
Agan Salim
Beberapa minggu terakhir, negeri ini diributkan dengan angka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2021. Pro kontra panjang terjadi. Satu pihak merasa angka 7,07 persen yang diumumkan Badan Pusat Statistik (BPS) adalah prestasi sedangkan yang lain menganggapnya ilusi dan semu.
Diluar fakta keributan saling klaim diatas, fakta akan fenomena “decoupling” (memisah) dalam ekonomi khususnya antara perekonomian riil (“main street”) dengan perekonomian non riil seperti bursa saham terus melebar dan kian nyata, yang justru tidak menjadi fokus para ekonomi, padahal inilah wajah nyata dan bahayanya sistem kapitalisme yang hanya bekerja dan peduli pada capaian materi minoritas para pemilik modal (kapitalis), tapi tidak buat nasib umat secara keseluruhan.
Jangankan saat ekonomi menunjukan ada indikasi pertumbuhan, saat pertumbuhan ekonomi (PDB) minus -3,5% seperti di kuartal III -2020 indeks harga saham gabungan (IHSG) justru naik 4%.
Apa yang bisa menjelaskan mengapa harga saham naik sementara perekonomian nyungsep? Salah satu penyebabnya karena para kapitalis ini akan lebih memilih menempatkan dananya di pasar saham atau membeli surat utang pemerintah yang berbunga tinggi. Inilah yang menjelaskan mengapa IHSG terus menanjak dan nilai tukar rupiah menguat.
Ditambah lagi dengan stimulus yang sangat besar yang diberikan pemerintah yang diduga salah sasaran. Sebagai contoh di bidang insentif perpajakan, insentif untuk UMKM hanya Rp 2,4 triliun, sedangkan perusahaan besar mencapai seluruh dari total stimulus Rp 179,48 triliun. (CNN Indonesia 11/06/2020)
Akibatnya, ekonomi riil bergerak sangat lamban dan stimulus yang begitu besar tidak merembes sampai ke sektor riil atau kepada masyarakat bawah. Yang terjadi justru sebagian dana stimulus yang awalnya dari pemerintah diinvestasikan oleh para pengusaha besar kembali ke surat utang pemerintah dengan bunga tinggi yang akan menambah pundi kekayaan mereka.
Realitas pertumbuhan yang tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan ini tidak bisa dilepaskan dari kiblat ideologi yang diadopsi saat ini, yaitu sistem ekonomi kapitalisme.
Tolak ukur pertumbuhan sistem rusak tersebut nyata-nyata berbeda secara diametral dengan Islam. Menurut Abul Hasan Muhammad Sadeq, dalam Economic Development in Islam, menjabarkan bahwa Islam mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai perkembangan yang terus-menerus dari faktor produksi secara benar yang mampu memberikan konstribusi bagi kesejahteraan manusia.
Maka sejatinya pertumbuhan ekonomi menurut Islam merupakan hal yang sarat nilai. Suatu peningkatan yang dialami oleh faktor produksi tidak dianggap sebagai pertumbuhan ekonomi jika produksi tersebut misalnya memasukkan barang-barang yang terbukti memberikan efek buruk dan membahayakan manusia.
Lebih dari itu, perubahan ekonomi merupakan aktivitas menyeluruh dalam bidang produksi yang berkaitan erat dengan keadilan distribusi. Pertumbuhan dalam sistem Islam mencakup sisi yang lebih luas. Pendekatan pertumbuhan bukan hanya persoalan ekonomi semata, tapi juga mencakup aspek hukum, sosial, politik dan budaya.
Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi menurut Islam bersifat multi dimensi yang mencakup aspek kuantitatif dan kualitatif. Tujuannya bukan semata-mata kesejahteraan material di dunia saja, tetapi juga kesejahteraan di akhirat yang keduanya harus menyatu secara integral. Wallahua’lam bishowwab.