Pesta Pora Di Atas Penderitaan Rakyat, Inilah Wajah Asli Demokrasi

Last Updated: 22 November 2021By

Ulasan Utama Assalim.id | Edisi 81
Oleh: M Azzam Al Fatih

Assalim.id – Hiruk pikuk para pejabat dan tokoh politik telah menjadi tontonan rakyat di tengah pandemi. Bak penari topeng yang melenggak-lenggok mencari simpati para penonton. Setiap ayunan tangan dan gerakan tubuh mempunyai isyarat agar terpukau dengan penampilannya.

Ya, para pejabat dan tokoh politik di negeri ini sedang mencari simpati baik kepada rakyat maupun sesama tokoh politik lainnya. Mulai dari melirik sana-sini hingga tebar pesona dengan memajang baliho. Bahkan ada yang membuat pencitraan dengan aksi yang tidak layak untuk dipertontonkan.

Menjadi sangat ironis tatkala jadwal pesta pora demokrasi masih lama, namun para tokoh politik maupun publik yang notabene sebagai pejabat yang mempunyai tanggung jawab mengurusi  rakyat. Tetapi mereka malah sibuk dengan urusan dan kepentingan pribadi demi eksistensi dan target sebagai penguasa. 

Akibatnya rakyat pun terabaikan. Padahal kondisi rakyat sedang dalam masa sulit setelah dihantam badai pandemi virus Corona. Ekonomi jatuh akibat terkena PHK, ditambah belum pulihnya perputaran uang di tengah masyarakat. Serta kebijakan-kebijakan rezim yang merugikan rakyat seperti pemalakan atas nama pajak dan yang lainya.

Walaupun sebenarnya, aksi dengan menari agar rakyat simpati sudah menjadi kebiasaan para tokoh dan figur publik dalam menghadapi pesta pora demokrasi. Seakan sudah menjadi rutinitas yang tidak bisa ditinggal. Manakala meninggalkan merupakan kerugian besar baginya.

Dalam sistem demokrasi, hal ini wajar. Sebab sistem ini telah melahirkan pribadi-pribadi yang mengutamakan kepentingan pribadi daripada rakyatnya. Lewat pesta demokrasi lima tahunan mereka berlomba mewujudkan kepentingan pribadi, tak berpikir berapa modal yang harus dikeluarkan demi menarik simpati rakyat. Maka bukan hal aneh tatkala mendekati pesta mereka menebar pesona demi meraih simpati rakyat bahkan rela terjun kelapangan dengan mendatangi rumah warga.

Demikianlah, wajah asli demokrasi yang menipu. Pemilu lima tahunan yang menjadi pesta-pora hanya sebagai ajang unjuk kehebatan dalam merayu rakyat untuk meraih kekuasaan. Sedangkan rakyat hanya dijadikan sebagai alat untuk meraih kekuasaan yang setelahnya dicampakkan. 

Demokrasi yang melahirkan pribadi-pribadi berkepentingan baik dirinya sendiri maupun para pemodal telah melukai rakyat. Berkoar dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat hanya sebagai slogan untuk menipu rakyat. Yang sebenarnya hanya dari konglomerat oleh konglomerat dan untuk konglomerat. Yang konon mengelola sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat ternyata untuk kesejahteraan kaum kapitalis dengan dikuasainya sumber daya alam. Padahal sejatinya milik rakyat.

Sadisnya lagi, atas nama APBN, para pejabat yang konon sebagai wakil rakyat menaikan dan menarik pajak baru demi berjalannya sistem pemerintahan. Meraka tidak menghiraukan kondisi rakyat yang sedang sengsara akibat ekonomi dan kebijakan- kebijakan rezim. Mau tidak mau, suka tidak suka, pajak tetap harus ditarik dan wajib dibayar oleh rakyat. Inilah wajah demokrasi.

Islam memandang  bahwa  demokrasi adalah sistem yang dzalim. Para pemangku kekuasaan dengan santainya menikmati kemewahan hidup yang seolah tidak ada beban dosa. Setiap kebijakan terdapat kepentingan segelintir orang, yakni para pemodal dan penguasa. Sebab sistem demokrasi adalah alat kapitalisme untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Dengan demikian dibalik kebijakan penguasa ada keuntungan bagi para pemodal dan penguasa. Namun sebaliknya ada kedzaliman terhadap rakyat kecil dengan selalu memeras dan menghisapnya atas nama pajak.

Islam juga mengharamkan demokrasi, sebab dibalik pesta demokrasi terdapat kemudharatan yang banyak. Selain di dalamnya memisahkan agama dari kehidupan ( sekulerisme).  tempat untuk membuat hukum aturan kehidupan, Sedangkan aturan dari sang Kholiq dicampakkan. Padahal yang berhak membuat hukum adalah Allah SWT.
Allah SWT berfirman dalam surat Al Qur’an surat Al An’am ayat 62

ثُمَّ رُدُّوْۤا اِلَى اللّٰهِ مَوْلٰٮهُمُ الْحَـقِّ ۗ اَ لَا لَهُ الْحُكْمُ وَهُوَ اَسْرَعُ الْحَا سِبِيْنَ

“Kemudian mereka (hamba-hamba Allah) dikembalikan kepada Allah, penguasa mereka yang sebenarnya. Ketahuilah bahwa segala hukum (pada hari itu) ada pada-Nya. Dan Dia­lah pembuat perhitungan yang paling cepat.”

Dengan demikian Islam hanya menerapkan aturan yang berasal dari sang pencipta, Allah SWT. Serta pemimpin dalam Islam benar-benar menjadi ri’ayah bagi rakyatnya. Sebab dalam memimpinnya didasari rasa ketaqwaan kepada Allah SWT, demi mengharap keridhoan NYA. Sehingga tidak ada kepentingan bagi seorang pemimpin atau segelintir orang. yang ada adalah kepentingan semua orang yakni terwujudnya kemuliaan dan keselamatan dunia dan akhirat.

Maka selayaknya sistem Islam dijadikan satu-satunya tata aturan kehidupan bagi manusia. Agar terwujud kehidupan  yang menyejahterakan dan membahagiakan baik di Dunia maupun Akhirat. Wallahua’lam bishshowwab.