Problematika Bank Dan Pentingnya Politik Ekonomi Islam
Aliansi Pengusaha Muslim – Dari sekian banyak diskursus tentang bank, maka akan kita dapati bahwa Industri perbankan memiliki peran yang esensialitas dalam pembangunan ekonomi. Hal itu dikarenakan bank berfungsi sebagai intermediasi keuangan yang bertugas menghimpun dan menyalurkan dana di masyarakat. Bank juga sangat menentukan jumlah uang beredar (JUB) di pasar uang.
Perekonomian nasional memberikan porsi yang sangat besar bagi bisnis di sektor keuangan. Bahkan, untuk pengadaan modal di sektor riil sebagian besar berasal dari sektor keuangan yang dikelola oleh industri perbankan. Diantaranya adalah penyaluran kredit untuk debitor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), hingga layanan kredit non-mikro yang super “gueede” semisal industri padat modal, pembangunan infrastruktur, dsb.
Masifnya industri keuangan sebagai penyuplai kebutuhan akan modal usaha, menjadikan bank memiliki posisi yang sangat strategis bagi jalannya roda perekonomian. Namun, bukan manjadi rahasia lagi jika perbankan juga sangat rentan dengan berbagai risiko, seperti risiko sistemik, jika bank mengalami kolaps.
Apabila terjadi kolaps pada bank maka akan berdampak pada tersumbatnya arus kredit ke pelaku usaha (debitor), sehingga roda perekonomian pun terhenti. Begitu juga dengan masalah likuiditas (risiko likuiditas), akibat dari penyaluran kredit yang berlebihan. Keterbatasan alat likuid (liquidity mismatch) akan menyebabkan bank tidak bisa mencairkan dana ke pihak depositor.
Baru-baru ini misalkan, OJK (10/6) menyebutkan kepada pemegang saham BUKOPIN bahwa tekanan likuiditas perseroan memburuk. Dana Pihak Ketiga (DPK) telah turun Rp 15,67 triliun sejak Desember 2019. Apabila permasalahan likuiditas tidak segera diselesaikan akan membahayakan stabilitas sistem keuangan. (majalah.tempo.co.id, 20/6/2020)
Begitu banyak risiko yang mengintai perbankan, sehingga krisis perekonomian akibat sektor keuangan yang rapuh setiap saat dapat mengancam stabilitas nasional. Sampai kapan negeri ini dapat mewujudkan isi dari Trilogi Pembangunan yakni stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan pemerataan, bila yang diterapkan adalah kapitalisme?
Sistem ekonomi Islam mengharuskan supaya kegiatan usaha (syirkah) dikembangkan berdasarkan prinsip akad bagi hasil (mudharabah). Pengadaan modal biasanya (seiring) akan bertemu dengan adanya pihak yang dianggap kompeten dalam mengelola modal tersebut. Adapun pembangunan ekonomi yang sifatnya industri padat modal (milik umum dan milik negara) dan pembangunan infrastruktur publik, pengelolaannya diserahkan kepada negara.
Maka, pembangunan ekonomi baik yang skalanya mikro maupun makro (negara), nyaris tidak bergantung pada aktivitas non riil. Ditambah lagi, uang (dinar-dirham) yang dicetak oleh negara tidak membutuhkan kontrol ketat, sehingga mengharuskan adanya kebijakan moneter dari bank sentral. Dinar-dirham Islam sangat stabil dan tidak menimbulkan masalah inflasi pada harga-harga komoditas.
Pembangunan ekonomi yang tidak bisa lepas dari perbankan ini menjadikan sistem ekonomi kapitalis dikenal sebagai sistem ekonomi ribawi. Sementara dalam tinjauan hukum Islam, perbuatan riba merupakan perbuatan dosa besar. Artinya, perbuatan riba adalah perbuatan yang dapat mengundang ‘fasad’ (krisis).
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata, sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.” (QS. Al Baqarah: 125)
Adapun pembangunan ekonomi dalam Islam sangat jauh dari aktivitas riba. Jika riba merupakan instrumen dalam pengadaan modal usaha di dalam masyarakat kapitalis, maka di dalam Islam kegiatan demikian termasuk aktivitas hutang piutang yang tidak boleh ada embel-embel tambahan (riba). Murni karena dorongan sosial. Jadi, secara esensialitas “politik ekonomi Islam” akan mendelete kegiatan riba dan kegiatan spekulasi di sektor keuangan. Wallahu a’lam. [] Muhammad Bakri