
Oleh Pujo Nugroho
Aliansi Pengusaha Muslim – Boleh di bilang saat ini kita sedang berada di tengah badai hebat. Badai pandemi Covid-19 dan badai ekonomi. Kurva penderita Covid-19 saat ini terus menanjak juga angka kematian. Kondisi ekonomipun makin parah. Nafas pengusaha di bulan Juni ini sudah habis. Presiden Joko Widodo menyebut bahwa saat ini kita mengalami krisis kesehatan sekaligus krisis ekonomi (cnbcindonesia.com, 25/6).
Indonesia sebagai negara dengan konsep ekonomi kapitalis menyerahkan ekonomi rakyat melalui mekanisme pasar. Kapitalisme dengan prinsip laissez faire-nya mensyaratkan negara tidak boleh melakukan intervensi distribusi kekayaan. Ketika pandemi seperti sekarang mekanisme ini sangat terpukul imbas kebijakan pembatasan pergerakan berupa PSBB yang mau tidak mau harus diterapkan.
Bagai efek domino, pembatasan pergerakan ini menyebabkan aktivitas perdagangan nyaris mandek yang berujung rendahnya permintaan produksi, dan juga distribusi. Ujungnya pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama tahun 2020 terjun bebas menjadi 2,97 persen.
Tak cukup sampai di situ, kini Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut pertumbuhan ekonomi di kuartal kedua berkontraksi lebih dalam ke kisaran minus 4,8 persen sampai minus 7 persen. Menakutkan. Ancaman resesipun kini di depan mata dan sangat nyata!
Apa dampak nyata dari ancaman resesi ini? Pertama, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK). Kadin mencatat ada 6 juta lebih pekerja yang terkena dampak PHK. Kedua, meningkatnya pengangguran. Diperkirakan pengangguran akan menembus angka 12,7 juta orang. Ketiga, angka kemiskinan yang bertambah. Seiring tsunami PHK dan meningkatnya pengangguran angka kemiskinanpun bertambah. Diperkirakan angka kemiskinan bisa mencapai 28 juta jiwa (detikcom, 22/6).
Apa yang kita lihat dari dampak-dampak ini? Tidak lain dan tidak bukan nespa rakyat!
Sayangnya Pemerintah seolah tak berdaya. Nyaris tidak ada yang bisa dilakukan. Sejauh ini yang dilakukan hanya pelonggaran dan pencabutan PSBB dengan konsep new normal berharap ekonomi pulih dengan sendirinya. Pulih melalui mekanisme pasar yang bergantung pada pihak swasta dan rakyat sebagai konsumen. Sebagaimana diketahui pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang oleh konsumsi rumah tangga. Kontribusinya bisa mencapai 60 persen dari total pertumbuhan ekonomi.
Bagai lingkaran setan, ekonomi pulih diharapkan melalui melalui belanja masyarakat sedang masyarakatlah kelompok yang paling terpukul. Inilah bagian dari problem sistem kapitalis.
Memang pemerintah bukan tanpa usaha. Pemerintah telah berutang untuk stimulus ekonomi sebesar Rp 405 triliun. Kemudian dinaikkan menjadi Rp 641 triliun. Angka inipun direncanakan dinaikkan kembali menjadi Rp 990,1 triliun. Namun di sinilah problemnya. Peningkatan utang-utang ini yang akan berdampak hingga 10 tahun mendatang nyaris tidak menyentuh ekonomi rakyat secara langsung dengan signifikan karena porsinya kecil dibanding stimulus kepada pelaku ekonomi (swasta).
Kedua, utang-utang besar ini juga lebih dikarenakan seretnya pendapatan negara berupa melebarnya defisit APBN. Pendapatan negara melalui pajak pada saat pandemi sekarang sulit diharapkan.
Sekali lagi, kondisi serba sulit dan serba tidak berdaya seperti saat ini tidak terlepas dari problem sistemik kapitalisme. Sistem yang bercokol di Indonesia saat ini.[]