Categories: Fiqih Muamalah

assalim

Share

Fiqih Muamalah Assalim.id
Ali Akbar Al Buthoni

Assalim.id – Dalam bisnis produk barang, untuk membuka pasar lebih luas biasanya para pengusaha akan menggunakan jalur yang lumrah digunakan dalam dunia pemasaran yaitu adanya distributor sebagai pembeli pertama ke perusahaan dalam jumlah yang relatif banyak dengan harga khusus, tak sedikit juga perusahaan yang langsung menghandle sendiri hingga ke agen-agen penjualan dan reseller produk yang akan memasarkan produknya.

Strategi pengembangan pasar merupakan ranah ilmu bumi atau diserahkan kepada kreativitas setiap individu untuk menjual produknya dengan strategi-strategi yang solutif dan jitu untuk menghasilkan profit.

Hal ini sebagaimana kisah sahabat Nabi SAW dalam memproduktifkan kebun kurma-nya, ketika baliau mengikuti saran Nabi SAW ternyata justru pohon kurmanya tidak berbuah. Kemudian Nabi SAW bersabda: “Antum a’lamu bi umuri dunyakum.” Yang artinya: “Kalian lebih mengerti dengan urusan dunia kalian.” (HR Muslim)

Namun, meski pengembangan pasar ini adalah ranah ilmu bumi yang diserahkan pada keahlian masing-masing. Akan tetapi, bukan berarti bebas berbuat tanpa memperhatikan prinsip-prinsip muamalah Syariah, sebab berbisnis bagian daripada amal perbuatan, dan amal perbuatan wajib mengikuti ketentuan syariah agar mendapatkan pahala meskipun amal tersebut statusnya mubah (boleh). Insyaa Allah banyak nash yang menjelaskan tentang pertanggungjawaban amal kita meski seberat dzarah.

Hal penting yang perlu diperhatikan dalam muamalah bisnis adalah AKAD, meski sama-sama ridho dan ikhlas tapi akadnya tidak sesuai prinsip bermuamalah syariah maka statusnya bisa bathil atau fasad. Disebut bathil jika rukun dan syarat pokok dari akad ini ada yang belum terpenuhi sehingga akadnya harus di ulang agar sah. Dan disebut fasad jika ada salah satu syarat yang disertakan tapi menghalangi konsekuensi dari terlaksananya akad itu sendiri, sehingga cukup menghilangkan syarat yang menghalangi tersebut dan tak perlu mengulangi akad agar statusnya sah.

Contoh konkret untuk yang sama-sama ridho dan ikhlas tapi karena tidak ada akad menjadi tidak sah aliash bathil adalah muamalah interaksi antara laki-laki dan perempuan yang ikhlas, ridho dan saling cinta untuk tinggal dan hidup bersama tanpa akad pernikahan, atau dengan akad tapi bukan akad pernikahan melainkan akad ijarah (sewa menyewa jasa / nikah kontrak), bisa dipastikan muamalah ini statusnya BATIL atau TIDAK SAH.

Kembali ke konteks pengembangan pasar untuk usaha produk barang yang menggunakan jalur distributor, agen hingga reseller biasanya perusahaan menentukan Harga Eceran Tertinggi (HET) kepada jalur-jalur pemasarannya tersebut, dengan ketentuan “Bagi para distributor, agen, reseller setelah memberi produk dengan harga khusus ketika nanti menjualnya lagi ke pasar tidak boleh menjual di luar harga yang telah ditetapkan oleh perusahaan…,” atau pernyataan serupa lainnya.

Jika ada ketentuan di atas, maka pengusaha muslim sudah terjebak dalam AKAD FASAD. Sebab, dalam pernyataan tersebut akad antara perusahaan dengan jalur pemasarannya adalah AKAD JUAL BELI, yang mana konsekuensi dari jual beli adalah berpindahnya Hak kepemilikan barang dari penjual kepada pembeli, sebagaiman definisi syar’i dari Jual beli yaitu

مبادلة مال بمال على سبيل التمليك عن تراض
“Pertukaran harta dengan harta yang menimbulkan kepemilikan atas dasar saling rela.”

sehingga jika Penjual mensyaratkan wajib dengan harga dari penjual maka hal ini menghalangi berpindahnya hak milik 100% kepada pembeli (meskipun statusnya distributor/agen/reseller karena akadnya jual beli) sehingga status akadnya adalah FASAD, agar AKAD SAH maka ketentuannya harus disesuaikan yaitu “Untuk menjaga kestabilan harga pasar untuk produk kita, perusahaan menyarankan agar menjual produk dengan harga yang ditentu kan perusahaan untuk end user” jadi cukup berupa saran saja, tidak boleh menjadi keharusan.

Dengan demikian, insyaa Allah pengusaha Muslim akan terhindar dari AKAD FASAD. Lebih aman lagi, untuk membuka Distributor, Agen atau reseller jangan pakai akad jual beli tapi pakai akad Samsarah (makellaran) agar perusahaan lebih leluasa menentukan harga dan lainnya karena status produk masih milih perusahaan. Allahu a’lam, []

Editor's Pick

    Leave A Comment

    Related Posts