Pinjol Sebaiknya Dihapus!
Ulasan Utama Assalim.id | Edisi 73
Oleh: Pujo Nugroho
Assalim.id – Selama rentang tahun 2018 hingga 17 Agustus 2021, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah memutus akses 3.856 layanan pinjaman online (pinjol) atau peer-to-peer lending fintech ilegal (kontan.co.id, 21/8/2021).
Penutupan akses ini tidak terlepas dari status sebagai pinjol ilegal. Namun demikian, tidak dipungkiri di masyarakat banyak keluhan terkait pinjol ini terlepas legal maupun ilegal.
Beberapa keresahan tersebut adalah bunga dan denda pinjaman. Pinjol adalah pinjaman pada umumnya, memiliki bunga dan denda keterlambatan pembayaran.
Jika pinjaman memiliki beban bunga yang tinggi, bila tidak ada pembayaran cicilan maka jumlah tagihan akan membengkak hingga akhirnya bisa saja sulit bisa dilunasi.
Selain itu yang membuat resah adalah sistem penagihan pinjol. Pinjol memiliki aturan yang ketat. Memang di awal proses penagihan hanya akan diingatkan melalui pesan singkat, seperti SMS, email, maupun telepon. Namun, jika masih belum dibayar juga, tim collection akan melakukan penagihan ke rumah peminjam, menelepon terus menerus, ataupun menghubungi nomor kontak orang terdekatnya.
Karena itu bisa terkesan membuat malu nasabah peminjam. Tim collection telah memegang daftar kontak peminjam yang bisa kapan saja dikirimi pesan tagihan.
Kondisi-kondisi inilah yang mendorong Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Hasanuddin AF bersuara agar pinjol dihapus.
“Pinjol itu merugikan pihak peminjam. Banyak mudaratnya. Harus dilarang itu. Islam mengajarkan bahwa tak boleh merugikan salah satu pihak dalam suatu perjanjiannya,” kata Hasanuddin (CNNIndonesia.com, 26/8/2021).
Riba
Sistem bunga pada pinjol adalah riba. Sebagaimana kita ketahui riba termasuk dosa besar di dalam Islam. Jadi selain menghadirkan kemudaratan juga menghadirkan dosa yang besar.
Pinjol sendiri diakui membuat mudah peminjaman dana/utang. Cukup dengan menunjukkan dokumen pribadi, seperti, KTP, KK, NPWP, dan slip gaji.
Selain itu prosesnya juga cepat yang kecenderungannya hanya 24 jam. Hal inilah yang menjadikan kekhawatiran. Semakin mudah melalukan pinjaman semakin mudah melakukan dosa riba.
Sedemikian mudahnya tercatat sudah 64 juta nasabah yang melakukan peminjaman melalui pinjol dengan total nilai lebih Rp 200 triliun (detik.com, 6/8/2021).
Riba bunga pinjaman ini pula menjadi perhatian MUI dan kemudian memunculkan saran agar pinjol dihapuskan.
“Yang jadi masalah kan dharar-nya itu. Banyak mudaratnya. Apalagi sistem bunga itu. Itu jelas. Pinjam sekian, bunganya sekian. Jelas-jelas enggak syariah,” kata Hasanuddin.
“Harus dilarang. OJK kan bisa saja menghentikan. Atau kepolisian bila melanggar hukum merugikan ya ditindak. Karena itu banyak korbannya,” kata Hasanuddin.
Kebutuhan Masyarakat
Menurut OJK pinjol masih dibutuhkan masyarakat terutama masyarakat yang tidak terlayani lembaga keuangan formal.
Melihat besarnya nasabah peminjam dan besarnya uang yang dicairkan pinjol di atas juga menunjukkan keberadaan pinjol “dibutuhkan” masyarakat.
Namun melihat keharaman riba dan adanya mudarat sebagai dampaknya tentu hal ini menjadi renungan bersama. Bagaimanapun hal haram (riba) tidak boleh dijadikan solusi meski dibutuhkan masyarakat. Karena itu penting bagi umat Islam sebagai mayoritas penduduk Indonesia untuk mengedepankan skema-skema syariah sebagai solusi.
Misalnya pinjaman tanpa kompensasi (qardhun), hibah/pemberian, peminjaman barang (‘ariyah), dan lainnya sebagai wujud tolong menolong (tabarru’).
Jika ingin berbisnis/mengembangkan usaha (tijarah) bisa melalui skema syirkah (kongsi). Semua terhindar dari riba.
Demikianlah kapitalisme menyebabkan kemudharatan di tengah umat dan praktiknya sulit dicegah/dilarang. Di sisi lain menjadi evaluasi bagi kita skema syariah jarang ditawarkan di tengah-tengah umat.[]