Problem Khas Kapitalisme, Uang Dilarikan Ke Surat Utang Bukan Ke Sektor Riil, Kapan Ekonomi Bisa Pulih?

Last Updated: 20 Agustus 2021By

Fokus Ekonomi Assalim.id | Edisi 72
Oleh Pujo Nugroho

Assalim.id – Miris. Di saat ekonomi sulit dan daya beli masyarakat sangat lemah, peredaran uang semakin tertahan di perbankan dan sektor non-produktif lainnya.

Hal ini terlihat dari pernyataan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bahwa bank-bank lebih banyak memarkir dananya di surat berharga.

Data Statistik Perbankan Indonesia (SPI) OJK mencatat, penyaluran dana bank umum ke surat berharga meningkat 35,49 persen yoy, dari Rp1.175,07 triliun per Mei 2020 menjadi Rp1.592,12 triliun per Mei 2021 (bisnis.com, 8/8/2021).

Di sisi lain permintaan kredit oleh masyarakat ke perbankan sendiri masih mengalami pelemahan. Hal ini “dimaklumi” karena masih diberlakukannya pembatasan pergerakan masyarakat melalui PPKM dengan berbagai levelnya. Pelaku usaha mengurangi aktivitas usahanya atau bahkan menutup usahanya, sehingga menurunkan permintaan kredit.

Masih lemahnya permintaan kredit ini telah mendorong perbankan menempatkan likuiditas ke instrumen surat berharga negara (SBN). Perbankan berharap menikmati keuntungan dari yield SBN yang diterbitkan pemerintah (Kemenkeu) demi menjaga profitabilitas.

Simpanan dana ke perbankan sendiri terus mengalami peningkatan meski di masa pandemi. Hal ini terjadi karena sebagian masyarakat golongan menengah ke atas menahan konsumsinya. Mereka memilih menyimpan dana mereka ke perbankan.

Sementara Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat peningkatan pendapatan masyarakat kelas menengah ke atas. Menurut Kepala BPS Margo Yuwono hal ini terlihat dari peningkatan penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21. Pada triwulan I 2021 penerimaan PPh pasal 21 naik 14,41% dibanding posisi triwulan III 2020.

Ironinya peningkatan pendapatan masyarakat kelas atas itu tidak mendorong tingkat konsumsi rumah tangga dan menggerakkan perekonomian masyarakat menengah ke bawah. BPS mendapati peningkatan pendapatan itu dialokasikan untuk berinvestasi (mediaindonesia.com, 15/7/2021).

Demikianlah problem khas kapitalistik yang destruktif. Uang beredar di kalangan kaya saja. Berputar di sektor non-riil yang tak memberikan dampak kepada seluruh lapisan masyarakat.

Dalam Islam, praktik seperti ini sudah jauh-jauh hari, belasan abad lalu dilarang. Demikian juga penimbunan harta dengan maksud mendapatkan keuntungan finansial (kanzul mal) juga dilarang.

“…Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu…” (QS. Al-Hasyr [59]: 7).

“Orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkan keduanya di jalan Allah, maka beritahulah mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (QS. At-taubah : 34).

Pelarangan ini memaksa uang terus beredar. Sebuah bentuk pemaksaan yang baik. Masyarakat yang memiliki dana dilarang memarkirkan dananya dan diperintahkan untuk segera dikeluarkan baik dalam bentuk ibadah (infaq, zakat, shadaqah, atau lainnya), tolong menolong (utang piutang non riba, hadiah, hibah, peminjaman barang, dll), maupun juga untuk tujuan bisnis (tijarah) seperti kongsi bisnis (syirkah), membuka usaha baru, berbelanja, dan lainnya.

Bisa kita bayangkan uang tetap beredar dan roda ekonomi terus berputar hingga seluruh lapisan masyarakat dengan berbagai kemampuan ekonominya ikut terlibat dan ikut merasakan.

Hal inilah yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi benar-benar dirasakan bukan sekadar fatamorgana seperti saat ini di mana pertumbuhan 7,07% terus digembar-gemborkan namun tak dirasakan masyarakat. Wallahua’lam.[]