Prahara Minyak Goreng! Oligarki Untung, Rakyat Buntung
Ulasan Utama Assalim.id | Edisi 97
Oleh: Ali Akbar Al Buthoni
Assalim.id – Prahara Minyak Goreng kini memasuki babak baru. Setalah beberapa waktu terakhir masyarakat begitu payah mencari ketersediaan minyak goreng bahkan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan usaha kecilnya untuk menyambung nafas, ditengah kesulitan ini justru pemerintah membuat kebijakan yang dinilai akan semakin menyulitkan rakyat.
Jika dirinci, pemerintah menetapkan tiga kebijakan untuk mengatasi kelangkaan pasokan dan tingginya harga minyak goreng di pasar:
1) Pemerintah menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng curah Rp14.000.
2) Pemerintah mengembalikan harga minyak goreng kemasan ke nilai keekonomian.
3) Pemerintah akan memberikan subsidi untuk minyak goreng curah yang berasal dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). (www.ekonomi.bisnis.com)
Kenapa semakin menyulitkan ? Karena sebelumnya, pemerintah telah menetapkan HET minyak goreng kemasan senilai Rp14.000 per liter sedangkan HET minyak goreng curah Rp11.000. Artinya, ada kenaikan HET yang cukup signifikan, bahkan akan sangat fatal jika melepas harga minyak goreng kemasan mengikuti nilai keekonomian atau harga pasar, harganya akan sangat mahal bisa mencapai 2-3x lipat dari harga biasanya.
Terbukti per tanggal 17 Maret 2022 harga minyak goreng kemasan sudah mencapai hampir Rp 60.000 per dua liternya. (www.tribunnews.com) Entah akan naik hingga berapa lagi, yang pasti rakyat semakin dirugikan dan sebaliknya oligarki semakin diuntungkan. Masih percaya dengan sistem Ekonomi Kapitalisme?
Tak ada Pilihan lain Selain Ekonomi Islam
Islam sebagai agama yang paripurna dan rahmatan lil ‘alamin, dengan logika sederhana saja sudah lebih dari cukup untuk meyakini bahwa berbagai solusi problematika kehidupan umat manusia ada dalam agama yang sempurna ini. Apalagi “Cuma” pengaturan soal minyak goreng, ditengah keberlimpahan bahan pokoknya pula.
Pasalnya, negeri ini termasuk pemasok produk sawit terbesar di dunia. Menurut data dari Kementerian Pertanian tahun 2019, total luas kelapa sawit di Indonesia mencapai 16,38 juta hektar. Tersebar di 26 provinsi. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat produksi minyak sawit mentah tahun 2021 mencapai 46,88 juta ton.
Sejak tahun 2006, Indonesia menduduki peringkat pertama dan menjadi raja produsen sawit terbesar di dunia. Tahun 2019, produksi sawit di Indonesia pernah menembus 43,5 juta ton. Pertumbuhan rata-rata pertahunnya mencapai 3,61 persen.
Ditengah keberlimpahan ini, jika terjadi kelangkaan dan mahalnya Minyak Goreng kemungkinannya Cuma dua. Pertama: Diduga kuat telah terjadi kartel, alias penguasaan produksi dan pasar oleh sekelompok produsen. Mereka bekerjasama satu sama lain untuk mengeruk keuntungan dan menguasai pasar. Hal ini dimungkinkan terjadi. Pasalnya, mulai dari perkebunan sawit hingga produksi minyak goreng sawit dikuasai oleh segelintir orang.
Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Ukay Karyadi mengatakan struktur bisnis minyak goreng dalam negeri cenderung dikuasai oleh segelintir korporasi besar yang memiliki kekuatan untuk mengontrol harga. KPPU mengungkapkan bahwa 46,5% pangsa pasar minyak goreng di dalam negeri dikuasai oleh empat produsen besar. KPPU menemukan pelaku usaha terbesar dalam industri minyak goreng juga merupakan pelaku usaha terintegrasi dari perkebunan kelapa sawit, pengolahan CPO, hingga produsen minyak goreng. Hal ini menguatkan dugaan adanya praktik kartel seiring meningginya harga minyak goreng sejak akhir tahun lalu. Merekalah yang mengeruk keuntungan besar di tengah derita rakyat akibat krisis minyak goreng.
