Pemilu Ala Demokrasi, “Jalan Tol” Berdaulatnya Oligarki

Last Updated: 13 Juni 2023By

Ulasan Utama Assalim.id
Oleh : Agan Salim

Assalim.id – Kalau kita saksikan media-media arus utama saat ini, baik itu di stasiun televisi, media cetak l, dan sosial media maka dapat dengan mudah kita temukan bagaimana arah polarisasi rakyat dalam rangka kontestasi pemilu ala demokrasi tahun 2024 di negeri ini.

Seperti yang terjadi pada realitas pemilu sebelumnya, polarisasi dibangun secara pragmatis oportunis. Isu-isu rasis, sektarian selalu dimunculkan. Pengotak-atikan komitmen, politik saling sandera, jargon tidak ada kawan yang abadi tapi yang ada adalah kepentingan abadi seolah menjadi hal yang biasa dan wajar walau luka polarisasi di tubuh rakyat akibat kontestasi pemilu sebelumnya belum juga kering sempurna.

Di sisi lain, partai politik sibuk saling bermanuver untuk saling menggemosi demi mengejar ambisi elektabilitas, bahkan ini diumbar secara vulgar tanpa malu, bahkan melibatkan instrument hukum dan kekuasaan negara yang saat ini dimiliki.

Demikianlah realitas pemilu di mana empati atas penderitaan rakyat hilang karena semua fokus pada kekuasaan, bukan pada persoalan yang dihadapi rakyat kebanyakan. Sehingga kekuasaan di tangan rakyat yang merupakan jargon demokrasi hanyalah sebatas slogan tanpa arti dan bukti. Rakyat hanya diperlukan dan berfungsi sebagai alat legitimasi belaka.

Sementara siapapun yang berkuasa nantinya, pastinya akan mengabdi kepada oligarki alias pemilik modal sebagai pengerak mesin demokrasi yang serba pragmatis, oportunis, dan meterialistis. Dan ini semua adalah sebuah keniscayaan, karena demokrasi sendiri telah menjadi mesin dan alat politik paling efektif untuk mengantarkan para oligarki mendapatkan kursi kekuasaan dan kedaulatan.

Fakta diatas bukan hanya terjadi di negeri ini, lihat saja bagaimana AS sebagai model demokrasi dunia saat ini. Kekayaan dua orang warga terkayanya setara dengan kekayaan 40 persen penduduknya atau lebih dari 130 juta orang. Selama 50 tahun terakhir telah terjadi transfer kekayaan besar-besaran, tetapi ke arah yang salah. Jumlah kelas menengah menyusut, sementara kekayaan dari kalangan teratas justru bertambah banyak.

Bahkan dalam konteks ekonomi global, hari ini di seluruh dunia, kekayaan 10 orang terkaya setara dengan kekayaan 3,1 milyar orang termiskin atau sekitar 40 persen penduduk dunia. Menurut Oxfam, ada 21 ribu orang setiap harinya dari seluruh dunia yang meninggal karena faktor kelaparan dan sulitnya mengakses layanan kesehatan. Sumber dari semua ini tentu bukan hanya soal ketimpangan pendapatan semata, tapi lebih jauh lebih dalam dan esensi yang berawal dari konsentrasi kepemilikan yang salah serta kekuatan ekonomi-politik yang bersifat kapitalistik yang dibungkus dengan jargon demokratisasi.

Sistem politik ala demokrasi AS inilah tanpa sadar jadi model dan dikuti oleh bangsa-bangsa di dunia yang pada akhirnya negara-negara tersebut pelan tapi pasti menuju ke apa yang disebut tatanan oligarkis, yaitu sebuah tatanan dimana segelintir pemilik modal memiliki kekuasaan ekonomi dan politik terlampau besar seperti di AS saat ini tak terkecuali negeri ini.

Tentu saja, ini adalah persoalan yang harus kita atasi, bukan hanya untuk saat ini, tapi demi untuk generasi mendatang pewaris negeri ini. Tantangannya memang besar, namun sikap putus asa dan pasrah mengikuti alur demokratisasi bukanlah pilihan benar bahkan akan membahayakan masa depan generasi mendatang.

Masalah ini tidak akan selesai hanya dengan mengangkat pemimpin. Ada persoalan yang lebih penting, yakni sistem yang diterapkan. Selama yang diterapkan adalah sistem sekuler demokrasi, maka akan selalu ada dua perkara besar yang akan dihadapi. Pertama, kedaulatan akan berada di tangan para oligarki. Kedua, sistem sekuler yang sejatinya memisahkan peran agama dari kehidupan akan selalu menjadi sumber kerusakan dan terus memproduksi kezaliman seperti yang terjadi selama ini.

Sehingga, teramat penting saat ini umat memahami poros solusi dan perubahan yang harus diperjuangkan untuk menuju kebangkitan paripurna. Umat harus memahami akar masalah yang terjadi selama ini, dan di benaknya tergambar dengan jelas konstruksi masyarakat yang ingin diwujudkan serta memahami peta jalan perubahan yang harus dilakukan dan diperjuangkan.

Sebagai muslim, kesemua ini telah jelas digambarkan dalam Al-quran dan hadits dalam bentuk perintah dan larangan yang kesemuanya telah dicontohkan dalam bentuk penerapannya secara detail oleh Rasullulah, generasi para sahabat, dan para khalifah setelahnya baik pada tatanan pribadi, masyarakat, dan negara. Penerapan ini pulalah sebagai bukti dan wujud tertinggi dari penghambaan dan misi utama dari penciptaan manusia. []