deposito mereka di SVB. Penarikan dana yang ditempatkan di bank menjadi jalan untuk menstabilkan kondisi finansial perusahaan-perusahaan startup. Namun di sisi SVB menjadi bencana. SVB kesulitan likuiditas.
Sebagaimana diketahui SVB merupakan bank dengan spesialisasi perusahaan rintisan atau startup teknologi. Bank ini menyasar tiga segmen, yakni startup, modal ventura yang mendukung startup, dan perusahaan ekuitas yang mendukung startup.
Terdapat startup-startup ternama yang menyimpankan danannya ke SVB. Seperti Shopify, Payoneer Global Inc., Pinterest, Roku, Coinbase, Etsy, dan lainnya.
Kebangkrutan SVB terjadi sangat cepat. Bank besar ini sebelumnya masih tampak stabil pada awal tahun. Akan tetapi, secara tiba-tiba SVB mengumumkan rencana penggalangan dana senilai US$1,75 miliar atau sekitar Rp27,13 triliun untuk memperkuat modal.
Aksi tersebut sontak membuat investor khawatir dan harga saham secara drastis anjlok 60 persen. Saham-saham setara kembali turun pada Jumat sebelum pembukaan perdagangan di bursa Nasdaq.
Terlihat jelas sistem perbankan yang merupakan praktik ribawi inilah yang menjadi penyebab bangkrutnya SVB. Bank sendiri dalam sistem kapitalisme merupakan alat penyedot uang melalui instrument suku bunga yang ditetapkan oleh bank sentral masing-masing negara.
Berdasarkan besaran suku bunga uang terkumpul, mengalir, atau bahkan pergi. Dengan suku bunga pula inflasi dihadapi. Dengan suku bunga pula perusahaan-perusahaan kolaps karena besarnya beban utang menjadi menggelembung. Seperti yang terjadi pada perusahaan-perusahaan startup penyuplai dana SVB di atas.
Padahal dalam Islam suku bunga sendiri merupakan praktik riba yang merupakan dosa besar. Begitupun dampaknya secara ekonomi juga sangat besar. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits beliau menyebut salah satu dosa yang membinasakan.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda, “Jauhilah tujuh (dosa) yang membinasakan!” Mereka (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasûlullâh! Apakah itu?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Syirik kepada Allâh, sihir, membunuh jiwa yang Allâh haramkan kecuali dengan haq, memakan riba, memakan harta anak yatim, berpaling dari perang yang berkecamuk, menuduh zina terhadap wanita-wanita merdeka yang menjaga kehormatan, yang beriman, dan yang bersih dari zina”. [HR. al-Bukhâri dan Muslim).
Inilah hikmah dilarangnya praktik riba di dalam Islam. Umat manusia terhindar dari kerusakan. Perputaran uang di dalam Islam dalam sektor ekonomi hanya pada ruang lingkup ekonomi riil semata. Selain terhindar dari kerusakan, penghapusan ekonomi non-riil menyebabkan perputaran uang lebih luas di tengah masyarakat.
“…agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu…” (QS Al Hasyar:7). []