Kedua: Kesalahan Dalam Pengelolaan oleh Negara. Kelangkaan minyak goreng juga disebabkan Pemerintah mengizinkan para pengusaha tetap mengekspor minyak goreng keluar negeri di tengah kelangkaan barang. Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengungkapkan telah terjadi kebocoran minyak goreng murah yang dijual ke luar negeri. Ia menyebutkan, telah terjadi ekspor 415 juta liter sejak 14 Februari 2022 lalu.
Tak cukup sampai disitu Pemerintah bersama pengusaha menjadikan minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) untuk keperluan biodiesel. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat konsumsi minyak sawit mentah di dalam negeri justru jauh lebih banyak digunakan untuk biodiesel dengan volume setara 732.000 ton. Jumlah tersebut lebih besar dibandingkan kebutuhan konsumsi seperti minyak goreng.
Proyek pengembangan biodiesel milik Pemerintah dikelola oleh Pertamina untuk mendapatkan bahan bakar alternatif. Lalu, mengapa pengusaha minyak sawit menjual ke Pemerintah untuk keperluan biodiesel? Sebabnya, Pemerintah membeli dari para pengusaha dengan harga internasional. Jauh lebih mahal dibandingkan harga minyak goreng yang dijual ke dalam negeri untuk keperluan warga.
Dua penyebab utama ini akan terus berulang dan tidak hanya pada Minyak Goreng melainkan pada semua produk pangan lainnya selama cara kelolanya masih menggunakan cara yang sama, yaitu sistem ekonomi Kapitalisme yang hanya mementingkan kepentingan oligarki daripada rakyat.
Bagaimana Solusi Islam ?
Islam tidak akan membiarkan adanya kartel bahkan kesalahan pengelolaan bahan kebutuhan pokok masyarakat. Dalam politik Ekonomi Islam ditetapkan dengan tegas soal akses kepemilikan masing-masing sektor sehingga tidak terjadi keserakahan sebagaimana dalam ekonomi kapitalisme.
Hal yang utama dalam Sistem Ekonomi Islam adalah penetapan soal kepemilikan dari harta kekayaan alam yang ada. Mana yang menjadi bagian dan hak milik individu dimana mereka secara leluasa berkreasi dan berinovasi untuk mengembangkan bisnisnya dalam rangka ikhtiar menjemput rezeki yang Allah tetapkan, dan mana juga yang menjadi bagian dan hak milik umum (rakyat) serta negara sehingga pengelolaan dan pengembangannya pun hanya boleh diamanatkan kepada negara.
Dalam hal ini, sawit sebagai bahan baku minyak goreng harus dikelola dengan cara yang proporsional. Mulai dari soal lahan dan kesimbangan biota yang ada disekitarnya, soal hasil pengelolaannya apakah menjadi kebutuhan hajat hidup orang banyak (rakyat) sehingga hanya boleh dikelola oleh negara jika berpotensi besar menimbulkan perselisihan, monopoli dan kelangkaan ditengah rakyat jika diberikan kepada individu atau swasta, hingga soal mekanisme harga pasar pun negara tidak boleh menentukan harga tertentu yang justru menyulitkan berbagai lapisan masyarakat.
”Siapa yang merusak harga pasar, sehingga harga tersebut melonjak tajam, maka Allah akan menempatkannya di dalam api neraka pada hari kiamat.” (HR at-Tabrani dari Ma’qil bin Yasar).
Namun, pengelolaan yang bijak dan proporsional serta adil ini hanya bisa terwujud dalam Penerapan Ekonomi Islam secara kaaffah, bukan dalam Sistem Ekonomi kapitalisme yang hanya membuat oligarki Untung dan rakyat buntung.
Allahu a’lam bis shawwabi,[]