Polemik Dana Haji Makin Liar. Islam Solusinya!

Last Updated: 13 Juni 2021By

ABU NABHAN

Pemberangkatan jemaah haji Indonesia untuk penyelenggaran Ibadah Haji 1442 H/ 2021 resmi dibatalkan Pemerintah. Keputusan ini disampaikan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Alasannya, faktor kesehatan, keselamatan,dan keamanan jamaah (KMA 660/2021) . Lalu kemana aliran biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) yang sudah disetorkan?

Berbagai spekulasi dari masyarakat bermunculan.
Ada yang mengatakan dana haji diinvestasikan untuk infrastruktur. Bahkan Ekonom senior Rizal Ramli menduga batalnya haji karena pemerintah belum membayar tagihan kepada Arab Saudi (pikiranrakyat.com, 6/6/2021). Lebih ‘ekstrem’ lagi ada warganet yang mengaitkan dengan utang negara yang sudah jatuh tempo (bisnis.com, 4/6/2021).

Namun demikian, Pemerintah membantah bahwa tidak ada investasi infrastruktur, alokasi investasi ditujukan kepada investasi dengan profil risiko low moderate, 90% adalah dalam bentuk surat berharga Syariah negara dan sukuk korporasi.

Pemerintah juga memberi jaminan bahwa dana haji per Mei 2021 Rp150 Triliun, tetap aman, tidak ada utang akomodasi Arab Saudi dan tidak ada alokasi investasi di infrastruktur yang menimbulkan risiko tinggi bagi dana haji (KMA 660/2021).

Pemerintah berulangkali berusaha meyakinkan umat bahwa dana haji tidak ada ada untuk infrastruktur. Tapi, mekanisme pengelolaan dana haji pasca investasi melalui sukuk Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) membuka peluang ke arah itu. Pasal 4 UU 19/2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara menyatakan, SBSN diterbitkan untuk membiayai APBN dan belanja negara termasuk membiayai infrastruktur.

Selain itu, Kementerian Keuangan telah merilis sejumlah proyek infrastruktur yang dibiayai sukuk dalam rentang waktu 2013 hingga 2020. Beberapa di antaranya adalah proyek Tol Solo-Ngawi-Colomandu, Jawa Tengah, pendirian Jembatan Youtefa di Jayapura, dan jalur ganda kereta lintas selatan Jawa.

Pada titik ini logika akal sehat sangat sulit menerima jika Pemerintah berkeyakinan dan memberi jaminan kalau tidak ada dana haji untuk membiayai infrastruktur? . Tulisan ini tidak berusaha mempersoalkan aliran dana haji digunakan untuk infrastruktur atau apapun namanya. Hanya saja Pemerintah segera menghentikan spekulasi di tengah masyarakat bahwa dana jemaah aman 100 persen, sehingga jemaah haji bisa tenang dan tidak curiga sedikit pun.

Diberbagai pemberitaan, Kepala BPKH Anggito Abimanyu mengatakan, dana kelolaan haji digunakan untuk investasi dan penempatannya di bank syariah. Sebanyak 69,6 persen dana untuk investasi atau senilai Rp 99,53 triliun dan 30,4 persen penempatan di bank syariah atau senilai Rp 43,53 trilun.

Tapi ini kan di atas kertas, memang benar setoran jamaah tercatat dengan baik layaknya mekanisme perbankan pada umumnya. Ini hal yang wajar, sewajar Anda mendepositokan uang di bank, lalu merasa duit Anda aman, didukung bukti buku deposito. Soal duit itu kemana dan digunakan untuk apa, itu bukan urusan nasabah, melainkan hak prerogatif pihak bank.

Nah, bagaimana bila nasabahnya adalah kumpulan calon jemaah haji dibawah BPKH? Apakah mereka tidak punya hak untuk mengetahui kemana saja duit-duit itu mengalir?, tentu punya kan!. Apalagi dana haji peruntukannya untuk ibadah mahda harus bersih dari segala bentuk muamalah yang melanggar syariah.

Namun ketika masuk dalam keranjang pos pemasukan APBN, maka secara otomatis sudah bercampur dengan pemasukan lainnya yang bersumber dari pajak dan non pak. Ada pajak diskotik, pajak hotel, pajak pabrik miras. Dan begitu juga dengan seluruh peruntukannya tidak bisa lagi dipisahkan. Tidak bisa lagi diketahui dana dari sumber mana yang digunakan untuk bayar utang negara, infrastruktur, belanja pegawai, belanja modal, dan lain sebagainya.

Disinilah bedanya pengelolaan haji dalam naungan sistem Islam. Dalam Islam jika negara harus menetapkan ONH (ongkos naik haji), besar dan kecilnya tentu akan disesuaikan dengan biaya yang dibutuhkan oleh para jemaah berdasarkan jarak wilayahnya dengan Tanah Haram (Makkah—Madinah), serta akomodasi yang dibutuhkan selama pergi dan kembali dari tanah suci.

Dalam penentuan ONH ini, paradigma negara yang diatur dengan sistem Islam adalah ri’ayatu syu’un al-hujjaj wa al-‘ummar (mengurus urusan jemaah haji dan umrah). Bukan paradigma bisnis, untung dan rugi, apalagi menggunakan dana calon jemaah haji untuk bisnis, investasi, dan sebagainya. Negara juga bisa membuka opsi: rute darat, laut, atau udara. Masing-masing dengan konsekuensi biaya yang  berbeda.

Pada zaman Sultan Abdul Hamid II, Khilafah saat itu membangun sarana transportasi massal dari Istanbul, Damaskus, hingga Madinah untuk mengangkut jemaah haji.

Jauh sebelum Khilafah Utsmaniyah, Khalifah Abbasiyyah, Harun ar-Rasyid, membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz (Makkah—Madinah). Di masing-masing titik dibangun pos layanan umum, yang menyediakan logistik, termasuk dana zakat bagi yang kehabisan bekal.

Pada akhirnya bisa dipahami bahwa pengelolaan haji yang terus menuai polemik akar masalahnya sangat jelas, yakni sistem Kapitalisme. Sistem seperti ini menjadikan azas manfaat dalam setiap kebijakannya. Dana haji potensinya sangat besar, sehingga siapapun yang terlibat didalamnya akan terdorong untuk memanfaatkan dana itu. Supaya tidak melanggar maka dibuatlah UU untuk melegalkannya.

Maka untuk menyudahi polemik yang berkepanjangan dalam pengelolaan haji, solusi satu-satunya adalah terapkan Islam kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Karena pengelolaan haji tidak hanya sekedar wilayah fiqhi tapi didalamnya ada aspek administrasi, manajemen, yang membutuhkan orang-orang yang profesionalisme dan kepemimpinan yang tegas dan amanah.

Wallahu a’lam bi ash shawab.