Redenominasi, Cara Kapitalis Tutupi Jahatnya Inflasi
Oleh : Agan Salim
Solusi redenominasi atau penyederhanaan nilai mata uang kembali diwacanakan. Melalui redenominasi ini, nantinya tiga angka nol di belakang rupiah akan dihapus, seperti contoh Rp 1.000 akan menjadi Rp 1. Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter menyatakan pihaknya sudah lama menyiapkan rencana penyederhanaan digit mata uang seperti tersebut. Meski begitu hingga saat ini implementasinya masih mempertimbangkan beberapa hal.
Penetapan rencana redenominasi mata uang ini bila terlaksana, tentu akan mempengaruhi berbagai dimensi, baik sisi ekonomi, politik maupun kemasyarakatan, karena yang akan di redenominasi adalah alat tukar yang syah yang digunakan saat ini atau yang kita sebut dengan Uang.
Dalam sistem perekonomian uang memiliki peranan yang sangat penting, uang tidak lain adalah segala sesuatu yang dapat dipakai/ diterima untuk melakukan pembayaran baik barang, jasa, maupun utang. Selain itu uang juga mempunyai fungsi sebagai satuan pengukur nilai, sebagai alat tukar menukar dan alat penyimpan kekayaan. Tapi sadarkan kita, karena praktek penggunaan uang dalam bentuk uang kertas lah menjadi salah satu penyebab utaman terjadinya inflasi bahkan krisis di suatu negeri.
Dalam sejarahnya mata uang yang tadinya berbasis emas dan perak yang berfungsi sebagai alat tukar (medium of exchange), alat satuan hitung (unit of account), dan sebagai alat penyimpan nilai (store of value) kemudian digantikan menjadi uang fiat, yaitu jenis uang kertas yang dikeluarkan oleh pemerintah dan diatur melalui undang-undang negara tersebut. Uang fiat umumnya ada dua jenis, yaitu kertas dan logam. Keduanya tidak punya nilai intrinsik, yakni nilai asli pada fisiknya. Misal uang kertas senilai Rp 100 ribu, nilai kertasnya sendiri tidak sebesar itu.
Uang fiat berawal di Amerika Serikat, tahun 1913 The US Federal Reserve memastikan bahwa mata uang yang dicetak di backup oleh emas, dan tahun 1944 hingga 1971 diberlakukan sistem Bretton Woods, bank hanya dapat mencetak mata uang sebanyak cadangan emas tertentu. Namun pada tahun 1971, Dolar AS telah dihapus dari standar emas. Sejak saat itulah, mata uang tidak di backup oleh apapun, dan free floating sesuai mekanisme pasar sehingga bank dapat mencetak mata uang sebanyak yang mereka inginkan. Begitupun dengan mata uang rupiah saat ini.
Uang fiat (fiat money) yang tidak punya nilai intrinsik inilah penyebab terjadinya inflasi, nilai tukarnya sering mengalami penurunan dari tahun ke tahun, sehingga masyarakat harus membayar lebih banyak di tahun depan untuk barang yang sama. Ini sesuatu yang tidak bisa dihindari karena mata uang dalam bentuk kertas dan koin hanya membentuk 3% uang di dunia dan 97% lainnya adalah hutang.
Ilustrasi paling gampang untuk menggambarkan hal tersebut saat kita menyetorkan uang Rp 1 miliar ke rekening bank. Maka sistem di bank sekarang memiliki Rp 1 miliar kita. Kemudian bank kemudian meminjamkan Rp 900 juta uang kita kepada nasabah lainnya. Sedangkan kita masih memiliki Rp 1 miliar di rekening, sehingga sistem memiliki Rp 1,9 miliar. Nasabah tersebut kemudian membelanjakan Rp 900 juta yang mereka pinjam untuk beli rumah dan lalu penjual rumah menyetorkan Rp 900 juta itu ke bank, dan bank tersebut bisa meminjamkan 90% (Rp 810 juta), dari deposit Rp 900 juta yang baru itu. Akhirnya dana yang kita setorkan Rp. 1 miliar tadi telah menjadi Rp. 2,71 miliar dalam waktu yang singkat. (Rp 1 M di rekening kita + Rp 900 juta rek penjual rumah + Rp 810 juta rek kreditur bank). Siklus itulah yang dikenal sebagai “money multiplier“, dan praktek ini akan terus berlanjut.
Dari fakta saat ini dan ilustrasi sederhana bagaimana sistem uang fiat dengan pola money multiplier yang pada prakteknya sarat dengan praktek ribawi inilah sejatinya penyebab terus tingginya anka inflasi yang dari hari ke hari semakin memberatkan perekonomian rakyat. Sehingga Redenominasi bukanlah solusi akan tingginya angka inflasi, tapi lebih kepada menutupi bobroknya sistem moneter kapitalisme yang diterapkan saat ini dengan cara melakukan redenominasi mata uang yang sudah semakin tak bernilai.
Praktek riba dan ‘ghoror’ seperti ini jelas tidak akan kita temukan dalam sistem ekonomi Islam, karena dalam Islam uang hanya berfungsi sebagai “medium of exchange”, bukan suatu komoditas yang bisa dijualbelikan dengan kelebihan baik secara on the spot maupun bukan. Disinilah perbedaan secara diametral antara sistem Islam dan kapitalisme sosialisme, dalam konsep keuangan yang diajarkan oleh kaum Kapitalis dan Sosialis, uang menjadi obyek perdagangan. Perdagangan uang merupakan instrumen penting dalam sistem perekonomian.
Sedangkan dalam ekonomi Islam dijelaskan bahwa konsep dasar ekonominya sangat memperhatikan aspek sosial dan keadilan bagi rakyatnya, sehingga cara bathil sangat dilarang baik itu yang dilakukan oleh individu, korporasi apalagi negara. Dalam Al-Qur-an dengan tegas larangan tersebut “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.
(QS: Al-Baqarah Ayat: 188)” []