Rakyat Tercekik Harga, Bandul Kekuasaan Rebutan Kuasa
Agan Salim
Ditengah hirup pikuk tokoh politik bermanuver dan bersafari demi kekuasaan dengan berbagai narasi, disaat yang sama rakyat harus menelan pil pahit kenaikan harga kebutuhan pokok terus naik dan naik.
Data per 1 April 2022 misalnya, menurut Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) dan Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan, kondisi rata-rata harga nasional kedelai impor lebih tinggi 104 persen dari harga acuan yang telah ditetapkan pemerintah atau Rp 13.900 per kg. Begitu pula dengan gula pasir yang lebih tinggi 18 persen atau sebesar Rp 14.700 per kg, beras medium 25 persen dari HET atau sebesar Rp 11.800 per kg, daging ayam ras 7 persen atau Rp 37.600 per kg, dan minyak goreng curah dengan harga yang fantastis Rp 20.000 per liter atau lebih tinggi 43 persen dengan HET Rp 14.000 per liter.
Problematika tingginya harga diatas sepertinya tidak diikuti dengan eksekusi kebijakan pemerintah yang cepat dan tepat untuk mengurai permasalah yang sangat memberatkan mayoritas rakyat terutama rakyat kecil. Bahkan kebijakan yang diambil justru hanya berujung jalan ditempat bahkan menjadi ajang politik ekonomi transaksional para elit.
Kasat mata terlihat bagaimana aturan pengendalian harga seperti Permendag No 7 Tahun 2020 tentang Harga Acuan, Permendag No 11 Tahun 2022 Tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Curah dan Permenperin No 8 Tahun 2022 Tentang Penyediaan Minyak Goreng Curah Untuk Kebutuhan Masyarakat, Usaha Mikro, Dan Usaha Kecil Dalam Kerangka Pembiayaan Oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDKPS), yang hanya berakhir di atas kertas yang faktanya tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Bahkan kebijakan politik pun diambil untuk mengatasi permasalahan tersebut dalam bentuk perombakan kabinet yang dilakukan oleh Presiden Jokowi pada Rabu, 15 Juni 2022.
Namun sepertinya rakyat semakin pesimis dengan kebijakan tersebut. Sikap pesimis ini bukan tanpa dasar kalau mendengar ucapan Menteri Perdagangan (Mendag) yang baru Zulkifli Hasan yang membantah bahwa kenaikan harga minyak goreng atau migor disebabkan adanya ulah mafia (mafia minyak goreng). Pernyataan Zulkifli Hasan ini berbeda dengan Mendag pendahulunya, Muhammad Lutfi, yang sempat menyebutkan bahwa meroketnya harga minyak goreng salah satunya akibat permainan para mafia.
Sehingga sangat mudah menyimpulkan bahwa perombakan kabinet yang baru ini kental dengan politik transaksional antar elit dan partai politik. Bahkan perombakan kabinet ini tampak diarahkan hanya untuk mengamankan kepentingan segelintir elit-pebisnis.
Kalau dugaan ini terjadi, maka sampai kapanpun pemerintah tidak akan mampu menyelesaikan dan mengurai permasalahan dasar yang dirasakan rakyatnya, terutama untuk masyarakat menengah ke bawah. Bahkan target tahun 2024 program ‘zero’ kemiskinan ekstrim hanyalah isapan jempol belaka ditengah harga pangan yang terus dibiarkan naik dan mencekik.
Bahkan pemerataan kekuasaan dan ekonomi demi kesejahteraan rakyat justru berjalan ke arah yang sebaliknya, kekuasaan dan ekonomi semakin terkonsentrasi kepada para oligarki.
Inilah potret, hasil dan kode keras dari sebuah realitas penerapan sistem tata kelola kehidupan bernegara yang teramat rusak dimana saat mayoritas rakyat tercekik harga kebutuhan pokok, sementara bandul kekuasaan rebutan kuasa. []