Proyek Ikn, Bahayanya Ambisi Tanpa Hati

Last Updated: 26 Januari 2022By

Agan Salim

Semua bermula pada 26 Agustus 2019, saat Presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa ibu kota baru dipindahkan dari DKI Jakarta dan akan dibangun sebagai mega proyek di wilayah administratif Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) dan Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Luasnya mencapai 180.965 hektar.

Rencananya kawasan Ibu Kota Negara (IKN) ini dibagi tiga ring. Ring satu seluas 5.644 hektar yang disebut pemerintah sebagai Kawasan Inti Pusat Pemerintahan, ring dua seluas 42.000 hektar yang disebut pemerintah sebagai Kawasan Ibu Kota Negara (IKN), dan ring tiga seluas 133.321 hektar yang disebut pemerintah sebagai Kawasan Perluasan Ibu Kota Negara.

Entah kebetulan atau tidak, kawasan IKN hingga Kawasan Perluasan IKN bukanlah ruang kosong. Sebab lahan tersebut telah dipenuhi izin-izin dan konsesi seperti pertambangan, kehutanan, perkebunan, PLTU dan konsesi bisnis lainnya. Paling tidak terdapat 162 konsesi tambang, kehutanan, perkebunan sawit dan PLTU batu bara di atas wilayah dengan total luas 180.000 hektar yang setara dengan tiga kali luas DKI Jakarta dari data yang di rilis JATAM (Jaringan Advokasi Tambang).

Dari data yang terhimpun, bukanlah berlebihan kalau muncul dugaan bahwa proyek IKN ini sejak awal bukanlah kebijakan pro rakyat, tapi pro kepada pemilik lahan yang akan mendapatkan konsesi (oligarki) yang bahkan berujung kepada potensi pemutihan lubang-lubang bekas tambang yang seharusnya direklamasi.

Semua rentetan kejadian ini juga menunjukkan indikasi kuat bahwa pemindahan Ibu Kota yang dikemas dalam mega proyek ini adalah komoditas politik ekonomi yang hanya akan menguntungkan para oligarki ekonomi dan politik belaka. Jauh dari misi pemerataan ekonomi rakyat seperti yang digadang-gadang selama ini.

Belum lagi dari sisi anggaran membangunnya, mega proyek IKN ini diprediksi menghabiskan dana 466 triliun. Bahkan proyek yang awalnya direncanakan tidak memakai dana APBN yang entah apa yang sebenarnya terjadi kemudian di ralat sendiri oleh pemerintah. Rencananya APBN akan menanggung 53,3 persen dari total dana yang diperlukan dan sisanya dari kerjasama pemerintah, swasta, dan BUMN. Padahal sudah menjadi rahasia umum, bahwa selama ini hanya untuk memenuhi target APBN saja negara ini harus berhutang. Apalagi untuk membangun Ibu Kota baru yang jelas akan menambah bengkaknya hutang yang pastinya akan jadi beban generasi mendatang.

Disinilah sebenarnya kebijakan IKN ini sejatinya kehilangan simpati dan empati rakyat. Alih-alih mengusahakan kesejahteraan bagi rakyat, malah justru menuruti ambisi legacy yang pada akhirnya bisa memicu kegaduhan dan gejolak sosial ekonomi yang tidak diperlukan.

Masih banyak sebenarnya pekerjaan rumah bagi pemimpin negeri ini yang jauh lebih berguna untuk menstimulus kesejahteraan rakyatnya. Lihat saja betapa timpangnya PDB negeri ini dengan negara tetangga. Tahun 2020 saja Malaysia sudah di 10.400 USD per kepala per tahun, Thailand sudah 7.000 USD, sedangkan negeri ini masih di angka 3.800 USD. Artinya, penghasilan rakyat di negeri ini hanya separuh dibanding Thailand dan sepempatnya jika dibanding Malaysia. Malaysia. Sesungguhnya sebuah realitas yang menyedihkan.

Data PDB ini juga mengkonfirmasi bahwa negeri ini masih miskin dan utangnya banyak. Jadi sudah seharusnya berhenti untuk mewujudkan proyek-proyek ambisius yang hanya akan menyakitkan hati rakyatnya sendiri.

Tidak cukupkah peringatan Allah SWT lewat lisan Rasulullah bahwa seorang pemimpin yang zalim akan merasakan akibatnya pada hari pembalasan :
“Sungguh, manusia yang paling dicintai Allah pada Hari Kiamat dan paling dekat kedudukannya di sisi Allah ialah pemimpin yang adil. Orang yang paling dibenci Allah dan paling jauh kedudukannya dari Allah adalah pemimpin yang zalim” (HR Tirmidzi)[]