Pertumbuhan Ekonomi Saat Pandemi, Untung Buat Konglomerat Bukan Buat Perut & Nasib Umat
Ulasan Utama Assalim.id | Edisi 70
Oleh Agan Salim
Assalim.id – Pertumbuhan ekonomi 7,07 % kuartal II -2021 yang dirilis oleh BPS kamis, 5 Agustus 2021 lalu masih menjadi perdebatan di tengah masyarakat. Satu pihak mengatakan itu riil, pihak lain mengatakan sebaliknya.
Bahkan data BPS ini dijadikan headline seolah ini adalah sebuah keberhasilan kinerja pemerintah di bidang ekonomi dan menafikan problem sistemik yang terjadi saat ini.
Klaim euforia sesaat ini dibantah oleh Rizal Ramli. Menurut mantan Menko Ekuin ini, pertumbuhan ekonomi kuartal II 2021 tidak mencerminkan keadaan sebenarnya. Lantaran pembandingan pertumbuhan ekonomi kuartal lI 2020 kalau dibandingkan kuartal II 2021, yang seharusnya hanya tumbuh 3,3 %.
Perhitungan BPS di kalangan ekonom dikenal sebagai “low base effect”. Membandingkan data yang tinggi dengan data jelek, yang paling rendah.
Jadi adalah suatu hal yang wajar dan harusnya tidak perlu dipolitisasi secara berlebihan data pertumbuhan yang dikeluarkan oleh BPS, pasalnya pertumbuhan karena low base effect (dasar perhitungan rendah) memang menjadi faktor utama pertumbuhan ekonomi di banyak negara.
Pertumbuhan 7,07% inipun terbilang kecil jika dibandingkan dengan negara lain, seperti China misalnya yang bisa tumbuh 18,3 % (QI 2021) dari sebelumnya -6,8 % (Q1 2020), Singapore 14% (Q2 2021) dari sebelumnya -13,3 % (Q2 2020) dan Amerika tumbuh 12,2 % (Q2 2021) dari sebelumnya -9,1 % (Q2 2020).
Justru harusnya yang jadi fokus pemerintah adalah mengapa realitas pertumbuhan ini tidak sejalan dengan apa yang dirasakan mayoritas umat di negeri ini, umat sesungguhnya tidak meragukan BPS, namun realitasnya mereka tidak merasakan pertumbuhan yang dimaksud. Dikala mereka menjerit-jerit kesulitan hidup, terjadi PHK massal, dan trend pandemi yang belum reda dan bahkan terus menelan korban.
Jadi wajar ada banyak yang antipati dan sakit hati dengan euforia berlebih dalam merespons hasil yang dikeluarkan BPS. Belum lekang dalam ingatan umat di negeri ini, sejak PPKM dimulai sebanyak 30 ribu warga Indonesia meninggal akibat Covid-19 dan hingga saat ini, angka kematian mencapai 100, 636 jiwa. Tapi tak ada pernyataan menyesali, apalagi minta maaf, dari Pemerintah. Sebaliknya, saat ini umat sepertinya dibujuk untuk memuji “keberhasilan” pemerintah mengurus ekonomi.
Lalu siapa yang paling banyak diuntungkan dari pertumbuhan ekonomi tersebut?
Fakta kontras di bawah ini bisa jadi jawabannya, saat banyak sektor ekonomi rugi bahkan gulung tikar dan tidak sedikit yang kehilangan pendapatan dan pekerjaan karena dirumahkan dan PHK sebagai dampak dari pandemi Covid-19. Namun jumlah orang kaya dan super kaya di Indonesia justru menanjak ditengah gempuran wabah virus corona. Hal ini dilihat dari data lembaga keuangan Credit Suisse yang menunjukkan bahwa jumlah penduduk di Indonesia dengan kekayaan bersih 1 juta dollar AS atau lebih mencapai 171.740 pada tahun 2020, angka tersebut melonjak hingga 61,69 persen year on year (yoy) dari jumlah di tahun 2019 (Kompas.com, 13/7/2021).
Fakta ini sungguh sangat memprihatinkan, bagaimana tidak di satu sisi ada sekelompok orang begitu menikmati kekayaan begitu banyak. Namun, di sisi lain justru ada sebagian banyak keluarga yang terjerat kemiskinan. Dan ini semua mengonfirmasi dan menunjukkan bahwa sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan saat inilah akar penyebabnya. Karena sistem ini memang dirancang hanya pro kepada para kapital/pemilik modal atau kalangan kaya, bukan ke mayoritas rakyat terlebih lagi rakyat miskin.
Sudah saatnya negeri ini punya solusi paripurna untuk merubah realitas yang jauh dari rasa keadilan tersebut. Dan solusi itu tidak lain adalah segera mengadopsi sistem ekonomi Islam sebagai aturan turunan dari syariat Allah SWT, tidak yang lain.
Karena dalam sistem ekonomi Islam-lah ada cara untuk menyelesaikan persoalan ketimpangan ekonomi ini, hal pokok utama yang akan dan harus dilakukan adalah mengembalikan kepemilikan umum pada umat. Berbagai sumber daya alam harus diambil alih oleh negara, untuk kemudian dikelola secara profesional oleh pemerintah yang hasilnya digunakan untuk kemakmuran rakyat secara adil dan merata, termasuk untuk penanganan pandemi seperti saat ini. Wallahu a’lam bishshawab. []